Hari hadir dengan atribut harinya
sendiri. Kabupaten Cianjur dengan program pemerintah bertajuk “Gerbang Marhamah”
atau gerakan masyarakat berakhlakul karimah ditandai dengan berkumandangnya
alunan-alunan ayat-ayat Al-Quran yang dari mesjid-mesjid kecil yang ada di
RT-RT. Suaranya saling bersahutan seolah saling menyapa dalam bahasa ilahiyah.
Saya mendengar keindahan naik turunnya suara dan bergantinya jenis suara dari
setiap mesjid. Gerbang marhamah terasa kental di mesjid-mesjid dengan
berlomba-lombanya anggota DKM menyetel rekaman pembacaan ayat-ayat Al-Quran.
Pagi beranjak sesuai fitrahnya.
Setiap detik berlalu. Saya segera meninggalkan rumah untuk kembali memulai
memenuhi tanggung jawab sebgai seorang guru.
Jalanan pada pukul 6.15 sama sesaknya dengan hari-hari sebelumnya.
Sambil menikmati perjalanan, saya bersiap menempatkan diri jadi wali kelas.
Menjadi ornag tua kedua, begitu kata orang.
Ketika saya masuk ruang guru,
terdengar para guru saling mengingatkan agar para wali kelas memasuki ruang
kelas yang diwalikelasinya untuk memberikan pembinaan wali kelas. Mereka saling
baku-tanya harus memberikan apa. Saya tidak berkata apa-apa, langsung mengambil
absen dan menuju kelas 12 MIPA 6. Telah jelas
apa yang akan saya lakukan hari ini untuk kelas 12 MIPA 6, melanjutkan membaca
Pembawa Mayat dan membuat struktur organigram Kelas.
Para siswa telah menunggu, pada
pertemuan ke-2 mereka hadir tepat waktu. Bagi saya, itu suatu perubahan yang
drastis. Pada hari ke-1, hampir satu pertiga datang terlambat. Hari ini, mereka
berusaha hadir tepat waktu. Bagi saya, seorang wali kelas, kehadiran mereka yang
tepat waktu adalah sebuah kebahagiaan besar.
Saya melanjutkan paragraf ke-3
dari cerita pendek Pembawa Mayat. Pada
teksnya disebutkan bahwa si tokoh utama memandang do’a sama gaibnya dengan
kematian. Dia memandang bahwa setelah kematian, ada kehidupan yang sama seperti
yang sekarang sedang ia jalani. Dia sangat takut, di kehidupan nanti istrinya
menikah dengan orang lain, dan barulah dia menangis.
Paragraf ini saya gunakan untuk
menyadarkan para siswa terhadap pentingnya do’a. saya mulai dengan membeberkan kenapa
do’a sama gaibnya dengan kematian. Do’a dan kematian keduanya tidak pernah
dapat dijelaskan, misteri. Kematian, walaupun semua yang hidup mengalaminya
namun tidak pernah ada kabar bagaimana mati itu menurut si pelaku.
Do’a, semua orang melakukannya,
agama apapun. Namun, sekalipun semua memohonkannya, tidak pernah tahu, kapan do’a
itu dikabulkan dan tidak pernah tahu bagaimana do’a itu tiba-tiba saja baru
disadari bahwa telah terkabul.
Do’a dan kematian menjadi misteri
besar bagi manusia, namun tidak bagi Tuhan. Seorang hamba misalnya berkata do’aku
lama tak terkabul. Demikian juga kematian, ada seorang tua dan penyakitan
berkata, aku menunggu kematian, lama sekali kutunggu, dia tak kunjung datang. Seorang
lainnya berujar, kematian itu datang terlalu cepat, dia masih SMA, anak soleh,
pintar, hanya anak satu-satunya, sayang dia meninggal.
Contoh tadi menyiratkan bahwa
manusia membuat ukuran. Akibat dari pembuatan ukuran tadi maka segala sesuatu menjadi berbeda. Padahal bagi
Tuhan, tidaklah demikian. Saya uraikan begini. Manusia melihat segala sesuatu
menjadi rumit karena ukuran yang dia buat sendiri. mari kita lihat diri kita. Kalau
Donal Trump, Agnes Monica, kita, dan siapapun yang ada di muka bumi ini dilepaskan
dagingnya. Maka kita akan sadar, bahwa kita sadar bahwa kita sama, hanya tulang
belulang putih dan struktur yang sama. Yang membedakan kita kulit. Manusia kemudian
membuat ukuran, si ini kulitnya berwarna ini, si itu berwarna itu, si fulan
warnanya anu. Lahirlah perlakukan dan stereotip yang berbeda-beda karena ukuran
warna kulit. Padahal Tuhan tidak membedakan manusia karena warna kulitnya,
semuanya diterima sama, mereka semuanya khalifah di muka bumi.
Bagimana dengan do’a. bagi Tuhan,
manusia semuanya sama. Pembedanya hanyalah keimanan. Do’a, saya tegaskan kepada
para siswa yang semuanya diam, adalah pengakuan kita atas tidak berdaya tidak
berkuasanya, dan bertapa kecilnya kita. Boleh
saja sesekali kamu bisa berkata, ‘Kamu harus tahu, aku ini …’ Tapi sadarkah
bahwa ke-aku-an yang sedang kamu katakan adalah perwakilan dari murkamu, egomu,
dan sesungguhnya muncul dari ketidakberdayannmu. Marah, merujuk diri sebagai
sentral (aku ini …) menunjukkan bahwa kamu bukan siapa-siapa. Kamu melabeli
diri kamu dengan ‘aku ini’ artinya kamu ingin diakui sebagai seseorang. Dengan kata
lain bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, sehingga orang lain harus
diberitahu kamu itu siapa, kamu tidak punya kuasa.
Kelas masih hening, saya
lanjutkan. Ketidakberdayaan menjadi
fitrah kita. Membuat kita kuat adalah tugas kita, caranya, berdo’a. Do’a adalah
penghambaan kita kepada Tuhan dengan cara yang elegan. Mengakui betapa kita
tidak berdaya-upaya, namun memiliki banyak keinginan. Do’a juga merupakan cara
kita berkomunikasi dengan Tuhan. Segala kesusahan, keperihan, kekecewaan, atau
sebaliknya, segala suka, bahagia semuanya dikabarkan kepada Tuhan.
Para siswa terlihat seperti
sedang berusaha mencerna apa yang saya sampaikan. Saya persilakan mereka untuk
bertanya, namun tidak ada yang membuka mulut. Waktu 30 menit untuk bersama
kelas ini, hampir habis. Saya teringat akan mencontohkan bagaimana menggunakan
fasilitas blogger untuk menulis setiap hari agar di akhir tahun menjadi buku.
Saya jelaskan bahwa untuk menulis
seri 365, tidak harus pada buku. Namun pada Android dengan menggunakan
fasulitas Blogger yang bisa diunduh dari Play Store. Caranya dengan membuat
akun beralamat @gmail.com. para siswa berkata bahwa mereka telah memiliki akun.
Saya katakan bahwa itu bagus, tinggal lanjutkan situs blogger dengan
menggunakan alamat tersebut, agar mudah lakukan di laptop. Jangan lupa gunakan
nama asli, hal ini untuk memudahkan saya ketika berkunjung ke lamannya. Setelah
membuat blog selesai, silakan unduh blogger di android. Nanti kalau mau
menulis, langsung pada blogger android. Bisa dalam keadaan offline, dalam
keadaan demikian kita menulis sesuai yang diinginkan. Setelah dirasa cukup,
silakan unggah. Kelebihan blogger pada android adalah bisa menulis kapan saja
tanpa harus terkoneksi dengan internet.
Saya menawarkan, boleh juga
menulis pada Google doc. Setelah selesai menulis, silakan share linknya agar
saya bisa membacanya. Para siswa terlihat lebih paham untuk urusan ini. saya
berharap mereka mulai menulis, tidak sekadar mengiyakan.
Saya hendak meninggalkan kelas
ketika Fauzi melaporkan bahwa struktur kelas belum jadi. Kemarin saya sudah
meminta Fauzi untuk merancang struktur kelas dan Gian bisa membantu rancangan
jadinya pada Corel draw untuk kemudian dicetak jadi banner. Ternyata struktur
belum terwujud. Saya menghentikan niat meninggalkan kelas. Saya meminta Fauzi
agar memimpin membuat struktur kelas. Saya melongok ke luar kelas. Terlihat
kelas 10 masih rapi berbaris di lapangan
menyimak apel bersama satu-satunya DanDim perempuan yang ada di Indonesia
(katanya begitu). Saya merasa tenang, artinya pelajaran belum dimulai. Saya lanjautkan
menemani Fauzi merancang struktur kelas. Tidak lama, selesai.
Hari ini, saya meninggalkan kelas
12 MIPA 6 dengan doa semoga mereka menghambakan dirinya dengan banyak
berkomunikasi kepada Tuhan melalui do’a.
No comments:
Post a Comment