Wednesday, August 2, 2017

Hari Ke-12

Cianjur-Jakarta secara jarak tidak terlalu jauh, 130km.  Jarak tersebut seharusnya dapat ditempuh antara 3 sampai 4 jam. Bahkan untuk daerah lain, bisa saja ditempuh antara 2 sampai 3 jam. Namun tidak demikian dengan perjalanan yang harus saya lalui.

Pukul 11 pagi saya telah menerima surat tugas untuk mengikuti kegiatan penulisan ilmiah dan karya inovasi di Jakarta. Karena hari ini tidak ada jadwal mengajar saya dapat meninggalkan sekolah segera setelah surat tugas selesai.

Saya meninggalkan rumah dengan berbekal baju ganti seadanya, kegiatan tidak lama, tidak memerlukan baju ganti yang banyak. Berangkat dari Cianjur pukul 12, perjalanan diatur agar tidak terlalu lama. Perjalanan pertama dari Cianjur menuju Bogor dan kendaraan di simpan di Stasiun Bogor. Dari Stasiun Bogor menuju Jakata, dilanjutkan dengan taksi. Perjalanan hemat waktu tersebut, memakan waktu 4,5 jam.

Saya langsung masuk mengikuti kegiatan. Terlihat semua peserta sangat serius menyimak penjelasan penyaji. Profesor Darwan, beliau menjelaskan etika penulisan ilmiah dan menghindari plagiasi.  Tiba-tiba saya teringat fenomena Afi Nihaya Paradisa, seorang siswa SMA yang mendapatkan penghargaan dari Presiden Indonesia, Jokowi juga viral di Facebook karena tulisannya yang kemudian dicurigai plagiat. Terlanjur terkenal, Afi meminta maaf dengan mengunggah video permintaan maaf bertajuk “This is My Apology” dalam Bahasa Inggris, yang juga ternyata diduga plagiat dari Amanda Tod.

Penjelasan Prof. Darwan yang menyebutkan ‘jujur’ sebagai bagian dari etika penulisan ilmiah dan karya inovasi. Jujur menjadi sangat penting dalam penulisan ilmiah guru. Beberapa waktu lalu, bahkan mungkin sampai hari ini tersiar kabar bahwa guru melakukan hal tidak terpuji untuk kenaikan pangkat dengan cara tidak jujur. Salah satunya adalah plagiasi karya tulis ilmiah.

Selanjutnya, Prof. Darwan menjelaskan tentang Jurnal. Bagaimana mengelola jurnal, membuat jurnal yang sehat, menjadi kontributor jurnal, serta hal lainnya yang membantu guru dapat mengabadikan karyanya pada jurnal.  Beliau menyampaikan bahwa pelatihan ini tidak akan mengubah apapun. Ibarat petani, petani hanya dapat menanam. Beliau menegaskan bahwa petani hanya dapat menanam dan   memelihara tanamannya. Semua yang dia tanam  seperti kopi, jagung, pisang, apa saja,  tidak bisa dia paksa agar tanaman tersebut berbuah. Duren berbuah karena dirinya sendiri, jagung berbuah karena dirinya sendiri, semua tanaman berbuah karena dirinya sendiri, BUKAN KARENA DIANCAM.

Lanjut Prof. Darwan, pelatihan hanya memberikan inspirasi. Yang menulis adalah bapak ibu guru sendiri. Bukan salah bunda mengandung, tapi buruk suratan tangan sendiri jika guru tidak naik pangkat akibat tidak mulai menulis karya ilmiah. Kegiatan pelatihan dapat menjadi ayah ibu kandung atau mau jadi anak tiri. Menjadi apapun kegiatan pelatihan yang diikuti oleh para guru, merupakan pilihan. Semuanya ada pada pilihan bapak ibu guru sendiri. Jika sepulang dari kegiatan ini guru segera menulis dan berproduksi, maka kegiatan ini menjadi ayah ibu kandung. Jika ternyata hanya sekedar hadir dan kembali pada kebiasaan semula, kegiatan ini ibaratnya hanya jadi anak tiri.

Penjelasan Prof. Darwan membuat saya teringat siswa-siswa saya. Mereka mengira bahwa mereka bisa berbahasa Inggris karena gurunya dianggap pintar berbahasa Inggris. Saya sering dan berulang-ulang mengatakan bahwa saya, sebagai guru, tidak dapat membuat siswa manapun bisa berbahasa Inggris. Saya hanya bisa menunjukkan caranya. Sama seperti petani, dia hanya bisa menanam, tapi tidak bisa memaksanya berbuah.

Beberapa kali saya mencontohkan bahwa saya sedikit  bisa berbahasa Inggris karena guru saya berbagi rahasia caranya. Dulu, ketika saya SMA, guru Bahasa Inggris saya ‘memaksa’ saya untuk bisa berbahasa Inggris dengan memberi saya buku bahasa Inggris. Ketika SMA saya tidak terlalu menyukai bahasa Inggris, malah saya menyukai Sejarah. Kalau nasib saya buruk, nanti jadi guru, jadi guru sejarah. Idealnya saya ingin jadi ‘penemu’ seperti dalam film-film, menemukan mumi, menemukan kerajaan yang hilang, menggali tulang belulang, menemukan harta karun, atau menemukan The Lost City.

Guru  bahasa Inggris saya memberi buku “The History of the World” Saya membaca buku itu dengan disandingi kamus. Sedikit frustasi, tentu saja, karena tidak memahami seluruh isi buku tersebut. Buku tersebut bahkan ditinggalkan, tidak khatam dibaca. Saya lapor kepada guru bahwa saya tidak paham isi buku yang diberikannya. Beliau menyarankan untuk membaca buku bahasa Inggris untuk SMP kelas 1, yang saya mampu baca tanpa menggunakan kamus. Beliau meminta agar sambil membaca buku yang bisa saya paham, hafalkan juga kalimat-kalimatnya.

Semua yang disampaikan guru saya, saya turuti. Saya pun membaca apa yang saya paham dan tidak membuat frustasi. Jika ada satu atau dua kata yang tidak paham, ketika melihat kamus pun tidak sefrustasi saat pada setiap paragraf harus melihat kamus. Saya menghafal kalimat. Tidak setiap hari saya menghafal kalimat, tapi dalam seminggu, pasti ada yang dihafal. Saya tidak merasa mampu berbahasa Inggris pada saat itu. Saya tidak pernah berbicara dalam bahasa Inggris dengan siapapun, termasuk di kelas pun, hanya sekali dua kali saja. Yang saya lakukan membaca sesuai pesan guru. Kata guru saya, rahasia menguasai bahasa Inggris: baca buku atau teks apa saja yang berahasa Inggris.


Sebagai guru bahasa Inggris, saya tidak bisa membuat siswa saya bisa berbahasa Inggris. Hanya bisa memberitahukan caranya. Cara yang berhasil saya lakukan (sesuai pesan guru saya) adalah dengan membaca buku berbahasa Inggris dan menghafal kalimat-kalimatnya. 

No comments:

Post a Comment