Hari Senin ini akan dihabiskan di lbukota Indonesia, Jakarta. Kehadiran saya di Jakarta, tidak mengubah wajah Jakarta, atau membuat Cianjur berkurang satu penduduknya. Semuanya terdengar dan terlihat biasa. Namun jika ditelusuri, sama sekali, tidak biasa.
Subuh buta saya dan anak saya telah membelah jalan raya menuju Bogor. Kabut dan temaram jalan yang sebagian tanpa penerangan membuat kami selalu waspada. Banyak tersiar kabar banyak kejahatan di jalan raya demi untuk mendapatkan kendaraannya, harta yang dibawanya, dan nyawa tidak dimasukkan sebagai sesuatu yang berharga. Perjalanan sunyi, sesekali pecah ketika anak saya yang sulung mengajak berbicara. Mungkin sekedar menghilangkan kantuk, karena dia menyetir.
Hampir pukul 5 pagi kami tiba di stasiun Bogor. Kendaraan disimpan diparkiran yang disediakan pihak stasiun keret api.
Kami naik kareta api menuju Jakarta. Mulanya, kami duduk, dan bisa membayar kantuk dengan tidur tanpa mimpi.
Saya terbangun ketika insting mengatakan kereta penuh sesak. Benar, ketika membuka mata, tak ada daerah kosong, lorong penuh orang. Mungkin semua orang ini bekerja di Jakarta, pikirku.
Saya lihat ada 2 orang lbu-lbu hamil. Saya persilakan dia duduk. Anak saya melakukan hal yang sama. Kami berdua berdiri menahan diri agar bisa berdiri di belantara kaki dan tubuh yang mendorong dan menghimpit kami dari berbagai arah.
Menurut perhitungan saya, gerbong kereta telah melebihi kapasitas yang mampu ditampungnya. Sayangnya, masih saja ada orang yang memaksa masuk. Maka, makin sesaklah lorong tempat dimana saya dan anak saya berdiri. Saya koreksi, bukan berdiri. Berdiri ditandai dengan kaki tegak lurus 90°. Saya menopang badan dengan kaki miring 45° karena terdorong dari belakang.
Seorang gadis di belakang saya terlihat meringis karena badannya yang kecil terjepit dari semua arah. Tangannya menggapai-gapai mencari pegagan. Seorang lbu mengeluh, dan meminta gadis di samping saya untuk membuka jendela. Sepertinya dia merasa tidak lagi bisa bernafas karena sesak. Jendela dibuka, wush...angin polusi masuk. Kami menghirup udara kotor dengan ikhlas. Tidak ada pilihan. Kaki sakit menahan beban badan sendiri dan tubuh orang lain. Setiap kali kereta api berhenti, bertambah pula orang yang naik. Memaksa naik.
Terdengar suara pengumuman di dalam kereta api, ' Untuk keselamatan, penumpang yang tidak dapat naik jangan memaksakan diri.'
Saya seperti sedang mengalami apa yang disebut Richard K Coleman sebagai 'paradoks tragis.'
Pengumuman bergema didalam kereta api. Penumpang yang tidak dapat naik, berada di luar kereta. Teriak-teriak himbauan untuk keselamatan tidak terdengar oleh yang seharusnya mendengarnya. Persis seperti guru yang memarahi siswa yang sering bolos kepada siswa yang hadir, sementara siswa yang bolosnya tidak mendengar luapan marah sang guru. Paradoks tragis.
Perjalanan dengan kereta api sejatinya sangat nyaman, paradoks tragisnya, perjalanan jauh dari nyaman. Lebih dekat kepada pengalaman traumatik.
Badan terjepit, kaki hampir mati rasa karena terlalu lama menahan tubuh, udara yang terasa tipis, dan tulang rusuk terasa akan patah terdorong ransel mungkin berisi setrikaan.
Untunglah setiap perjalanan memiliki akhir. Saya bernafas lega pada saat kereta mengumumkan kereta api telah tiba di akhir perjalanan. Saya meninggalkan gerbong yang menyodorkan pengalaman tragis.
Syukurlah segala haru biru gerbong kereta api, sirna ketika bertemu anak saya. Saya mencoba memahami makna gerbong dan penumpangnya yang tidak berdaya didera desakan kelebihan penumpang. Saya ibaratkan gerbong itu kelas, di dalamnya berdesak-desakan mimpi-mimpi siswa, juga mimpi gurunya. Setiap pemimpi terombang-ambing, terseok-seok, menahan beban dorongan dari mimpi orang-orang di sebelahnya. Semuanya harus sabar, harus bekerjasama sampai ujung perjalanan yang telah di tetapkan.
Tidak bisa siswa atau saya menyerah dan meminta mundur di tengah perjalanan karena merasa terlalu kesempitan dan terdesak mimpi-mimpi orang lain. Semua harus ikut aturannya, ikut takdirnya. Nanti, ada masanya semuanya berakhir dan bertemu dengan mimpinya.
No comments:
Post a Comment