Menikmati hari Minggu dilakukan dengan berbeda cara oleh
setiap orang. Bagi saya hari Minggu digunakan untuk berperan sebagai bagian
masyarakat. Saya bersosialisasi atau sekadar berbincang ringan dengan tetangga.
Saya dianggap kurang sosialisasi di kampung tempat saya tinggal. Hal ini muncul
karena pertama, saya jarang ada di rumah. Pergi pagi pulang petang, malamnya
tidak keluar rumah. kedua, saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk
bercengkrama dengan tetangga selain karena rumah saya paling pinggir, para tetangga juga sungkan untuk berbasa basi
mengingat saya hampir tidak pernah berguyon dengan siapapun. Mungkin saya
dianggap makhluk paling serius.
Minggu ini saya telah punya janji dengan sesama guru yang
hendak berbincang soal tesis. Beruntung sekali, saya memiliki pengalaman
menulis tesis. Pengalaman menulis tesis saya dibutuhkan oleh rekan saya ini
untuk memotivasinya menulis, maju sidang, dan tangguh menyelesaikan revisi.
Dari pengakuannya saya bisa merasakan kembali ke masa dimana
nasib seolah ada di tangan pembimbing dan penguji. Pada saat menulis tesis,
yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan menulis efektif saja. Lebih dari itu.
Kekuatan dan daya tahan secara mental. Bagi saya, pada saat itu, hambatan
seolah berlapis. Tesis harus ditulis dalam bahasa Inggris sesuai jurusan, kedua
konten harus seizin pembimbing. Menulis dalam bahasa Inggris, tentu saja tidak
pede, karena bukan bahasa nasional atau bahasa Sunda yang setiap hari dipakai. Memaksanakan
diri menulis dalam bahasa Inggris tentu saja menimbulkan masalah tersendiri.
Saya melaluinya dengan susah payah.
Hal berat kedua adalah konten. Pengetahuan seorang
mahasiswa, jauh bak bumi dengan langit ketika mengkaji sebuah isu pendidikan.
Saya merasa tidak tahu dengan apa yang harus ditulis padahal untuk menulis hal
lain, tidak ada segelap itu. susah payah pula saya memahami konten yang
kemudian harus ditulis sebagai teori, dikaji, dilihat praktiknya, dan dianalisa
koneksitas teori dan praktiknya. Rasanya perjalanan yang hampir tiada ujung
ketika menghubungkan apa yang dibaca di buku dengan fakta yang ditemukan dari
hasil observasi, kemudian ditulis menjadi sebuah temuan.
Kini, hal tersebut dialami teman saya. Saya yakin, dia
bingung karena ketidaktahuan apakah pekerjaannya dianggap layak sebagai sebuah
temuan. Apakah nanti tulisannya bisa diterima sebagai karya ilmiah yang
mengantarkannya memiliki gelar akademik. Saya menjelaskan hal yang saya tahu
menyoal penulisan, penyajian, proses persidangan, revisi, sampai wisuda.
Penjelasan tersebut membantu meringankan secara mental, sepertinya. Tidak perlu
taku sidang, karena jika tidak berani sidang, maka kuliah tidak akan pernah
selesai. Stessnya tidak akan berakhir. Lebih baik ikut sidang, seburuk apapun
tesis kita saat itu. setelah sidang, akan ada masukan, dan tesis dapat direvisi
jika masih diangap belum merepresentasikan kemampuan menulis kita.
Dalam pandangan saya, proses menulis tesis, berat, karena
saya tidak memiliki pengalaman menulis sebelumnya. Ketika saya menetapkan
melanjutkan kuliah dan ternyata harus diakhiri dengan menulis tesis, hal ini
terasa menjadi beban yang mungkin tidak pernah bisa saya atasi. Namun saya
jalani, tesis terus menerus dibaca-ditulis ulang-diedit-dibaca ulang, hingga
pada akhirnya dianggap mendekati bisa disebut tesis. Selesai, sesederhana itu,
sekompleks itu.
Seusai berbincang dan mengenang masa-masa menulis tesis,
saya masih merasakan, sampai saat ini, bahwa menulis tidaklah mudah untuk orang
yang tidak memiliki bakat seperti saya. Orang berbakat menulis, tanpa
sekolahpun, bisa menghasilkan tulisan yang luar biasa. Bagi saya, yang tidak
berbakat, hanya bergantung pada ujaran para ahli bahwa menulis adalah
keterampilan. Keterampilan artinya sesuatu yang bisa diperoleh karena latihan.
Maknanya, saya berpeluang untuk bisa menulis, selama rajin berlatih. Tulisan
ini pun adalah wujud latihan saya menulis. Semoga di kemudian hari saya
menguasai keterampilan menulis.
No comments:
Post a Comment