Dimana-mana kombinasi warna merah dan putih mendominasi. Ada yang menjulang bergerigi seperti panji-panji berjejer di pinggir jalan. Ada yang bergelayut berkerut-kerut menempel di pagar atau pada bagian atap. Ada pula yang bergemelutuk ketika tertiup angin karena dibuat dari cangkang gelas Aqua yang diwarnai merah putih dan digantungkan di atas kepala di gang-gang. Kertas-kertas merah putih dan bendera merah putih berkibar ditiup angin. Esok, hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 72.
Menilik siswa dan guru pada zaman kemerdekaan dari sudut bagaimana mereka mengisi kebebasan dari kungkungan untuk memperoleh pendidikan, sepertinya masih banyak yang harus kita lihat ulang. Siswa, tahun ini menerima perlakuan sebagai warga negara yang diarahlan untuk memilih tempat belajar berdasarkan zona tinggal. Siswa juga menjadi subyek yang menerima layananan pendidikan dengan kurikulum 2013 dan lama di sekolah menjadi 8 jam perhari, 5 hari dalam seminggu, full day school.
Guru, tidak berbeda jauh dari siswa. Mereka menghabiskan waktu 8 jam perhari, 5 hari perminggu. Mereka juga menjejalkan semangat kurikulum 2013 yang dihiasi dengan keterampilan abad 21, karakter, literasi dan belajar pada tahap berpikir tingkat tinggi. Beban guru dan siswa sama beratnya. Lebih banyak guru dan siswa yang tidak berbahagia tahun ini akibat dari hal-hal yang disebutkan di atas.
Hari ini, ketika masuk sekolah, semangat kemerdekaan hampir tidak terasa. Tidak ada bendera yang berjejer-jejer atau bersesak-sesak di depan bangunan sekolah. Mungkin, belum. Bendera mungkin akan dipasang esok.
Saya lihat sebagian anak berserakan di lorong-lorong. Mereka mengucapkan rasa bahagia karena guru jam pertama tidak hadir. Katanya gurunya yang sedang mengurusi pengajuan pensiun. Kondisi ini menggambarkan bahwa anak-anak tidak menunjukkan orang terdidik yang memanfaatkan waktu seperti halnya orang terdidik. Mereka tidak memanfaatkan waktu 1,5 jam untuk sekedar membaca. Membaca apapun. Berteriak-teriak, bernyanyi, bergitar, bergerombol, duduk-duduk menghalangi tangga, benar-benar pilihan tindakan yang kurang tepat. Selain membuang waktu pagi dengan percuma, juga mengganggu orang lain.
Guru yang tidak hadir meninjukkan semangat mengakhiri masa kerja tanpa kasih. Jika dia mengasihi siswanya, tentulah paling sedikit dia memikirkan ketidakhadirannya di kelas sehari ini. Dia memikirkan dengan apa ketidakhadirannya bisa diisi. Mungkin bisa dengan memberikan tugas membaca, atau menulis.
Saya tidak terlalu memikirkan anak yang tanpa kasih ditinggalkan gurunya. Yang menjadi pikiran bagaimana agar mereka menurunkan suaranya sedikit agar suara saya bisa didengar oleh kelas. Saya longok keluar dan meminta mereka masuk kelas. Sedikit keberisikan berkurang, walaupun sepertinya mereka melanjutkan kemerdekaan tanpa guru di dalam kelas.
Saya mengajar kembali dan mencoba membuat seisi kelas tidak tergoda untuk ikut berisik menyuarakan kebebasan ala anak tanpa guru.
Jam pertama dan kedua telah usai. Saya memilih untuk memeriksa hasil pekerjaan siswa di ruang guru.
Waktu berjalan terasa amat cepat, adzan dhuhur berkumandang. Saatnya memberikan hak tubuh, istirahat. Semoga dengan demikian badan tidak terlalu cepat aus.
No comments:
Post a Comment