Sebulan lebih bersama 12 MIPA 6, saya sudah mulai kenal secara personal penghuni kelas ini. Setiap siswa dengan gaya, cara, katakter, bahkan masalahnya masing-masing. Semua menjadikan kelas ini menjadi unik sekaligus sempurna sebagai gambaran sebuah masyarakat kecil yang sedang mencoba meraih mimpinya.
Kelas saat ini sedang merasa gundah dengan persiapan ujian praktek seni budaya. Kesulitan yang dihadapi dimulai dari pencarian tema. Kemudian mencari pelatih. Terakhir yang terberat adalah mencari biaya untuk membayar pelatih dan kostum.
Kesulitan pertama, mencari tema. Berdasarkan permintaan dari guru seni budaya, para siswa diharuskan tampil secara klasikal namun dengan peran individual berkolaborasi menampilkan seni tari, seni suara, seni panggung, dalam satu paket tampilan. Penampilan yang melibatkan 39 orang siswa dengan hasil optimal tidaklah mudah. Harus ditemukan tema yang dapat memfasilitasi setiap siswa secara perorangan namun bisa menjadi bagian dari kelas. Saya hanya membayangkan mungkin, tampil dalam bentuk satu paket tema yang rasional, harus ada alur cerita. Tema cerita yang diusung harus secara adil melibatkan setiap siswa. Bisakah itu terwujud? Kekompakan kelas yang jadi taruhannya.
Kesulitan kedua, menemukan pelatih. Ujian seni budaya melibatkan tidak hanya satu kelas, namun 6 kelas. Hampir semua seniman dalam kota, habis teken kontrak. Siswa yang belum mendapatkan pelatih, mencari, hunting bertanya ke kakak kelas yang telah lulus dan telah lepas dari kesulitan ujian ini.
Saya lihat di LINE para siswa menemukan pelatih dari Bandung. Pelatih akan bulak balik dari Bandung. Sebuah rencana yang terdengar repot bagi saya. Pelatih yang lelah, harus melatih begitu banyak siswa. Semoga saja hal terburuk, seperti pelatih datang dan tidak bisa melatih karena kelelahan, tidak terjadi.
Kesulitan ketiga, biaya. Para siswa diminta membayar, satu orang 10.000 rupiah untuk sekali datang sebagai pengganti ongkos pelatih. Belum termasuk kostum, rias wajah dan properti. Melihat deretan yang harus dibayar, artinya tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan. Para siswa menyisihkan sebagian dari uang saku untuk ini. Padahal, banyak iuran lain yang juga harus dipenuhi. Saya dengar baru-baru ini para siswa harus berlatih infak, setiap orang berinfak sejumlah 25.000 rupiah dan harus selesai dibayar per 25 Agustus ini. Belum termasuk iuran bulanan untuk melengkapi pernak pernik kelas.
Saya melihat ada sisi baiknya yakni para siswa berlatih mengatur keuangannya. Namun sisi kurang pisitifnya adalah beban biaya ini kenapa baru muncul sekarang. Tidak bisakah sekolah memasukannya pada rapat orang tua dan menetapkan bahwa di kelas 12 orang tua mendapat beban tambahan untuk ujian praktek seni sekian, untuk beli sapu sekian, untuk infak sekian, untuk ujian praktek sekian, jumlah semuanya sekian. Para orang tua dapat mencicil perbulan sekian.
Uang saku siswa berada pada posisi tidak sehat. Full day school, berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 6 sore, membutuhkan paling tidak 3 kali makan di sekolah. Sedangkan uang saku, sebagian besar siswa mengaku tidak naik. Bahkan ada siswa yang mengaku hanya diberi 10.000 rupiah perhari dan harus mencakup beli bensin.
Di luar yang dituliskan di atas, saya membayangkan bagaimana mereka berlatih. Bisa saja pada saat janjian, semua siswa siap hadir. Pada saat pelaksanaan ada sebagian yang tidak hadir. Hal ini akan merepotkan. Selain latihan terganggu karena tidak lengkapnya siswa, latihan akan jalan ditempat, susah maju, karena pelatih bolak balik melatih yang baru bergabung.
Selain itu saya membayangkan dimana mereka akan berlatih. Adakah alat musik dan perangkat pendukung lainnya siap? Ataukah harus menyewa lagi? Artinya biaya lagi. Sewa tempat, sewa alat, semuanya tentu tidak ada yang gratis.
Saya setuju dengan adanya ujian praktek pwr mata pelajaran. Namun tidak bisakah dibuat sedemikianrupa sehingga tidak menimbulkan kegundahan? Sebagai contoh, untuk mata pelajaran bahasa Inggris, jika mau menimbulkan kegundahan, buat ujian praktek berbicara dalam bentuk drama, per kelompok 5 sampai 7 orang, pada saat tampil gunakan kostum, properti, dan panggung. Niscaya dengan cara ini para siswa kalang kabut. Untuk menampilkan peran Red Riding Hood misalnya, bisa saja dia membuat baju merah kepada tukang jahit. Demi lengkapnya peran. Biaya mulai membeli kain sampai menjahit bukan sedikit. Hanya untuk tampil sekian menit. Bolehlah bajunya menyewa, misalnya untuk peran Cinderella, sewa baju, rias, dan asesoris lainnya, tetap saja mahal.
Yang diujikan bukan hanya bahasa Inggris, bagaimana jika mata pelajara lain meminta hal yang sama? Kiamat kecil yang nanti dirasakan siswa. Padahal mereka sedang menggiatkan diri menghadapi Ujian Nasional dan SBMPTN, hal yang lebih pokok.
Ujian praktek, tidak menjadi utama, namun menyita hampir semua perhatian siswa. Paradox tragis.
Wah betul miss, kiamat kecil agaknya mulai kami rasakan.
ReplyDeleteTerimakasih sudah mewakili argumen saya
ReplyDeleteUnek unek saya tersalurkan miss. Terharu:')
ReplyDelete