Memulai minggu akademis dengan
apel pagi. Dulu, saya mendengar kata apel merupakan pembuka kegiatan untuk
kantor-kantor. Saya baru mengetahui, bahwa apel juga ada di sekolah. Mungkin
apel di sekolah sama dengan apel pada kegiatan pramukaan.
Apel Senin ini membahas
kedisiplinan. Pembina apel menghimbau agar datang tepat waktu, menjaga
kebersihan kelas, dan senantiasa menunjukkan yang terbaik sebagai siswa SMAN 2
yang terpilih. Semua yang hadir, diam. Mungkin mereka mencerna himbauan dengan
interpretasinya sendiri-sendiri.
Saya tidak melakukan pendampingan
literasi pada hari Senin, selain tidak ada jadwalnya, kalaupun memaksakan diri,
tidak ada cukup waktu untuk itu. Segera setelah apel selesai, para siswa
menerima penjelasan tambahan dari Kesiswaan, mereka semua duduk di lapangan.
Sementara para guru diminta langsung menyimak brifing.
Brifing membahas sikap guru
terhadap siswa. Disinyalir ada ketidaksinkronan antara pemberian pembelajaran
bagi siswa yang kesiangan yang dilakukan di piket dengan di kelas. Sebagai
contoh, siswa yang terlambat hadir, langsung ditangani oleh piket (yang
mengakibatkan siswa tersebut semakin lambat masuk ke kelas). Siswa tersebut
masuk ke kelas dengan membawa surat keterangan terlambat masuk dan disebutkan
alasannya. Sejatinya dengan adanya surat keterangan ini, siswa dapat langsung mengikuti
pelajaran. Pada kenyataannya terdapat guru yang memberikan perlakuan tambahan
ketika siswa tersebut sampai ke kelas. Hal ini merugikan siswa. Siswa yang
seharusnya bisa mengikuti pelajaran, malah melaksanakan tindakan lain yang
diminta oleh guru kelas sehingga dia tidak dapa mengikuti pelajaran.
Perlakuan guru kepada siswa yang
terlambat masuk ke kelas, atau melanggar tata tertib, tidak sama. Variasi
perlakuan ini, merugikan siswa bahkan bukan tidak mungkin memunculkan teror
secara psikologis dan mental bagi siswa. Perlakuan yang dianggap remeh temeh
dan tak berarti adalah verbal atau penggunaan kata-kata yang tidak membuat
siswa menjadi orang lebih baik. Perlakuan lainnya berupa hal yang dilakukan
secara fisik yang menurut siswa sama sekali tidak ada kaitannya dengan
pelajaran yang diampu guru.
Tidak dipungkiri bully
(perundungan) masih hadir di dalam kelas, di WC, di kantor guru, di sekitar
lorong, dan di sekolah itu sendiri. pelaku perundungan bisa siswa itu sendiri,
bisa guru, bisa pihak lain yang ada di dalam sekolah.
Perundungan yang dilakukan oleh
sesama siswa bisa saja oleh siswa itu sendiri tidak dianggap sebagai
perundungan. Bisa karena ketidaktahuan, bisa karena memang sengaja pura-pura
tidak tahu. Sebagai contoh, seorang siswa mendiamkan, tidak menegur,
menunjukkan wajah tidak suka karena ada hal yang tidak sesuai dengan yang
diinginkannya. Ketiga sikap tadi termasuk perundungan. Selama perbuatan
seseorang membuat orang lain merasa terganggu, terusik, kecewa, takut, sedih,
marah atau emosi lainnya, itu masuk ke dalam perundungan. Selama ini
perundungan selalu ditujukan pada hal-hal yang besar, seperti tindakan
pelecehan, pemukulan, pemalakan. Sesungguhnya banyak perundungan yang terjadi
disekitar siswa namun mereka menagabaikannya. Sesungguhnya tindakan mengabaikan
perundungan baik kepada pelaku ataupun kepada yang dirundungi adalah awal yang
salah. Pelaku seharusnya mendapat sanksi, dan pihak yang menjadi korban,
seharusnya mendapat pelayanan pemulihan secara mental. Jika korban dibiarkan bukan
tidak mungkin, dia merasa sekolah sebagai neraka.
Guru, berpotensi besar untuk
menjadi pelaku perundungan. Pertama, guru memiliki kekuatan (power) yang tidak
bisa dilawan siswa. Kedua, guru berada pada pihak yang pasti menang. Ketiga,
guru memandang bahwa siswa harus dididik. Keempat, guru memandang bahwa
tindakan apapun yang dilakukannya dianggap wajar sebagai wujud perannya sebagai
orang tua di sekolah. Keempat hal tadi, hanya sebagian kecil dari alasan guru
menjadi pelaku perundungan kepada siswanya.
Guru bisa saja tidak mengetahui
bahwa dirinya sedang melalukan perundungan. Atau, bisa saja dia mengetahuinya,
namun dia beralasan bahwa dia sedang melakukan ‘pendidikan’, ‘shock therapi’,
atau alasan lainnya yang bersumber dari dirinya bukan dari amanat dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik. Misalnya, guru berniat melucu, tapi malah tidak lucu
bagi siswa. Guru tersebut berkata ,’ eh kamu keriting, tulisan kamu jelek
sekali mirip cakar ayam, balik lagi sana ke SD, belajar nulis!”
Kalimat di atas akan disambut
gelak tawa sekelas. Tanpa disadari guru tersebut juga teman sekelas yang
tertawa tadi, orang yang dirundung merasa terluka jiwanya. Dia merasa harga
dirinya dijatuhkan. Tulisan yang kurang bagus, sebaiknya tidak menjadi alasan
bagi guru untuk merundung siswa. Beri siswa tersebut latihan menulis,
berulang-ulang, lihat hasilnya setelah seminggu. Terlalu cepat menyalahkan
siswa, tidak membantu siswa untuk belajar menghormati gurunya (bahkan dirinya
sendiri).
Guru disarankan sangat
berhati-hati ketika berbicara kepada siswa. Semua ucapan guru direkam dengan
baik oleh siswanya. Semuanya. Mereka menjadi perekam dahsyat yang menjual nama
guru kepada masyarakat luar. Kemuliaan guru dipertaruhkan ketika siswa memutar
rekaman pengalaman bersama gurunya kepada pihak ketiga. Misalnya, seorang siswa
mengobrol kepada temannya di dalam angkot atas perlakuan gurunya pada hari itu.
Si siswa tadi membahas kesulitan dirinya memahami pelajaran yang diberikan
gurunya. Dia berucap bahwa gurunya ibarat lukisan abtrak, sulit untuk dipahami.
Pembicaraan ini terdengar oleh supir angkot. Supir angkot berbicara kepada
supir angkot lainnya, dia berkata bahwa guru SMA anu bukan guru yang pantas
jadi guru, abstrak, dia membuat siswanya bingung, materi yang diajarkannya
tidak dipahami muridnya sendiri. Supir angkot yang mendengar pembicaraan tadi
berbicara lagi kepada keluarganya, dia berkata, jangan memasukkan anak-anak
kita ke SMA anu, gurunya aneh-aneh, ibarat abstrak, anak-anak kita akan jadi
korban guru yang tidak jelas.
Penjelasan di atas menggambarkan
bahwa apa yang telah diucapkan tidak bisa kita kendalikan. Kalau menurut
Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan hal ini dikatakan sebagai ‘apapun yang
kita tulis, ketika telah dipublikasikan, itu bukan milik kita lagi.’ Artinya,
ketika si penulis membuat tulisan tujuannya untuk mengabarkan berita sedih
karena orangtuanya meninggal misalnya, dan tulisannya di muat di Facebook. Bagi
pembaca bisa saja dipandang sebagai tindakan kurang terpuji. Meninggal dan upacara
penguburan merupakan hal yang sakral, penghormatan terakhir kepada jasad si
mayat. Sangat kejam ketika momen sakral tersebut dimuat di FB. Foto dan tulisan
tersebut dianggap setara dengan foto dan tulisan lainnya yang kondisinya sama
sekali berbeda. Misalnya foto dan tulisan ‘seperti apa kamu 20 tahun ke depan.’
bagus infonya,, terimakasih banyak gan
ReplyDeletedan jangan lupa kunjungi link kami di http://blackwaletcare.com/