Bel berbunyi. Saatnya literasi. Semua siswa dan guru memegang buku. Sebagian membaca, sebagian mencoba membaca, sebagian memaksa membaca, sebagian berusaha berdamai dengan membaca. Polah tingkah yang muncul saat literasi (apapun itu) menggembirakan bagi saya yang berharap semua warga sekolah menjadi orang yang berwawasan luas dan kaya informasi sehingga tidak terbawa arus hingar bingar saracen.
Waktu literasi terasa berlalu lebih cepat dari yang seharusnya. Senyap khas literasi dipenggal bel masuk jam pertama.
Saya meninggalkan kelas 12 MIPA 6 dan masuk ke kelas yang tertera pada jadwal. Jam ke-1 dan ke-2, saya membayangkan semangat siswa pada jam awal melahap pelajaran dengan semangat.
Seusai membagikan lembaran kerja yang telah dinilai, kelas dimulai dengan memasangkan in focus. LCD diharapkan membantu banyak kepada siswa dan guru dari aspek kepraktisan. Misalnya pada saat menayangkan gambar, para siswa dapat melihatnya dengan jelas. Sayang, cahaya dari luar tanpa terhalang selembar benangpun mengakibatkan pantulan cahaya LCD hanya terlihat seperti bayangan di kaca yang 5 tahun belum di bersihkan. Pembelajaran yang direncanakan menarik, berubah membingungkan karena apapun yang ditayangkan tidak terlihat. Para siswa menanggapi kondisi ini dengan berbicara dengan teman sebangkunya. Entah membicarakan pantulan LCD, entah bicara yang lain.
Situasi tidak nyaman ini segera diputus dengan menyetel rekaman berita sesuai materi yang harus dikuasai siswa. Lembaran pertanyaan diberikan dengan tujuan agar siswa mendapatkan arahan, bagian mana yang harus diperhatikan sehingga nanti berita tersebut tertangkap informasi utamanya. Setiap pertanyaan dibahas apa maksud dan tujuannya. Para siswa terlihat datar. Kelas sepi. Saya merasa sendirian di kelas. Siswa tidak bertanya, tidak menyahut, hanya memegang kertas.
Setelah siswa dianggap paham apa yang harus dilakukan selama menyimak rekaman berita, rekaman disuarakan. Bahasa lnggris yang diucapkan berlogat Inggris British. Tanpa diduga para siswa berbunyi. Mereka tertawa, saling tatap dengan temannya dan kemudian tertawa lagi. Adakah yang salah dengan rekaman ini?
Terdengar pembaca berita mengucapkan 'submarine', seorang siswa berujar keras ' sugan maling' diikuti gelak tawa temannya. Selanjutnya mereka menertawakan pembaca berita yang mungkin tidak dapat mereka pahami sedang mengatakan apa. Ajakan agar mencoba konsentrasi pada apa yang diucapkan dengan menyandingkan teks berita yang dipegang dengan bunyi dari rekaman, kurang berhasil. Para siswa terkekeh-kekeh dan sibuk sendiri dengan dunia dan pikirannya.
Mengantisipasi kekacauan, teks saya bacakan dengan perlahan sambil dijelaskan apa maksudnya. Cara ini tentu saja membodohkan siswa. Alasan pertama, para siswa tidak berkesempatan mendengar variasi logat bahasa Inggris yang nyata, misalnya bagaimana bahasa Inggris diucapkan orang India, Singapur, Amerika, atau Cina seperti yang disediakan pada rekaman. Kedua, menerjemahkan setiap kata memperlambat kemampuan siswa untuk berpikir kritis dengan cara menebak makna kalimat berdasarkan kosa kata yang telah dimilikinya. Saya sesungguhnya merasa bersalah kepada siswa, namun jika pilihan ini tidak diambil, para siswa membuat kesibukan sendiri, no engagement at all.
Upaya ini berhasil, sesaat. Para siswa terlihat enggan menemukan informasi dari teks dengan membacanya berulang-ulang didampingi guru agar paham. Wajah mereka menunjukkan penolakan, dibuktikan dengan mengobrol. Melihat hal ini bukan berarti kesabaran guru diuji, namun harus ditemukan kenapa siswa seolah enggan belajar. Mereka asik ketika mengobrol dengan temannya (bahkan pada saat pelajaran berlangsung).
Permasalahan ini dikonfirmasikan kepada guru lain. Saya tidak sendiri, guru lainpun mengiyakan bahwa banyak siswa yang seolah hadir ke sekolah agar tidak dimarahi orang tuanya karena tidak berangkat ke sekolah. Di sekolah, siswa secara fisik duduk di bangkunya dan menjawab 'hadir' ketika namanya dipanggil. Setelah itu, urusan selesai, belajar tidak jadi tujuan. Tujuan utama: meninggalkan rumah, menjawab hadir ketika di absen.
Tulisan di atas hanya ungkapan kekhawatiran guru kepada siswanya yang menyia-nyiakan waktu belajar. Guru yang bersedia menemani belajar diabaikan karena alasan pelajarannya sulit, tidak bakalan bisa, susah, dan alasan klise lainnya.
No comments:
Post a Comment