Genap sudah, jatuh pada hari ini
saya seminggu menjadi wali kelas 12 MIPA 6. Saya dapat mengatakan bahwa niat
untuk mengajak peserta didik menjadi orang berbeda (to be different),
tersampaikan dan tindakan untuk menjadi orang berbeda sedang dalam proses.
Sesungguhnya hari ini libur
secara akademik. Sekolah berakhir pada hari Jumat. Namun sebagai wali kelas,
saya tetap melakukan komunikasi dengan siswa bimbingan saya. Nama Ikrar
melintas dalam benak. Apakah dia baik-baik saja? Hari Jum’at saya tidak bertemu
dengannya. Melalui sms saya berkomunikasi dan kemudian saya merasa lega, dia
mengabarkan bahwa dia dalam keadaan segar bugar.
Wadah komunikasi yang disepakati
kelas adalah LINE. Bergabung dengan dunia LINE yang didalamnya dihuni orang
hebat yang berada di kelas 12 MIPA 6, menarik. Mereka anak-anak yang peduli dan
tanggap terhadap kejadian di sekitarnya. Ini pertanda baik. Selama ini ada
kekhawatiran yang berlebihan bahwa anak-anak zaman sekarang kurang peduli dengan
apa yang terjadi dengan lingkungannya. Hal ini tidak bisa digeneralisir (baca:
disamaratakan). Para siswa, pada LINE, mereka sedang membicarakan tentang
kebakaran yang asapnya terlihat membumbung tinggi. Salah seorang siswa yang
tinggalnya agak jauh dari TKP namun melihat kepulan asapnya melaporkan hal
tersebut. Teman-temannya merespon kejadian dengan harapan dan do’a semoga tidak
ada korban dan apinya tidak merembet ke gedung lainnya.
Percakapan mereka tentang
kebakaran, mengundang perhatian saya. Alex Spiegel (2011) mengatakan bahwa
anggapan dan ekspektasi (harapan) guru mempengaruhi bagaimana siswanya
bertindak dan bertingkah laku. Saya beranggapan semua siswa saya baik,
bertanggung jawab dan peduli.
Kepercayaan itu membuat saya berbicara dan bersikap dengan cara yang
berbeda. Efeknya, mereka menunjukkan sikap seperti yang saya asumsikan. Melalui
LINE saya mencoba mengenal dan memahami keunikan mereka masing-masing. Saya
yakin bahwa mereka bersikap mengikuti bagaimana saya bersikap terhadap mereka.
Saya juga menemukan bahwa siswa
saya adalah anak-anak yang antusias untuk mengenal hal baru. Seorang siswa
mengunggah tawaran seminar di IPB pada hari Sabtu. Mulanya mereka merasa ragu
dan khawatir jika nanti pada saat seminar diberi pertanyaan atau mungkin ada
tes. Saya tersenyum ketika membaca kekhawatiran mereka. Jelas terlihat bahwa
mereka belum memiliki pengalaman mengikuti kegiatan seminar, lokakarya,
simposium atau kegiatan pertemuan yang membahas satu topik yang disajikan oleh
dosen (penyaji). Saya membantu menenangkan dengan menuliskan bahwa pada
seminar, peserta biasanya datang, duduk, menyimak, dan mendapatkan sertifikat.
Dalam hati saya menambahkan, ‘Tentu
saja peserta seminar yang baik bukan sekadar datang dan duduk. Dia harus
berinteraksi dengan penyaji agar muncul pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan
baru yang menawarkan solusi atau alternatif bagi masalah yang sedang dijadikan
isu.’ Saya tidak terlalu memikirkan apakah siswa saya paham hal ini atau tidak.
Saya tawarkan bahwa jika memerlukan izin dan surat resmi untuk mengikuti
seminar, saya bisa membantu. Dengan memberikan surat izin, saya memberikan
kesempatan kepada mereka untuk membuka kesempatan dan peluang baru, menemukan
teman baru, dan melihat bagaimana remaja lain seusianya bertindak. Saya
berharap dengan mengikuti seminar mereka lebih kaya secara pengalaman, lebih
luas secara wawasan, dan lebih terdidik secara intelektual. Sering melihat dunia
luar sangat penting untuk anak-anak yang sebentar lagi akan melanjutkan hidup
di dunia perkuliahan.
Hal lain yang menyenangkan saya
adalah mereka berusaha menggunakan Bahasa Inggris untuk bercakap pada LINE. Fenomena
ini saya apresiasi tinggi-tinggi. Saya melihat bahwa mereka berusaha
menunjukkan yang terbaik yang mereka mampu. Sebuah usaha yang luar biasa. Saya yakin,
jika mereka terus menerus berusaha menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan
di LINE, perlahan namun pasti, kemampuan Bahasa Inggris mereka akan meningkat.
Yang membahagiakan adalah mereka
satu persatu mulai berbagi link blog. Artinya mereka sudah mulai menulis untuk ‘Seri
365.’ Saya merasa trenyuh ketika ada seorang siswa yang mengaku bahwa dirinya
tidak bisa membuat blog, namun dia bekerja keras untuk dapat membuatnya
sendiri. Saya sangat terkejut, siswa yang mengaku tidak bisa membuat blog tadi
kurang lebih dalam 3 jam telah berbagi link blog. Saya harus mengakui temuan Tom
Stafford (2011) pada bukunya Teaching Visual Literacy yang menyebutkan bahwa
Generasi Z yang besar pada tahun 2000an mereka adalah warga negara digital
(digital native). Mereka memiliki kemampuan sosial, teknologi, dan teknologi
yang berbeda dengan saya, yang lahir jauh sebelum jaman milenial.
Satu persatu link blog
bermunculan di LINE. Saya menikmati sajian tulisan yang dibuat oleh siswa saya
dengan ucap syukur. Mereka benar-benar sedang berada pada alur untuk menjadi
orang yang berbeda. Wujud syukur saya, saya komunikasikan kepada siswa saya
dengan mengunggah komentar pada setiap tulisan yang mereka unggah.
No comments:
Post a Comment