Kamis, 20.07.2017 (lagi-lagi angka yang bagus).
Saya dapat menemui kelas 12 IPA
6. Mereka berada di kelas bangunan atas, paling ujung kiri jika saya menghadap
ke arah Timur. Pada saat menuju kelas, saya berpapasan dengan siswa yang tahun
sebelumnya saya ajar di kelas 11, saya ditanyai apakah benar saya mewalikelasi
12 IPA 6. Pertanyaan ini mendatangkan rasa bangga bagi saya sebagai seorang
guru. Saya memaknainya mereka ingin diwalikelasi saya. Terbukti dengan
pertanyaan yang diajukannya , ‘bolehkah saya meminta bertukar wali kelas dan
meminta Ms jadi wali kelas saya?’ Saya menjawab dengan senyum, saya jelaskan
meminta itu hak, namun persoalan dikabulkannya tidak berada pada tangan saya. Kekecewaan
nyata terlihat dari wajahnya. Semoga siswa ini mendapatkan wali kelas sesuai harapannya,
walaupun bukan saya.
Kelas 12 IPA 6 rupanya telah
menunggu kehadiran saya. Mereka diam ketika saya masuk kelas. Sunyi.
Kesunyian kelas yang dihuni 30an
siswa bisa saja terasa menakutkan bagi setiap guru, termasuk saya. Bisakah kesunyian
ini akibat dari ketidaksiapan mereka bertemu wali kelas? Mungkinkah mereka
merasa takut ketika menyadari bahwa wali kelasnya bukan guru yang
diharapkannya?
Pertanyaan itu tidak lama
bertahta di pikiran saya. Saya segera mengucapkan salam segera setelah
menyimpan tas. Saya mengambil gawai yang didalamnya sudah saya tulis plan
(rencana) untuk kelas 12 IPA 6. Pada 5 menit pertama, warga 12 IPA 6 masih
terlihat canggung. Saya mencoba mengubah suasana dengan menyampaikan misi saya
untuk mengajak mereka menjadi orang berbeda (to be different).
Saya jelaskan bahwa di dunia ini
agar kehadiran kita diakui orang lain dapat dilakukan dengan 3 cara. Pertama menjadi
orang nomor satu, namun itu tidak mudah diraih karena harus menyingkirkan
banyak orang. Kedua, menjadi orang terhebat, namun ini pun tidak sederhana
mencapainya karena banyak orang yang lebih hebat dari kita. Terakhir, ketiga,
menjadi orang berbeda. Untuk menjadi orang berbeda dapat diraih siapapun.
Sebagai contoh, untuk menjadi
orang berbeda, mudah sekali. Dia tidak membuang sampah sembarangan. Sampah sendiri
diurus sendiri. saya tunjukkan bagaimana mengurusi sampah sendiri dengan
menggunakan kantong yang dibawa dari rumah, dilipat sedemikian rupa dan
kemudian setelah penuh dibuang ke tempatnya. Saya mengajak siswa 12 IPA 6
menjadi orang berbeda dengan membawa kantong sampah sendiri dan berhenti
membuang sampah sembarangan. Mereka terlihat siap menjadi orang berbeda.
Saya lanjutkan, untuk menjadi
orang berbeda, tidak berat. Dia mengisi
waktu luangnya dengan membaca. Saya iming-imingi bahwa dengan membaca seseorang
akan menjadi orang berbeda. Saya contohkan bahwa saya sedang membaca buku
Angels and Demons karya Dan Brown. Saya uraikan secara singkat bagaimana teori
logika melawan teori Tuhan. Bagaimana sains menciptakan sesuatu dari sesuatu,
dan bagaimna Tuhan menciptakan sesuatu dari tidak ada. Mereka terlihat
tertarik. Sayangnya ketika mereka ditanya mereka sedang membaca buku apa
sekarang. Jawabannya adalah senyum. Senyum orang Indonesia bisa bermakna
banyak. Senyum yang saya lihat bisa saja bermakna mereka tidak sedang membaca
buku apapun.
Senyum ini memprihatinkan
saya. Di belahan dunia sana, saya baca di Flibroard, anak-anak SMA selama libur
musim panas mereka diwajibkan membaca sederetan buku yang ditetapkan sekolah. Di
Indonesia, termasuk 12 IPA 6, mereka berlibur dan benar-benar libur. Tidak ada
kegiatan apapun yang berbau mendapatkan pelajaran, termasuk membaca.
Saya ingin mereka berkata
bahwa mereka sedang membaca buku A, atau buku B ketika ditanya. Saya putuskan
untuk membuat perpustakaan kelas. Caranya dengan meminta setiap siswa
meminjamkan buku-buku non pelajaran yang mereka miliki di rumah. Kelas
menyediakan lemari atau rak untuk menampung buku-buku tersebut. Termasuk saya
akan meminjamkan buku-buku saya untuk mereka nikmati kehebatan isinya.
Sambil berkelakar saya katakan
bahwa orang gila bisa menulis buku, dia benar-benar gila. Mereka tertawa. Saya jelaskan
bahwa ada orang gila menulis buku berjudul ‘Tenggelam dalam lautan jiwa.’ Tulisannya
berisi penjelasan bagaiamana dirinya sebagai orang gila memandang
sekelilingnya. Dia menuliskan tahun berlompat ke tahun lampau seperti tahun
1200an, bertemu Raja dan berbincang dengannya. Dia juga mengatakan bahwa dirinya
tahu dan sadar ketika disebut orang gila.
Ajakan ini mendapat sambutan
baik. Siswa 12 IPA 6 sepertinya bersedia menyisihkan waktunya untuk membaca. Gejala
positif ini tentu menggembirakan saya.
Saya merasa yakin bahwa orang
yang banyak membaca memiliki cakrawala dan pengetahuan yang lebih luas. Saya berharap
dengan disediakan buku di dalam kelas, siswa kelas 12 IPA 6, mereka
perlahan-lahan mulai menerima bahwa membaca tidak sulit. Buku mudah dijangkau. Untuk
memastikan mereka membaca, saya katakan bahwa saya akan hadir ke kelas setiap
hari mulai pukul 6.45 sampai 7.15. Mereka agak terkejut. Saya pun terkejut.
Menghindari terlalu lama
terkejut, saya melanjutkan percakapan dengan mengajak mereka untuk mulai
memikirkan pembuatan struktur kelas, melengkapi peralatan kebersihan kelas,
jadwal piket kelas, dan rencana membawa bekal. Tidak dipungkiri menghabiskan waktu
dari pukul 6.45 sampai pukul 16.00 di sekolah memerlukan persediaan makan yang
cukup. Jajan saja, tidak memenuhi kebutuhan asupan makanan anak-anak yang
aktivitasnya begitu tinggi.
Salah seorang siswa mengatakan
bahwa dia diberi uang jajan perhari Rp. 10.000. dia menyisihkan Rp. 5.000 untuk
membeli bensin. Sisanya untuk jajan, kebutuhan makan dia penuhi dengan membawa
bekal. Dia calon orang hebat. Pertama, dia memakan makanan yang sehat dari
rumah. kedua, dia pandai mengatur keuangan. Terinspirasi dari calon orang hebat
ini, saya ajukan agar siswa lain membawa bekal dari rumah.
Hal lain yang saya anjurkan
kepada siswa adalah untuk memiliki buku yang khusus mencatat kegiatannya selama
kelas 12 bersama saya. Saya ajak agar mereka menghasilkan satu buku pada saat
lulus nanti. Berkaitan dengan itu, saya menawarkan agar membuat nama kelas yang
menunjukkan cita-cita, ide, dan harapan kelas. Jika perlu membuat logo. Mereka antusias
menyambut tawaran tadi. Mereka menunjuk bahwa ada siswa yang menguasai Corel
Draw yang memungkinkan struktur kelas dan logo kelas dibuat dengan artistik.
Anjuran lainnya adalah membuat
grup kelas. Mereka memilih LINE (walaupun ada yang meminta WA) karena sebagian
besar menggunakannya. Saya di-invite dan join sekitar pukul 15.00. Ajeng bersedia menjadi admin LINE untuk kelancaran komunikasi
kelas.
Hampir 1 jam saya berada di
kelas 12 IPA 6. Pertemuan ditutup dengan meminta siswa untuk mendonasikan
sebagian uang jajannya (Rp. 2.000) untuk melengkapi peralatan kelas yang masih
kurang.
Saya merasa bahagia karena
dapat mulai mengajak menjadi orang berbeda kepada 36 orang remaja. Mereka akan
menjadi orang-orang hebat karena sejak SMA mereka telah jadi orang berbeda. Perbedaan
mereka telah dimulai. Pada LINE mereka membicarakan bagaimana bentuk rak untuk
menyimpan buku perpustakaan kelas. Bagi saya, itu permulaan yang baik.
Besok, saya akan hadir pada
pukul 6.45. Akan saya lihat berapa orang dari mereka yang tepat waktu. Saya telah
menyiapkan bacaan ‘Pembawa Mayat’ untuk dibedah dan menjadi kajian bersama.
No comments:
Post a Comment