Tuesday, August 22, 2017

Hari ke-21 Tamu di Rumah Sendiri

Libur dari full day school, menyenangkan bagi siswa juga guru. Hukum alam, libur merupakan hari yang ditunggu. Demikian juga saya, menanti hari libur. Bukan hanya sekadar ada waktu untuk mencuci baju, memasak makanan sesuai pesanan anak, merapikan rumah, dan pekerjaan domestik lainnya. Bagi saya, hari libur, dapat melakukan hal yang saya sukai. Bisa saja tiduran seharian, bisa saja mengompres mata dengan air hangat, bisa saja mencabuti rumput yang tumbuh bebas di sekitar rumah, bisa saja membaca buku.

Membaca buku merupakan bagian yang lebih banyak saya lakukan ketika libur. Hari ini saya akan membaca My not so perfect life karya Sophie Kinsella. Buku ini menjadi best seller di Inggris, dan saya beruntung bisa mendapatkan hard kopinya dari tetangga (orang Inggris) yang sedang berlibur katanya mau membeli villa di sebuah pulau di Nusantara ini. Saya tidak iri karena tetangga hendak mendapatkan hak atas tanah dan kemudian menjadikaanya usaha pariwisata untuk keuntungan pribadinya. Yang saya iri adalah pemerintah negeri ini. Kenapa hatinya begitu ikhlas tanah Nusantara ini sedikit demi sedikit menjadi miliki orang asing dan kita, pribumi, menjadi kulinya. Keikhlasan macam apa sehingga tanpa beban merelakan penduduk negeri ini menjadi kuli di negerinya sendiri. Saya iri atas ketidakmampuan saya untuk mengikhlaskan setiap jengkal tanah Indonesia berpindah sertifikat hak kepemilikannya kepada orang-orang asing.

Kembali ke buku yang saya baca. Buku ini mengisahkan remaja desa lulusan universitas ternama, berotak, cerdas, cantik, sedang mencoba mendapatkan pekerjaan di belantara London yang terkenal kejam, dan serba mahal. Tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan dia dipecat tanpa jelas alasannya sehingga terlunta-lunta untuk mendapatkan pekerjaan selanjutnya, hidup super ngirit agar dapat bertahan di kota impian. Namun pekerjaan tak kunjung diperolehnya sehingga untuk mengisi waktu, dia pulang dulu dan membantu ayahnya membangun bisnis baru.

Saya terpesona dengan gaya penulis menyampaikan konflik kantor, konflik remaja desa yang berusaha menyesuaikan diri menjadi orang kota, konflik pertemanan kaya-miskin. Jika ditelaah, hidup, di mana saja, seolah sama. Yang berbeda nama, negara, agama, suku, makanan. Hakekat hidup yang lainnya sama. Mencari bahagia, mencari jati diri, mencoba yang terbaik, dan bersedia menerima ketidakpuasan. Dan hidup, baik dalam novel ataupun dalam nyata, sepertinya sama. Beralur, mengalir membawa tokohnya ke titik akhir kisah hidupnya. Bisa bahagia, bisa tragis, bisa pula tak jelas, tapi itulah akhir.

Saya tidak bisa membaca tuntas buku ini. Saya berjanji akan menghadiri kegiatan blok sekolah yang diberi nama SGC bertempat di perkemahan Mandala Kitri Cibodas. Saya berangkat pukul 8 malam, saya ingin memastikan berapa siswa 12 MIPA 6 yang hadir dan kegiatan apa saja yang mereka ikuti. Saya khawatir jika mereka membuat acara di dalam acara. Izin yang saya berikan membuat kehidupan mereka lepas dari pengawasan diri dan lupa menjaga diri.

Tiba di Mandala Kitri saya disuguhi api unggun yang dikelilingi anak-anak berpakaian pramuka. Mereka bernyanyi, berjoget, berkreasi dalam bidang seni suara, dan music mengisi dinginnya kaki Gunung Gede. Suasana sunyi sama sekali hilang. Anak-anak tenggelam dalam keriaan menjadi anggota ekstrakurikuler secara resmi. Saya bertemu beberapa alumni yang mendedikasikan waktunya untuk membimbing adik angkatan.

Saya tidak menghabiskan malam di SGC, selain terlalu dingin untuk badan saya yang tidak kuat menahan dingin. Saya harus beristirahat yang cukup, esok hari walaupun Minggu, saya memiliki pekerjaan yang harus dilakukan dengan konsentrasi penuh. Saya meminta izin pulang kepada panitia dan anak-anak. Sambil berjalan, sedikit gelap, saya terhalang tambang yang membentang di sepanjang jalan dari mulut Mandala Kitri entah kemana. Saya tanya, untuk apa tambang dibentangkan sepanjang jalan. Seorang pedagang menjawab, ‘untuk Unta.’

Unta? Maksudnya unta yang ada di negara Arab? Apa unta bisa hidup di kaki Gunung Gede? Pertanyaan bermunculan karena jawaban pedagang menimbulkan tanya. Sejak kapan bisa hidup di daerah dingin.

Rupanya bukan unta hewan, tapi sebutan untuk gurauan bagi orang Arab yang dalam dua tahun terakhir ini menbanjiri kota Cipanas. Mereka berdatangan untuk menikmati Kota Bunga, membeli vila dan membeli tanah untuk membangun rumah mewah. Hampir tiada henti, mereka berdatangan sebagai turis. Memenuhi taman wisata kaki gunung Gede. Peluang ini dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk menyediakan lahan bermain yang apapun nama dan permainannya, pasti dicoba. Yang menarik, mereka juga bertebaran di toko-toko, di Ramayana, borong barang-barang. Saya sering bertemu mereka, dan tidak pernah bertegur sapa, karena wajahnya ditutup cadar. Hanya kerling bening matanya saja yang terlihat. Saya kadang memikirkan untuk apa belanja dari Indonesia? Apa tidak repot di bandara nanti? Membawa barang-barang yang di negaranya pun ada.

Terlalu banyak yang harus dipikirkan di negeri ini. Lebih baik tidak berpikir untuk sesaat. Biarkan pikir istirahat. 

No comments:

Post a Comment