Pertanyaan itu berulang dan memnuhi kepalanya yang semakin hari terasa semakin berat dengan tawaran jawaban ketidakpastian yang dijejalkannya ke dalam sanubarinya. Tapi, seolah lupa bahwa pertanyaan itu telah diucapkannnya ribuan kali, hari ini dia mengulang pertanyaan itu. Kali ini ditujukannya pertanyaan yang basi itu pada ibunya.
"Mak, kapan sekolah dibuka?"
Ibunya tidak menjawabnya. Mungkin bagi perempuan tua itu, pertanyaan Hamid, anak bungsunya, tidak penting. Yang penting baginya adalah terhidangnya sepiring nasi dengan sedikit lauk untuk bisa dimakan dirinya dan Hamid esok.
"Mak, kapan sekolah dibuka?" Hamid mengulang lagi pertanyaannya.
"Mana Makmu ini tahu Nak," ibunya Hamid menjawab tanpa menoleh. Tangan Mak Hamid bergerak cepat membungkus pepes tahu yang hendak dikukus dan dijualnya untuk esok. Berjualan pepes tahu menjadi satu-satunya pekerjaan Mak Hamid setelah dia tidak lagi bisa bekerja menjadi pembungkus kerupuk di rumah Pak RT akibat korona.
Mata Hamid berkaca-kaca. Jawaban Maknya seolah mewakili bahwa masih lama dia harus berdiam diri di rumah dan tidak berjumpa teman-teman sekelasnya. Berangkat ke sekolah sangat dirindukan Hamid. Baginya sekolah adalah tempat yang membuatnya bisa bernapas lega dan bisa menghirup udara segar. Berada di sekolah, bisa mengistirahatkan dirinya dari menghuni ruang pengap yang setiap hari menyesakkan dadanya. Rumah petak yang ditinggali bersama Maknya begitu sempit. Satu-satunya ruang yang mampu disewa Maknya. Satu ruang yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan, ruang tidur, bahkan menjadi ruang belajar. Ruang yang tidak pernah membebaskannya dari rasa terhimpit kemiskinan.
No comments:
Post a Comment