Cianjur-Jakarta secara jarak tidak terlalu jauh, 130km. Jarak tersebut seharusnya dapat ditempuh
antara 3 sampai 4 jam. Bahkan untuk daerah lain, bisa saja ditempuh antara 2
sampai 3 jam. Namun tidak demikian dengan perjalanan yang harus saya lalui.
Pukul 11 pagi saya telah menerima surat tugas untuk
mengikuti kegiatan penulisan ilmiah dan karya inovasi di Jakarta. Karena hari
ini tidak ada jadwal mengajar saya dapat meninggalkan sekolah segera setelah
surat tugas selesai.
Saya meninggalkan rumah dengan berbekal baju ganti seadanya,
kegiatan tidak lama, tidak memerlukan baju ganti yang banyak. Berangkat dari
Cianjur pukul 12, perjalanan diatur agar tidak terlalu lama. Perjalanan pertama
dari Cianjur menuju Bogor dan kendaraan di simpan di Stasiun Bogor. Dari
Stasiun Bogor menuju Jakata, dilanjutkan dengan taksi. Perjalanan hemat waktu
tersebut, memakan waktu 4,5 jam.
Saya langsung masuk mengikuti kegiatan. Terlihat semua
peserta sangat serius menyimak penjelasan penyaji. Profesor Darwan, beliau
menjelaskan etika penulisan ilmiah dan menghindari plagiasi. Tiba-tiba saya teringat fenomena Afi Nihaya
Paradisa, seorang siswa SMA yang mendapatkan penghargaan dari Presiden
Indonesia, Jokowi juga viral di Facebook karena tulisannya yang kemudian
dicurigai plagiat. Terlanjur terkenal, Afi meminta maaf dengan mengunggah video
permintaan maaf bertajuk “This is My Apology” dalam Bahasa Inggris, yang juga
ternyata diduga plagiat dari Amanda Tod.
Penjelasan Prof. Darwan yang
menyebutkan ‘jujur’ sebagai bagian dari etika penulisan ilmiah dan karya
inovasi. Jujur menjadi sangat penting dalam penulisan ilmiah guru. Beberapa
waktu lalu, bahkan mungkin sampai hari ini tersiar kabar bahwa guru melakukan
hal tidak terpuji untuk kenaikan pangkat dengan cara tidak jujur. Salah satunya
adalah plagiasi karya tulis ilmiah.
Selanjutnya, Prof. Darwan
menjelaskan tentang Jurnal. Bagaimana mengelola jurnal, membuat jurnal yang
sehat, menjadi kontributor jurnal, serta hal lainnya yang membantu guru dapat
mengabadikan karyanya pada jurnal.
Beliau menyampaikan bahwa pelatihan ini tidak akan mengubah apapun. Ibarat
petani, petani hanya dapat menanam. Beliau menegaskan bahwa petani hanya dapat
menanam dan memelihara tanamannya. Semua yang dia
tanam seperti kopi, jagung, pisang, apa
saja, tidak bisa dia paksa agar tanaman
tersebut berbuah. Duren berbuah karena dirinya sendiri, jagung berbuah karena
dirinya sendiri, semua tanaman berbuah karena dirinya sendiri, BUKAN KARENA
DIANCAM.
Lanjut Prof. Darwan, pelatihan hanya memberikan inspirasi. Yang
menulis adalah bapak ibu guru sendiri. Bukan salah bunda mengandung, tapi buruk
suratan tangan sendiri jika guru tidak naik pangkat akibat tidak mulai menulis
karya ilmiah. Kegiatan pelatihan dapat menjadi ayah ibu kandung atau mau jadi
anak tiri. Menjadi apapun kegiatan pelatihan yang diikuti oleh para guru,
merupakan pilihan. Semuanya ada pada pilihan bapak ibu guru sendiri. Jika sepulang
dari kegiatan ini guru segera menulis dan berproduksi, maka kegiatan ini
menjadi ayah ibu kandung. Jika ternyata hanya sekedar hadir dan kembali pada
kebiasaan semula, kegiatan ini ibaratnya hanya jadi anak tiri.
Penjelasan Prof. Darwan membuat saya teringat siswa-siswa saya.
Mereka mengira bahwa mereka bisa berbahasa Inggris karena gurunya dianggap
pintar berbahasa Inggris. Saya sering dan berulang-ulang mengatakan bahwa saya,
sebagai guru, tidak dapat membuat siswa manapun bisa berbahasa Inggris. Saya
hanya bisa menunjukkan caranya. Sama seperti petani, dia hanya bisa menanam,
tapi tidak bisa memaksanya berbuah.
Beberapa kali saya mencontohkan bahwa saya sedikit bisa berbahasa Inggris karena guru saya berbagi
rahasia caranya. Dulu, ketika saya SMA, guru Bahasa Inggris saya ‘memaksa’ saya
untuk bisa berbahasa Inggris dengan memberi saya buku bahasa Inggris. Ketika
SMA saya tidak terlalu menyukai bahasa Inggris, malah saya menyukai Sejarah.
Kalau nasib saya buruk, nanti jadi guru, jadi guru sejarah. Idealnya saya ingin
jadi ‘penemu’ seperti dalam film-film, menemukan mumi, menemukan kerajaan yang
hilang, menggali tulang belulang, menemukan harta karun, atau menemukan The
Lost City.
Guru bahasa Inggris saya
memberi buku “The History of the World” Saya membaca buku itu dengan disandingi
kamus. Sedikit frustasi, tentu saja, karena tidak memahami seluruh isi buku
tersebut. Buku tersebut bahkan ditinggalkan, tidak khatam dibaca. Saya lapor
kepada guru bahwa saya tidak paham isi buku yang diberikannya. Beliau menyarankan
untuk membaca buku bahasa Inggris untuk SMP kelas 1, yang saya mampu baca tanpa
menggunakan kamus. Beliau meminta agar sambil membaca buku yang bisa saya
paham, hafalkan juga kalimat-kalimatnya.
Semua yang disampaikan guru saya, saya turuti. Saya pun membaca
apa yang saya paham dan tidak membuat frustasi. Jika ada satu atau dua kata
yang tidak paham, ketika melihat kamus pun tidak sefrustasi saat pada setiap
paragraf harus melihat kamus. Saya menghafal kalimat. Tidak setiap hari saya
menghafal kalimat, tapi dalam seminggu, pasti ada yang dihafal. Saya tidak
merasa mampu berbahasa Inggris pada saat itu. Saya tidak pernah berbicara dalam
bahasa Inggris dengan siapapun, termasuk di kelas pun, hanya sekali dua kali
saja. Yang saya lakukan membaca sesuai pesan guru. Kata guru saya, rahasia
menguasai bahasa Inggris: baca buku atau teks apa saja yang berahasa Inggris.
Sebagai guru bahasa Inggris, saya tidak bisa membuat siswa saya
bisa berbahasa Inggris. Hanya bisa memberitahukan caranya. Cara yang berhasil
saya lakukan (sesuai pesan guru saya) adalah dengan membaca buku berbahasa
Inggris dan menghafal kalimat-kalimatnya.
No comments:
Post a Comment