Tuesday, August 29, 2017

Hari Ke-40 Pangandaran Kini

Dalam pikiran, 27 tahun lalu, Pangandaran adalah pantai tempat pertama saya melihat Banteng yang berkeliaran malam-malam,  bertemu Rusa kecil makan pucuk dedaunan di bawah pohon,  dan monyet-monyet liar bergelut di pohon.

Kini, kujumpai Pangandaran dengan wajah yang sama sekali baru. Riasan dan pernak perniknya membuat pengunjung berdecak kagum. Perubahan secara fisik dan non fisik tengah berlangsung dan mempengaruhi rupa pantai Pengandaran. Dalam dua hari satu malam, saya mencatat beberapa hal di bawah ini.
Sepanjang jalan menuju pantai dihiasi dengan hotel-hotel dan penginapan baru yang seolah saling berlomba ketinggian. Berbagai bentuk, gaya, dan sentuhan seni bertebaran di setiap bangunan melengkapi kebutuhan pendatang dari berbagai kalangan. Pemandangan ini mengingatkan  saya pada  Beijing dimana penataan diatur sedemikian rupa sehingga setiap seni yang menempel pada bangunan selain memperindah kota juga membuatnya menjadi khas. Misalnya pada daerah Ring 1, ketinggian bagunan hanya boleh 10 meter, makin besar Ring, makin tinggi bangunan yang diizinkan.  Hasilnya, luar biasa, bangunan tertata membentuk cekungan sempurna. Pangandaran, dari segi seni, sangat kaya dan memperindah kota. Dari segi penataan, masih perlu mendapatkan masukan terutama dari pihak pemberi izin membuat bangunan.

Kemegahan bangunan di sepanjang jalan di tengah kota dihiasi pula dengan gerombolan motor RX King yang sedang berjambore. Pengguna RX King dari berbagai daerah, berkumpul, menunjukkan identitas dan eksistensi komunal dengan memakai baju seragam. Kesannya gagah tapi sedikit menakutkan bagi saya. Para pria berpakaian warna gelap, berikat kepala, berambut tidak terurus, berdiri, duduk, jongkok,  bertebaran di pinggir jalan secara tak beraturan. Mereka menghidupkan motornya dengan suara memekakkan telinga. Sepertinya knalpotnya dibuka dan semakin berisik suaranya,  dianggap semakin bagus. Mereka berduyun-duyun menggunakan motor dengan suara yang bising dan asap knalpot tidak terbendung. Jambore ini sepertinya tidak terkoordinir menjadi suatu aktivitas. Mereka  hanya berkumpul,  berkendara tanpa helm, memutar-mutar kota, pamer motor. Itu saja.

Perubahan Pangandaran terlihat pula pada kehidupan penduduk setempat. Efek dari daerah wisata adalah hilangnya tawaran berbasis ikhlas. Hampir semua hal berbau ekonomi, ada kesan, apapun harus menghasilkan uang. Ada bangku kosong di pinggir pantai, pada saat kita duduki pada pukul  9 malam, tiba-tiba muncul orang entah dari mana berkata bahwa bangku itu sewaan, harus bayar. Jangan tanya toilet. Semua bertarif. Mandi 5.000. Sangat komersil.

Pantai Pangandaran menjadi bagian penting dalam perubahan Pangandaran.  Terlihat di sana sini, bibir pantai ditandai dengan tembok yang mengatakan bahwa tanahnya telah jadi milik seseorang dan siap dibangun. Penduduk setempat mungkin tidak berkesempatan menjadi orang yang memasang pagar penanda wilayah.  Mereka mungkin tersingkir setelah tanahnya dijual. Fenomena penduduk pribumi menjadi  tamu ditanahnya sendiri perlahan namun pasti akan muncul.

Perubahan lainnya adalah pada makan dan makanan.  Makan pagi tersedia dimana-mana. Pedagang asongan menjajakan makanan sampai ke pintu penginapan. Bagi mereka yang menyukai mie, mie seduh pada gelas stereoform bertebaran di hampir semua tempat.

Pangandaran sebagai daerah pantai, pohon kelapa dengan mudah ditemui. Minuman dari buah kelapa dijumpai setiap saat. Butiran kelapa bertumpuk-tumpuk menanti pembeli.

Yang masih sama adalah pantainya itu sendiri.  Pantai tetap sendiri. Dia membiarkan dirinya dieksploitasi, dikotori dengan sampah, ditancapi pagar pembatas.  Pantai, sendiri, sunyi. 

No comments:

Post a Comment