Pada saat membuka grup para dewan kesenian, yang pertama terlihat adalah rentetan unggahan sumbangan untuk membeli jaket. Saya tentu saja segera turut membayar karena saya berada pada grup itu dan merasa terpanggil untuk turut menyumbang.
Para seniman yang mengabdikan dirinya untuk hidupnya seni sepertinya tidak sempat memikirkan hidupnya sendiri.
Saya memikirkan, seorang seniman setiap hari berada di padepokan seni, mengurusi grup WA siang malam. Tidakkah dia bekerja atau mengerjakan hal lain selain dari WA-an dan berada di padepokan. Tidakkah dia berkeluarga. Jika ya, bagaimana dia menghidupi diri dan keluarganya?
Banyak yang tidak dapat saya pahami dalam kehidupan para seniman. Salah satunya adalah tidak menurunkan ilmu dan kepiawaian seninya kepada generasi muda. Kalau dia mati, semua ilmu dan kepiawaiannya akan turut pula tebawa mati. Penemuan dia, upaya dia berkreasi dalam seni, mati pula.
Dalam pemikiran saya, akan sangat berguna jika dia mau berbagi ilmu dan menurunkan ilmunya. Tapi pemikiran saya tidak bisa melawan aturan tidak tertulis yang sudah ditorehkan dalam tatanan pemikiran seniman pemilik ilmu tersebut.
Yang menjadi perhatian saya adalah pengabdian seniman yang 100% untuk seni, tidak membantunya hidup seindah seni yang digelutinya. Untuk rokok sekadar perintang hari dan penambah akrab obrolan, tidak selalu dengan mudah dicabut dan digelar pada meja diskusi alot seni yang tiada henti, dalam arti tiada ujung.
Andai saja pemerintah memberikan uluran finansial untuk para seniman, mungkin wajah budaya dari elemen seni, akan berbeda. Campur tangan pemerintah yang pro seniman, misalnya memberikan mereka ruang untuk berkarya, memberikan mereka tempat untuk manggung, dan memberikan mereka untuk mendapatkan imbalan yang layak atas kreasinya, seni bisa saja menjadi hobi yang diberkati para orang tua. Selama ini, para orang tua agak khawatir jika anak yang menggantungkan hidup pada seni. Berdasarkan cerita, fakta, dan kondisi yang dapat dilihat dalam keseharian, seniman belum bisa jadi andalan. Memang ada satu dua, tapi bagaimana dengan ribuan lainnya?
Andai saja pemerintah memberikan uluran finansial untuk para seniman, mungkin wajah budaya dari elemen seni, akan berbeda. Campur tangan pemerintah yang pro seniman, misalnya memberikan mereka ruang untuk berkarya, memberikan mereka tempat untuk manggung, dan memberikan mereka untuk mendapatkan imbalan yang layak atas kreasinya, seni bisa saja menjadi hobi yang diberkati para orang tua. Selama ini, para orang tua agak khawatir jika anak yang menggantungkan hidup pada seni. Berdasarkan cerita, fakta, dan kondisi yang dapat dilihat dalam keseharian, seniman belum bisa jadi andalan. Memang ada satu dua, tapi bagaimana dengan ribuan lainnya?
No comments:
Post a Comment