Wednesday, August 23, 2017

Hari Ke-22 Jangan Berhenti Berlatih agar Terampil

Menikmati hari Minggu dilakukan dengan berbeda cara oleh setiap orang. Bagi saya hari Minggu digunakan untuk berperan sebagai bagian masyarakat. Saya bersosialisasi atau sekadar berbincang ringan dengan tetangga. Saya dianggap kurang sosialisasi di kampung tempat saya tinggal. Hal ini muncul karena pertama, saya jarang ada di rumah. Pergi pagi pulang petang, malamnya tidak keluar rumah. kedua, saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk bercengkrama dengan tetangga selain karena rumah saya paling pinggir,  para tetangga juga sungkan untuk berbasa basi mengingat saya hampir tidak pernah berguyon dengan siapapun. Mungkin saya dianggap makhluk paling serius.

Minggu ini saya telah punya janji dengan sesama guru yang hendak berbincang soal tesis. Beruntung sekali, saya memiliki pengalaman menulis tesis. Pengalaman menulis tesis saya dibutuhkan oleh rekan saya ini untuk memotivasinya menulis, maju sidang, dan tangguh menyelesaikan revisi.
Dari pengakuannya saya bisa merasakan kembali ke masa dimana nasib seolah ada di tangan pembimbing dan penguji. Pada saat menulis tesis, yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan menulis efektif saja. Lebih dari itu. Kekuatan dan daya tahan secara mental. Bagi saya, pada saat itu, hambatan seolah berlapis. Tesis harus ditulis dalam bahasa Inggris sesuai jurusan, kedua konten harus seizin pembimbing. Menulis dalam bahasa Inggris, tentu saja tidak pede, karena bukan bahasa nasional atau bahasa Sunda yang setiap hari dipakai. Memaksanakan diri menulis dalam bahasa Inggris tentu saja menimbulkan masalah tersendiri. Saya melaluinya dengan susah payah.

Hal berat kedua adalah konten. Pengetahuan seorang mahasiswa, jauh bak bumi dengan langit ketika mengkaji sebuah isu pendidikan. Saya merasa tidak tahu dengan apa yang harus ditulis padahal untuk menulis hal lain, tidak ada segelap itu. susah payah pula saya memahami konten yang kemudian harus ditulis sebagai teori, dikaji, dilihat praktiknya, dan dianalisa koneksitas teori dan praktiknya. Rasanya perjalanan yang hampir tiada ujung ketika menghubungkan apa yang dibaca di buku dengan fakta yang ditemukan dari hasil observasi, kemudian ditulis menjadi sebuah temuan.

Kini, hal tersebut dialami teman saya. Saya yakin, dia bingung karena ketidaktahuan apakah pekerjaannya dianggap layak sebagai sebuah temuan. Apakah nanti tulisannya bisa diterima sebagai karya ilmiah yang mengantarkannya memiliki gelar akademik. Saya menjelaskan hal yang saya tahu menyoal penulisan, penyajian, proses persidangan, revisi, sampai wisuda. Penjelasan tersebut membantu meringankan secara mental, sepertinya. Tidak perlu taku sidang, karena jika tidak berani sidang, maka kuliah tidak akan pernah selesai. Stessnya tidak akan berakhir. Lebih baik ikut sidang, seburuk apapun tesis kita saat itu. setelah sidang, akan ada masukan, dan tesis dapat direvisi jika masih diangap belum merepresentasikan kemampuan menulis kita.

Dalam pandangan saya, proses menulis tesis, berat, karena saya tidak memiliki pengalaman menulis sebelumnya. Ketika saya menetapkan melanjutkan kuliah dan ternyata harus diakhiri dengan menulis tesis, hal ini terasa menjadi beban yang mungkin tidak pernah bisa saya atasi. Namun saya jalani, tesis terus menerus dibaca-ditulis ulang-diedit-dibaca ulang, hingga pada akhirnya dianggap mendekati bisa disebut tesis. Selesai, sesederhana itu, sekompleks itu.


Seusai berbincang dan mengenang masa-masa menulis tesis, saya masih merasakan, sampai saat ini, bahwa menulis tidaklah mudah untuk orang yang tidak memiliki bakat seperti saya. Orang berbakat menulis, tanpa sekolahpun, bisa menghasilkan tulisan yang luar biasa. Bagi saya, yang tidak berbakat, hanya bergantung pada ujaran para ahli bahwa menulis adalah keterampilan. Keterampilan artinya sesuatu yang bisa diperoleh karena latihan. Maknanya, saya berpeluang untuk bisa menulis, selama rajin berlatih. Tulisan ini pun adalah wujud latihan saya menulis. Semoga di kemudian hari saya menguasai keterampilan menulis. 

No comments:

Post a Comment