Saturday, December 2, 2017

Setengah mati?

Aku lihat pengantar penguburan kali ini sangat banyak. Rerata usia mereka duapuluh sekian, mungkin para mahasiswa karena sebagian dari mereka ada yang berblazer dengan warna dan bentuk yang sama. Aku penasaran, siapa yang dikebumikan sepagi ini. Padahal angin ribut  Desember seolah menghalau agar jangan ada jasad yang diurai bakteri dan kembali menjadi tanah. Semua yang hadir, khusyu, berdo'a.

Sebentar, siapa itu yang berlinang air mata, meraung, meradang, melarang jangan tinggalkan dia sendirian, jangan kubur kekasihku. Dia memegang usungan mayat, menghalangi siapapun menurunkan mayat ke dalam liang lahat. Kenapa dia begitu kesetanan menghiba dalam puisi kacau dadakan bahwa dia cinta kekasihnya. Mungkin begitulah cara mahasiswa melepas kekasih ke peraduan terakhirnya, pikirku.

Masih segar dalam ingatanku ketika  Doni menanyakan bagaimana insomniaku. Akhir-akhir ini insomnia merusak malam-malamku. Malam terasa bagaikan jalan panjang tiada akhir.  Setiap detiknya memanjang, membuat malam seolah tiada ujung. Aku kelelahan dikawal insomnia setiap malam.

Malam-malam sebelum insomnia berkunjung, aku memiliki malam yang penuh dengan impian masa selepas kuliahku. Terlihat diriku memakai Toga dan memegang gulungan ijazah. Tak lama, diriku menjelma menjadi seorang ahli tata kota yang membuat kota kecilku menjadi syurga bagi para pejalan kaki. Di kota itu aku berjalan bersama kekasihku, Doni, seorang ahli racik obat. Kami berdua tertawa, melangkah bersama.

Malam yang membawa insomnia bermula ketika Doni menyuruhku memakan pil dengan kandungan hormon estrogen dan progestin, yang menghambat indung telur berovulasi atau melepaskan sel telur di rahimku. Pil itu tidak semujarab iklan, ada evolusi akibat ovulasi dalam diriku. Sejak saat itulah, aku insomnia.

Doni yang sangat mencintaiku selalu menanyakan bagaimana malam-malamku. Dia memberiku pil lainnya, katanya pil yang dapat mengalahkan insomnia, Nitrazepam.
Doni, penolongku, pil itu selalu mengantarku tidur, dalam 10 -15 menit aku sudah tidur. Dalam tidur, aku melihat diriku dan Doni kebingungan dengan evolusi di rahimku.
Dalam dunia nyataku Doni melarang aborsi,  katanya itu pembunuhan. Dalam tidurku, aku merasa takut.

Aku mengeluhkan bahwa aku bermimpi buruk. Aku melihat orangtuaku terisak menangisi diriku yang terbujur kaku dengan darah segar keluar dari hidung, mata, telinga, dan semua pori-poriku. Darah merahnya menembus kain kafan.
Kata Doni, kamu berhalusinasi, itu efek samping obat tidur.  Kamu tidak bisa membedakan apakah kamu tidur atau kamu bangun. Delusi. Kamu terkena tipu daya zat-zat kimia pada Nitrazepam. Kamu harus bangun, katamu sambil memberiku 8 pil Nitrazepam sekalgus agar aku lepas dari halusinasi dan tidur.

Aku tidur, tidak ada mimpi. Doni, kekasihku, kamu penolongku. Kamu hentikan mimpi-mimpi ngeriku. Kini aku merasa ringan, aku bisa melanjutkan hari-hariku dan mengurus bayi jadi tujuan utamaku sekarang.

Aku terbangun ketika dingin angin Desember menusukku. Gelap. Mungkin masih pagi pikirku. Aku raba perutku, oh bayi tiga bulanku syukurlah, kamu masih bersamaku. Betapa segarnya bangunku kali ini. Dunia hingar bingar tidak terdengar. Sunyi. Tapi... jauuuh, perlahan, lamat-lamat aku mendengar suara ibuku mengaji. Seolah dia ada ada diatasku.

Doni, dimana kamu? Bantu aku, aku ini sedang tidur atau bangun. Aku memanggil Doni. Dia mungkin sedang kuliah.

Aku lihat Doni tersenyum, dia sedang merapikan tempat tidurku.  Oh betapa hebatnya ayah anakku.

Aku dekati dia dan kupeluk. Doni menatapku dam berkata, "Kamu, kenapa di sini? Bukankah aku sudah menguburmu tadi pagi?"

Wednesday, November 29, 2017

Aku, aduh mati dong!!!

Terdengar bisik-bisik anak-anak di bawah tangga diantara semilir angin dingin akhir November. Mereka membahas trending topik yang benar-benar live dalam hidup mereka: besok hari ke-3 ujian apa. Saya kaget dengan topik yang diangkat tinggi melebihi hebohnya pedas Seblak Dudut atau sedapnya Mi Cius Teh Esih. Bukankah jadwal ada pada kartu ujian, kenapa pula nanya besok ujian apa. Rasanya tidak pernah terdengar kabar UAS berganti jadwal tanpa sebab. Ini kan UAS bukan ujian dadakan.

"Besok tuh Kimia, ada esay ga ya?" Terdengar suara penuh nada cemas. Mungkin kalau Kimia ada esayna setara dengan kiamat kecil. (Dianggap kecil kiamatnya karena kimia ngurus unsur dan elemen yang emang kecil-kecil).

"Rahasia atuh itu mah, kayanya soal PG 50. Itu yang sudah pasti," seseorang menjawab.

"50? Masa sih? Kok 50 sih, apa ga kebanyakan?" Suara lain menimpali seperti risih dengan angka 50.

Senyap, dingin angin makin kuat menggelitiki kulit-kulit yang hanya dibungkus seragam tipis. Gambar burung gagah pada baju batik mereka tak mampu mengurangi kejamnya angin dingin November. Angin membawa beban UAS pada mata pelajaran kedua: Bahasa Sunda.

"Ga apa-apa esay Kimia mah, coba kalau esay bahasa Sunda, help, :-( :-(  ," suara yang tadi cemas kini menjadi tremor, mirip goyangan Gunung Agung.

"Ih... itu ga seberapa kali, coba kalau esayna pake aksara Sunda, huruf-hurufnya saja sudah begitu susah diingat yang gini-gini kan?" Kulihat tangannya seolah menulis di awan, gerakannya rumit, badannya ikut doyong-doyong, mulutnya kompak ikut membuat bentuk kadang bulat, kadang manyun. Saya menikmati pemandangan akrobat huruf pantomim sambil ikut memikirkan kira-kira suku kata apa yang sedang diperagakannya (~_~)   《•..•》

"Belum lagi kalau huruf a, i, e, o, eu, pamaeh," siswa yang menyandar ke dinding menambah informasi yang membuat temannya makin bergidik ngeri membayangkan soal ujiannya seperti apa nanti. 

"Ini, benar-benar p@€h," kata teman-temannya serempak.

"Apa? P@€h ¿¿¿ " anak yang menyender ke dinding sepertinya tidak konek.

"M@t!!! Tau. Paeh = mati."

"Kok bisa mati sih, emang sesulit itu esay Bahasa Sunda. Kamu kan lahir di Sunda, ngomong Sunda, kentut juga Sunda, kenapa ujian aksara Sunda bisa mati?" Siswa nyender semakin ga nyambung.

Si penulis awan terlihat kesal dan berkata,
"Kamu mah ah lemot! Pamaeh artinya kan membuat mati. Mau tak mau kita harus mematikan huruf-huruf vokal di setiap kata kalau mau menulis sesuai kebutuhan. Matilah kita. Bukan pamaehnya yang bikin kita mati, tapi suku-suku katanya itu yang kita ga hafal, boro-boro pakai pamaeh, yang huruf hidupnya saja kita ga bisa."


Tuesday, November 28, 2017

Aku cinta kamu, Pengawas

Saya lihat Ayu pulang terburu-buru. Mungkin karena dia takut hujan yang sejak tadi pagi ngintip kapan pas buat mengguyur anak SMA yang lagi UAS hari kedua; mungkin karena dia baru sadar bahwa bekal dari rumah masih di bawah jok motornya; atau mungkin karena kemungkinan yang lain (what?).

Bagiku itu tidak biasa. Ayu biasanya kalem, penuh perhitungan (biasaaaa anak SMA mah semuanya atas nama jaim), gerak geriknya mantap. Kalau saja Ayu terlihat tergesa menyeret sepatu, berarti pertanda sesuatu. Daripada menyiksa diri dengan berbagai pertanyaan tak berkesudahan,  saya dekati Ayu dan mencoba membuka tabir gesa yang merundung harinya.

"Kayanya terburu-buru yah? What happened? Why?" Saya menghujani Ayu dengan pertanyaan (kasihan hujan yang asli  dia masih ngintip-ngintip peluang).

"Hari ini, bad day Ms," Ayu menjawab dingin, sedingin butiran hujan yang masih menggelayut di atas langit yang mulai kesal karena angin iseng menggeser posisinya.

"Hari naas? Ini mah hari Selasa Yu," saya mencoba melunturkan kesalnya dengan lelucon yang mungkin wasted bagi anak SMA.

"Ah Ms mah," Ayu mulai memperlihatkan pesona indah senyumnya dan dia mengeksplanasikan bad day-nya.
"Jam ke satu, Ayu jadi korban. Anak-anak kan udah tahu siapa pengawasnya. Ayu bertugas mulia: kalau pengawas itu ngajak ngobrol, Ayu harus siap menimpali obrolannya, kata temen-temen kalau mungkin, memperpanjang ngobrol, agar mereka ada waktu buat menikmati rumitnya soal Matematika tanpa diajak ngobrol sama pengawas itu. Dia mah suka caper ke anak cewe Ms, dan sialnya, selalu Ayu yang dipilihnya . Dia ngajak ngobrol, tahu maksudnya apa. Ayu kan pengen ngerjain dalam tenang juga Ms. Kalau Ayu jadi tumbal ngobrol demi anak lain, bagaimana nasib nilai UAS Ayu."

Saya bisa membayangkan gerahnya Ayu pada saat diajak ngobrol. Mendua pikiran, pastilah gerah. Pikiran kesatu: memikirkan jawaban. Pikiran kedua: bagaimana lepas dari cengkraman obrolan salah waktu. Belum lagi membayangkan gerahnya Ayu (yang memang Ayu, jadi walaupun gerah 100 derajat pun, pasti tetap Ayu, atau malah lebih Ayu (haduh), terdengar suara geram Ayu.

"Pas Ayu tanya, apa tuan Pengawas tahu jawaban soal nomor ini? Jawabnya aduh sudah lupa lagi, kan SMAnya sudah lama ditinggalkan. Tapi kalau mau tahu jawaban, tuh ada yang sudah selesai jawab semua. Terus dia menuju temen yang jawabannya sudah penuh, dan balik lagi ke Ayu. Terus nawarin jawaban. Kok?"

Saya melanjutkan membayangkan gerahnya Ayu menjadi gerah campur gatal-gatal. Tapi karena Ayu memang Ayu, garuk-garuknya pasti eksotik (Hus!).

"Pada jam kedua. Ayu tuh batuk. Batuknya sudah ditahan Ms. Maksudnya biar ga bikin kaget soal, atau ngagetin pengawas. Tapi, namanya juga batuk, alami saja, memecah sunyi UAS menjadi butiran-butiran ngikik dan ngakak temen-temen seruangan." Ayu melafalkan bad day sesi berikutnya.

"Pengawasnya emang marah?" Tanyaku.
"Dia bilang sstt, sstt, ini lagi ujian. Ayu jadi tersiksa, gelitik batuk sudah di tenggorokan, tapi sstt-sstt itu sok kuasa, bikin batuk serasa perbuatan dosa besar," Ayu terlihat mengerutkan alisnya. Mungkin dia menghubungkan batuk dengan dosa. Saya memperhatikan kerut alisnya, Ayu terlihat lebih cute (loh?).

"Barusan, jam terakhir," suara Ayu menyadarkan saya.

"Mana soalnya sulit banget, pengawasnya liat-liat jendela terus. Kan jadi parno, ada apa di balik jendela sana. Jadi mikirin kenapa tuan pengawas seolah ingin menemukan sesuatu di balik kaca. Setelah itu, dia ngobrol sama pengawas satunya lagi. Mana ngomongnya kenceng, aduh bikin konsen yang susah diperoleh tuh makin susah mampir. Hampir sejam ngobrol. Udah bosan mungkin, terus dia mondar mandir. Kadang Ayu dengar suara sepatunya berhenti di satu tempat,  terus terdengar mondar lagi ke mandir yang lain. Rasanya kaya ada malakal maut, bagaimana kalau tiba-tiba suara sepatunya berhenti deket Ayu," Ayu menuntaskan penjelasannya.

"Wah, benar-benar hari yang menarik," saya menyimpulkan ala guru bijaksana dengan memilih kata-kata yang semoga mengurangi kerut alis Ayu dan menutup percakapan dengan pertanyaan basi " Ayu mau pulang? Hati-hati ya."

"Ya Ms, tapi Ms boleh nanya ga?" Katanya ragu.
"Nanya apa?"
"Apa mungkin sesekali kita UAS tanpa pake pengawas biar Ayu ga bad day?"

Saya berdiri mematung,  memikirkan jawaban ala guru bijaksana sesi 2 yang bisa menenangkan Ayu.
(Haduh, gimana jawabnya ya? UAS kan selalu ada pengawasnya)

Kayanya kelamaan mikir, Ayu menjawab pertanyaanya sendiri ,"Ga  bisa ya Ms?"

Hari ini berbalik jadi bad day-nya Ayu pindah ke saya.

Monday, November 27, 2017

Aku duduk sama siapa?

Besok UAS, anak-anak sibuk cari bocoran posisi duduk, bocoran pengawas, dan bocoran-bocoran lainnya. Semua yang bocor-bocor dipandang menjadi sumber penguat jiwa ketika UAS dilaksanakan.

Apa benar bocoran posisi duduk penting?
"Ya pentinglah Ms. Ada di barisan berapa, deret berapa, menentukan prestasi," kilah lden.
"Kok bisa begitu?" Saya malah bingung. Setahuku ketika zaman SMA  dulu, duduk dimanapun pas UAS, tidak berpengaruh.

"Kan dengan tahu nomor posisi duduk, kita tahu dimana kita akan mencurahkan segala upaya selama seminggu. Misalnya nih,  yang nomor 40, enak karena posisinya ada di pojok kanan. Sementara yang nomor 35, ga banget.  Dia persis diujung hidung pengawas. Ms tahu bagaimana rasanya duduk depan pengawas? Keringetan Ms, susah gerak, dunia sempit." Iden mencoba memahamkan saya.

Saya tidak sependapat dengan lden, dan berdalih, "Enakan di dekat guru Den. Mata tajam dan ngilu dari pengawas bisanya mendarat di belakang. Yang depan malah aman."

"Depan, belakang, sama saja Ms. Sapuan tatap curiga pengawas tuh disebar merata, adil, bak sinar mentari menguapkan semua yang telah dihafal bikin kita bergidik, apalagi kalau dia ujug-ujug nyamperin. Suram dan kiamat kita," lden seperti menjelaskan apa yang pernah dialaminya sendiri. Saya mencoba membayangkan kengerian mencekam ala lden yang seumur ujian berlangsung belum pernah  saya alami.

"Tapi Ms," lden melanjutkan.
"Sebenarnya mah yang dicari teh, duduk sama siapa. Sekarang kan kelas 12. Kalau  sebangku dengan yang cantik dari kelas 10. Lumayan kan Ms, bisa menrintis pacaran singkat sambil nunggu UN," penjelasan lden membuat jantung saya darahnya menekan pompanya sesaat.

"Sudah ketahuan belum, sekarang lden duduk sama siapa? Tanyaku penasaran.

"Alhamdulilah,  sama cewe, kayanya mah level pualam, kinclong Ms, namanya Raza dari X MIA 4," lden semangat.

"Sip, selamat ujian Den. Sukses ya!" Saya mendoakan dengan seluruh keikhlasan yang ada. Dalam hati, saya cengengesan, ingin loncat dan teriak huh sambil ketawa yang panjang. Setahu saya, Raza X MIA 4 mah, laki-laki!

Sunday, November 26, 2017

Aam Amalia

Panalungtikan
Observasi

Untuk membuat cerita (pendek) diperlukan bekal.
Bekal yang dapat diceritakan diperoleh dari penelitian/kajian.
Kajian pertama, melalui bacaan. Misalnya penulis sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di SMA Wodvile Australia. Tapi dia ingin mengisahkan tokohnya pindah sekolah ke SMA wodvile karena orangtuanya menjadi diplomat. Maka, si penulis harus melakukan kajian melalui bacaan. Dia mengumpulkan informasi sebanyak2nya tentang SMA tersebut dan kemudian 'dimasukkan' ke dalam cerita.

Kajian kedua, melalui observasi. Misalnya penulis ingin menyindir sifat manusia yang terlihat lemah tapi sesungguhnya sangat jahat. Dia melakukan obsservasi Sero. Sero memakan semua ikan dikolam tanpa sisa.

Jangan memindahkan hasil kajian seperti aslinya karena akan memberikan kesan tidak koheren.  Caranya, pahami dulu bacaan atau observasi tadi,  kristalkan dalam pikiran dan baru keluarkan dalam tulisan.

Misalnya penulis membaca tentang anggrek. Pada buku tertulis definisi anggrek. Masukan ke karakter. Misalnya tokoh bertemu pedagang anggrek,  pedagang menjelaskan ciri dan cara hidup anggrek.
Penulis tidak memiliki bahan yang bisa diceritakan  jika tidak punya bahan. Untuk itu membaca dan observasi menjadi keharusan  bagi seorang penulis agar memiliki bahan untuk ditulis. 

26 nov 2017 AK TV

Saturday, November 25, 2017

Telepon

Menjelang magrib, senyap. Awan-awan emas -hasil permainan sinar mentari sore- yang selalu menghiasi senja kini terlihat pucat. Saya menghabiskan sisa hari libur ini dengan mancabuti rumput yang tumbuh tak terbendung seiring turunnya hujan. Halaman rumah menjadi hijau dipenuhi rumput segala ukuran tak beraturan, terlihat sadis berkontradiksi dengan tanah yang seharusnya bersih tanpa gulma.

Angin sore berhembus kencang, menggigilkan seng atap dapur yang lepas pakunya. Gigilannya  terdengar sebagai bunyi berisik yang mengganggu kesyahduan senja. Kesunyian pecah oleh suara adzan magrib yang menghentikan upaya pembersihan rumput. Matahari semakin jauh menyusup ke ufuk barat, mengingatkan waktu  ikhtiar siangku telah habis. Saya pun masuk rumah dan bersiap berjumpa Tuhan pada sajadahku. Saya pun tenggelam dalam khalwat vertikal dengan Sang Khalik.

Waktu menunjukkan pukul 21.00 ketika saya mendengar dering hape. Kulihat, nama suami muncul. Saya abaikan karena tahu dia sedang tidur di lantai atas. Saya pikir, hapenya tertindih dan menelepon tanpa sengaja. Saya kembali pada kegiatanku.

Kurang dari lima menit,  hape berdering lagi, kulihat, nomor yang sama, nama yang sama. Sedikit agak kesal tumbuh merambat kalbu.

"Kebiasaan! Tidur bawa hape, alesan mendengarkan wayang untuk pengantar tidur. Kalau dia tidur,  tak sadar hape kepencet, ketindih, jadi seolah menelepon. Mending yang kepencet nomor istrinya,  lha kalau yang kepencet orang lain,  bisa dianggap mempermainkan orang." Rambatan kesal berubah barisan kata-kata tak terucap.

Saya klik 'decline' warna merah pertanda telepon ditolak. Saya kembali duduk. Belum lagi duduk dengan sempurna, hape berdering lagi.
Saya biarkan. Saya kemudian minta Excel, anakku untuk mengecek apakah ayahnya benar-benar menelepon atau hanya main-main. Saya menganggap lelucon suami saya kali ini amat buruk.

Excel turun dan mengatakan bahwa ayahnya tidur. Kami berdua berkesimpulan, hapenya kepencet. Karena kesal, saya telepon balik. Tak ada sahutan. Akhirnya saya matikan sendiri.

Belum lagi kami berdua memastikan kesimpulan kami benar. Telepon berdering lagi. Saya merasa berhak marah. Saya naik ke lantai atas untuk memberitahukan bahwa sebagai istri saya berhak memiliki waktuku sendiri.

Setibanya di kamar, saya dapati suami saya sedang tidur.  Saya cari hapenya. Raba-raba dalam gelap, saya temukan hapenya ada di dekat kepalanya. Saya ambil, niatnya untuk menghentikan lelucon kering nan mengesalkan.
Belum lagi hapenya dipegang, tetiba hapeku berbunyi lagi.

Notifikasi muncul.
"Reminder, 25 December, Elea's birthday."

Hari ini 25 November.
Anak pertamaku berulang tahun 25 Desember.
Usianya kini 20 tahun.
Saya akui, tak pernah ulang tahunnya dirayakan dengan kue, lilin, ataupun balon. Hanya dengan  doa-doa yang dipanjatkan pada haribaan Tuhan. 

Kami tentu saja tak pernah akan melupakan ulang tahun Elea. Sekalipun kami tak bersua. Kami berkomunikasi dan kami menemuinya setiap saat pada barisan-barisan doa di setiap habis shalat. Komunukasimu malam ini, tentu saja menjadi kejut yang mengharukan. Doa kami masih sama, "Semoga kamu bahagia disisiNYA."

Refleksi hari guru

Hari ini, guru seIndonesia merayakan hari ulang tahun guru. Bermacam kegiatan diselenggarakan untuk mengapresiasi peran guru dalam mendukung terwujudnya tujuan nasional pendidikan.
Hari guru merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali bagaimana peran guru dalam transformasi masyarakat.

Pada saat saya kecil dulu (tahun 1970an),  satu-satunya pekerjaan yang dipandang stabil adalah guru. Stabil secara ekonomi karena gajinya mengalir penuh berkah. Stabil secara sosial karena masyarakat memandang guru adalah orang yang serba bisa, serba tahu. Urusan ngukur tanah yang ribet, hanya guru yang bisa melakukannya. Urusan naksir (memperkirakan) kebutuhan berapa kubik kayu untuk membuat rumah, hanya guru dan Bas (tukang membuat rumah dari kayu) yang bisa diandalkan. Urusan membagi air selokan, guru yang menentukan kilir (giliran) pengaliran air ke sawah. Yang tak kalah penting,  urusan rumah tangga, minta pendapat dan wejangan, pada guru.

Kini, saya berdiri pada barisan upacara peringatan hari guru, sebagai seorang guru. Sambil berdiri saya merenung. Betapa besar peran guru bagi penentuan pernasiban saya. Pada saat SD,  (sesekali) pukulan jidar (penggaris kayu) dan Tutunjuk (penunjuk dari bambu untuk membantu membaca pada papan tulis) mengantarkan saya pada melek huruf, bisa menulis nama sendiri,  berani menyebutkan cita-cita. Pada saat itu, dengan percaya diri saya setengah berteriak, "cita-citaku: jadi Duta Besar agar bisa tahu luar negeri dan bertemu George Bush." (--> Saya terpengaruh majalah Si Kuncung dan leaflet dari radio Amerika yang dibagikan gratis)

Usai SD, saya memilih melanjutkan sekolah ketimbang menikah. Pun setelah SMA saya memutuskan kuliah ketimbang membantu orang tua di sawah. Belasan tahun, saya dibentuk, dibina dibimbing puluhan guru. Guru yang mengajari saya, juga menjadi guru bagi teman-teman saya sekelas dan seangkatan. Guru saya (yang juga guru teman-teman saya) mengubah saya dari seorang anak kampung menjadi warga masyarakat terdidik yang diakui sebagai pendidik. 
Teman-teman saya, mereka (pun) menjadi  warga masyarakat terdidik dengan keahlian masing-masing. Saya dan teman-teman saya, saat ini,  menikmati hasil jerih payah guru waktu mereka meluruskan pikiran kami agar tetap pada relnya, menuai kebaikan guru yang meninggalkan keluarganya demi kami bisa paham ajarannya, mencicipi nyamannya hidup dari tekanan hidup, emosi, karir yang mereka jalani pada saat mendidik kami.

Nyata benar guru adalah pelaku transformasi sebuah masyarakat. Mereka mengubah wajah generasi bangsa. Mereka mengantarkan generasi kepada keberhasilan. Mereka menanam budi pada bangsa dan negeri ini tanpa pernah menagih jerih payahnya pada anak-anak yang dididiknya. Mereka diam-diam selalu mendoakan anak didiknya menjadi orang berhasil.
Terimakasih guru-guruku.

Tanpamu apa artinya aku.

Friday, November 24, 2017

Pulang sebentar di hari ke tujuh

Kang Markum adalah satu-satunya ojek di sekitaran pamakaman Sirnalaya. Siapapun dapat menggunakan jasanya. 24 jam.
Pada saat anak Kisrun mendadak demam, di tengah malam, perlu penanganan gawat darurat, maka  Markum mengojekkan Kisrun dan anaknya yang duduk diapit ditengah berangkat ke rumah sakit.  Namun kata Markum yang pulang duluan menjelaskan pada istri Kisrun bahwa si sakit harus menunggu sambil menggigil di IGD rumah sakit karena masuk IGD salah waktu.

Pula,  ketika istri Wa Pepeng mulas-mulas di saat magrib, Markum mengantarkan suami istri itu ke bidan Selakopi yang jadi langganannya. Wa Pepeng tidak memakai jasa becak, katanya kasihan istrinya, terlalu lama nanti di jalan, bisa-bisa melahirkan di perjalanan.

Banyak sekali jasa Kang Markum. Dia mengantarkan orang-orang pada tujuannya. Dia menggenapkan keinginan orang-orang dengan kemampuannya mempersingkat waktu dan memendekkan jarak. Selain itu, Kang Markum yang setiap pagi pasti nongkrong di warung gorengan Bi Sari, adalah sumber berita terhangat bagi warga Kebon Manggu.
Kang Markum sangat dermawan berbagi kabar setiap langganan dan konsumen yang diantarnya. Secara lengkap dan rinci dia akan menceritakan semuanya sebagai pokok obrolan pagi di warung.

Pagi ini,  Kang Markum telah ber-rompi khas ojekannya. Dia duduk sigap, di warung Bi Sari yang posisinya persis di mulut makam. Warung dadakan Bi Sari sangat strategis. Posisinya di pinggir jalan tempat lalu lalang satu-satunya jalan keluar dari makam bagi orang Kebon Manggu untuk menuju jalan raya. Warungnya buka pagi sampai ashar, menjual makanan titipan warga, dan menjadi buruan warga yang enggan membuat sarapan. Tidak heran jika warungnya selalu tidak cukup untuk menampung kerumunan orang-orang yang mencati ganjal perut juga mencari info bagaimana kabar tetangga.

Kang Markum memesan kopi Luwak kesukaannya. Sambil menunggu penumpang langganannya, dia membuka cerita bahwa dia sebetulnya sangat ngantuk, belum tidur.

"Emang semalaman ngojeknya? Khusyu amat cari duit," kata Mas Ojo menanggapi lontaran curhat Kang Markum.

"Ah saya mah mengatasnamakan tanggung jawab saja Mas. Ibarat tukang warung. Digedor tengah malam, harus bangun, padahal yang beli cuman gope hanya untuk bayar sebutir Bodrex," Kang Markum berdalih ala orang terpelajar.

"Terus, itu, gimana ceritanya sampai ga tidur Kang? Saya ikut nanya karena penasaran. Apa Kang Markum mengantar beli Bodrex juga, tanya saya dalam hati.

Kang Markum seolah enggan berbagi cerita. Matanya menerawang ke kuburan yang terpalnya sedang dibongkar, pertanda orang yang tiada henti membaca Al Qur'an selama seminggu di makam itu telah usai tugasnya.

"Subuh tadi, eh belum subuh, sekitar pukul 3 pagi, sepulang mengantar Bi Ati belanja ke pasar subuh.  Ada anak tanggung minta diantar ke Pasir Hayam. Dia berdiri di situ, " Kang Markum menunjuk dengan dagunya ke arah sekitar orang yang sedang merapikan terpal.

"Anak tadi, minta diantar ke rumahnya sekitar 200 meter sebelum belokan rel kereta,  rumahnya paling besar depan plang BTN Griya. Sesampainya di rumahnya, dia langsung masuk rumah, tidak bayar, saya nunggu. Agak lama,"
Kang Markum  berhenti berkisah dan menyesap kopi dengan khidmat.

"Setelah adzan subuh, baru ada yang membuka pintu. Rupanya lbu anak tadi. Dia terlihat kaget melihat saya nongkrong depan pintu rumahnya," Kang Markum seolah mengenang pertemuan dengan lbu konsumennya.

"Maaf, Bapak mau cari siapa?" tanya ibu si anak.

"Mau minta bayaran ongkos ojek anak ibu, tadi subuh pake ojek saya dari Sirnalaya.  Tadi dia langsung masuk tidak keluar lagi." Kang Markum mengulang jawabannya pada si ibu.

Ibunya si anak menjelaskan, "Pak, anak saya meninggal seminggu lalu, hari ini persis hari ketujuh. Dia meninggal karena kehabisan darah akibat lambat penanganan, dia tertabrak, dibawa ke IGD, tapi dia dibiarkan.  Pagi ini, saya hendak menjemput yang mengaji di makam. Kalau tadi subuh dia minta diantar ke sini, rupanya anak saya pulang dulu. Ini hari ketujuh. Kabarnya pada hari ke empat puluh dia benar-benar pergi."

Serentak, kami semua memandang ke Bapak-bapak bersorban yang sedang merapikan terpal. Pikiran kami seolah sepakat, bahwa disitulah si anak di kubur.

Saturday, November 11, 2017

Aku mau pakai cita-cita cadangan

Seorang siswa kelas 12 celingukan dan bingung mencari sebuah kata yang bisa dijadikan acuan mau jadi apa nanti setelah dirinya dewasa. Dia mengaku bahwa dulu dia punya cita-cita yang tinggi. Setinggi bintang begitulah cita-citanya dia gantungan, sesuai pesan guru SDnya. Dulu dia ingin jadi Dokter.  Kalau jadi Dokter bisa menolong banyak orang, banyak uang, mudah bekerja, bisa menghajikan orang tua, bisa menyumbang mesjid, dan memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Dokter, menurutnya, satu-satunya pekerjaan yang membuat seseorang menjadi naik derajatnya. Tidak ada dokter yang miskin, dokter mah kaya, punya mobil, jadi orang-orang pun segan padanya.

Kini, kelas 12 hanya  tersisa kurang dari 100 hari. Dia buntu harus menulis apa pada lembaran hidupnya agar kelak menjadi seseorang. Dia membeberkan bahwa  dia harus menurunkan cita-citanya, tidak lagi menggantung pada bintang yang tinggi. Cita-citanya harus diletakkan di muka bumi, pada tanah dimana dia berpijak.

Menggantungkan cita-cita di langit atau pada bintang, membuat cita-cita itu semakin sulit dijangkau, begitu katanya. Dulu, ketika SD, mengucapkan cita-cita sangat mudah. Tinggal dengarkan saja apa kata teman-teman, kalau mentok sebutkan saja yang biasa diteriakkan sebagai cita-cita yang mulia yakni insinyur,  dokter,  bisnismen, atau guru juga bisa.
Dia mengaku bahwa dia tidak tahu bahwa mewujudkan cita-cita sesulit meraih bintang di langit. Dia berbisik, ' meraih bintang di langit adalah hal mustahil, sama mustahilnya dengan menggantungkan cita-cita di langit dan kemudian mati-matian meraihnya.'

Impian menjadi dokter harus ditanggalkan. Tidak realistis, begitu katanya. Dulu,  dia melanjutkan penjelasannya,  mengira bahwa cita-cita itu asal ucap saja, dan semua orang senang. Guru senang karena siswanya bercita-cita, siswa senang karena telah menyebutkan sesuatu dan tatapan guru pindah dari dirinya. Kini, cita-cita menjadi himpitan.  Bercita-cita mengenyam pendidikan pada bangku universitas saja sudah seolah hal yang terlalu tinggi.

Dia mengaku masih punya cita-cita cadangan. Ibarat Plan B kalau dalam perang mah, begitu katanya. Seusai SMA, yang hanya tinggal 4 bulan lagi (November, Desember, Januari dan Februari,  Maret tidak dihitung karena penuh Ujian). Dia akan membantu mengurangi beban kerja lbunya yang sekarang ini bekerja seorang diri karena ayahnya telah wafat. Segera setelah lulus SMA, akan melamar ke Alfamart, Indomart atau mart-mart yang lainnya. Sambil bekerja akan kuliah di UT.

UT menjadi pilihan karena tersedia kuliah secara online. Jadi bisa bekerja tapi kuliah juga.
Hitungan sederhananya: bayaran kuliah UT bisa dibayar dari gaji bulanan, UT adalah universitas negeri, kuliahnya bisa dimana saja dan kapan saja. Biaya kuliah relatif murah karena tidak perlu dana untuk kos, beli  baju, sepatu,  tak perlu gaya-gayaan. Saat orang lain lulus, bergelar sarjana, dia pun sama. Mungkin lebih bangga karena kuliahnya dibayar sendiri.

"Cita-cita, untuk sementara tidak akan disebutkan dulu. Sekarang saya akan fokus pada upaya lulus SMA. Setelah jelas lulus, barulah saya akan menuliskan satu cita- cita realistis yang  bisa diraih dengan cara dicicil melalui kuliah di UT, " dia menutup penjelasannya. 

Monday, November 6, 2017

Anu kitu aya dina WA

Ibu-ibu raribut, teu genah cicing. Aya béja, pabéja-béja, patatalépa, geunjleung, matak teu genah pipikiran, matak bingung. Bingung kudu kumaha antisipasina jeung kumaha ngeureunkeun eta béja, utamana ulah nepi ka barudak, komo ka anak incu mah.

Ceuk béja, dina WA nu ayeuna mah, aya emotikon anu bentukna GIF, pilihanna loba pisan, kaasup anu kararitu, anu teu pantes sacara moral jadi alat komunikasi dina bentuk gambar hirup. 

Bi Janah ogé milu riweuh. Manéhna buru-buru bébéja ka Pa Guru ngeunaan GIF. Waktu manéhna bérés nerangkeun kahariwangna, Pa Guru imut bari saurna, 'Ari Bi Janah, tos ningali ku sorangan can naon ari GIF teh?'

Bi Janah geuwat ngawalon, 'Atos Pa, iiih eta mah Pa, pami dibuka, gambarna téh sing garitek, siga hirup. Abdi mah melang, kumaha pami murangkalih muka éta.'

Pa Guru katingal sedih, anjeunna nyarios, 'Urang kudu hariwang narima GIF anu keur bangsa urang mah kacida ciderana ceuk ukuran moral,  etika, oge budaya. Ngan urang kudu  leuwih-leuwih hariwang ka jalma anu teu eureun-eureun nerekabkeun, ngirim kaditu kadieu ieu béja. Asalna nu teu nyaho, jadi hayang nyaho, hayang nempo. Dina jero sapoé,  asalna nu nyaho ngan saurang, ayeuna mah, saIndonesia boa geus nyobaan muka GIF nu dipahing téa.'

Pa Guru katingal seunggah, anjeunna neraskeun cariosanna, 'Barudak ayeuna mah hirup dina zaman digital, ti borojol orok beureum maranehna geus apal naon wae anu aya dina hapéna. Maranéhna milih naon baé anu dipikaresepna. Pikiran barudak tangtuna teu sarua jeung pikiran urang anu geus kolot anu sok nyangka goréng bae ka barudak. Barudak mah teu loba maké WA, tapi make LINE, IG, Telegram.'

Sunday, November 5, 2017

Guru belajar dari guru

Para siswa memandang saya dengan sedikit alis berkerut.  Saya masuk kelas rekan sejawat yang harus diobservasi bagaimana proses pembelajarannya dilaksanakan.
Para siswa bertanya kenapa Ms B menilai guru lain. Mereka menyebutnya menilai, padahal sesungguhnya saya sama sekali tidak menilai rekan yang saya observasi tersebut. Para siswa tidak salah, mereka telah mendengar bahwa pada bulan Oktober para guru akan disupervisi. 

Bagi saya pribadi, ketika dimintai bantuan untuk mengobservasi bagaimana guru melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Semula permintaan ini terasa berat karena mengobservasi rekan sejawat, apalagi yang secara pengalaman belajar secara kuantitas waktu lebih lama, dikhawatirkan berdampak pada hubungan personal. Sudah diketahui bersama bahwa guru merasa tidak nyaman, tidak bebas, tidak leluasa ketika ada 'orang lain' di dalam kelas.

Belajar dari observasi
Guru mengobservasi guru merupakan hal yang sangat penting bagi peningkatan kompetensi mengajar guru. Karena percaya atas pentingnya manfaat observasi bagi guru oleh guru, pemerintah Jepang memasukkan Lesson Study sebagai aktivitas rutin dalam peningkatan kompetensi guru. Lesson study diadopsi didalam pendidikan Indonesia. Sayangnya belum berjalan karena sebagian guru merasa kagok, ribet, dan tidak percaya diri jika diobservasi. Observasi dalam pembelajaran tentulah tidak sama dengan penilaian yang dilakukan atasan atau supervisor.

Observasi dalam pembelajaran didefinisikan sebagai aktivitas yang melibatkan pengamatan dan pencatatan informasi mengenai apa yang terjadi selama proses pembelajaran. Melihat pada definisi ini, maka sama sekali guru tidak harus merasa ngeri. Observer melakukan pengamatan yang sangat saksama dan kemudian mencatat apa yang dilihat dan didengarnya. Observer tidak menuliskan 'apa yang seharusnya, apa yang sebaiknya, ini harusnya begini, itu harusnya begitu.'

Bagi saya yang berkesempatan mengobservasi guru, maka yang dilakukan sesuai dengan definisi di atas, yakni mengamati dan mencatat. Obserbasi selain melatih menjadi pengamat dan pencatat yang baik, observasi juga memberikan banyak manfaat kepada saya yang berperan sebagai observer.

Beberapa manfaat yang diperoleh diantaranya:
Pertama,  melatih kemampuan menyampaikan praktik pembelajaran secara tertulis.
Selama ini sulit sekali menuliskan langkah-langkah pembelajaran yang rinci yang dapat diimitasi orang lain berkat kerincian dan kejelasannya. Dengan menjadi observer, setiap aktivitas, tanpa terlewat dituliskan. Dengan cara ini, observer yang juga guru, terlatih menulis aktivitas pembelajaran yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya pada saat menuliskan langkah-langkah pembelajaran pada RPP.

Kedua, mendapatkan gambaran nyata bagaimana sebuah metode pembelajaran diimplementasikan.
Baginl guru, mengakses metode pembelajaran dengan mudah diperoleh melalui bacaan.  Bagaimana adaptasi, adaptasi,  atau bahkan modifikasi dari metode pembelajaran tersebut sehingga menjadi media penyampai teori pada tataran praktik tidak mudah dipahami jika hanya mengandalkan bacaan. Dengan melihat langsung, guru mendapatkan deskripsi yang nyata dari metode yang dimaksudkan pada buku tadi.

Ketiga, mendapatkan inspirasi bagaimana mengelola kelas.

Keempat, melihat respons siswa terhadap pembelajaran dari perspektif yang  berbeda.

Kelima, pengayaan dalam pengembangan profesi yang berkelanjutan.

Walaupun  kehadiran observer membuat guru yang diamati terasa canggung, namun sesungguhnya dengan mengizinkan kelasnya diobservasi, artinya dia telah menyumbangkan pengetahuan baru bagi kemajuan profesi mengajar dirinya juga guru lainnya.

Saturday, November 4, 2017

Aku begini karena salah orangtua

Seorang siswa dengan kesal menjelaskan bahwa ayah ibunya bercerai. Dia memilih tinggal dengan lbunya dengan anggapan seorang lbu penuh kasih, tidak pernah kurang sayang, dan selalu banyak nurut pada keinginannya. Dia  tidak melirik ayahnya karena telah menikah dengan perempuan lain yang dituduh sebagai perebut bahagianya.

Baru-baru ini, lbu yang dijadikan sumber bahagia dalam keluarga,  menikah lagi. Dia tidak setuju dengan keputusan lbunya, dan dia sangat marah karena lbunya memilih pria lain ketimbang dirinya. Dia merasa dikhianati lbu yang selama ini dianggap dewi pelindung.

Dia kecewa pada ayah, kecewa pula pada lbu. Dia memilih tinggal bersama nenek. Tinggal bersama nenek tentulah lebih menyenangkan ketimbang tinggal bersama penjahat yang memakan emosi seperti lbu atau ayah.

Nenek tidak seperti harapannya, nenek cerewet, nenek selalu bilang jangan begini jangan begitu, sebentar-sebentar laporin lbu. Semua tempat seolah tidak menerima dirinya. Dia harus  mencari tempat yang memberikan kesejukan, kasih, lupa pengkhiatan lbu, Ayah,  cerewet nenek. Tempat itu,  tentu bukan sekolah. Sekolah, untuk apa? Tidak ada yang peduli lagi.

Sekolah juga merepotkan. Banyak tugas, banyak ini itu. Belum lagi teman-teman yang kadang menyebalkan. Satu-satunya yang tidak menuntut adalah game. Game selalu siap meluruhkan semua kesal kapan saja. Game seolah memberikan kesenangan baru setiap harinya. Maka, dia menghabiskan siang, juga malam untuk main game.
Neneknya khawatir karena sang cucu tidak keluar kamar, tidak sekolah, lupa makan.
Nenek lapor pada lbu, lbu datang suaranya pada telepon. Nadanya sangat tinggi, menyalahkan kenapa merepotkan nenek, kenapa tidak sekolah,  kenapa buang-buang waktu masa remaja. Suara lbu, ribut, berisik, bikin pekak telinga.  Klik, suara lbu hilang.

Ibu lapor pada ayah. Ayah datang gambarnya pada video call. Memulai percakapan dengan senyum aneh yang memaksa agar diberi waktu bicara. Ayah bicara dan bicara, beruntai-untai nasihat, kata mutiara, semua terdengar kamuflase, penuh trik, palsu. Klik, gambar ayah hilang.

Dia hanya bersama dirinya.  Menentukan pilihan sendiri. Sama seperti Ayah, lbu, Nenek, mereka menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Diapun melakukan hal yang sama. Sayangnya, setiap keputusan yang diambilnya harus diketahui,  dan disetujui mereka. Kenapa pada saat ayah pergi dengan perempuan lain, ayah tidak meminta persetujuannya. Kenapa pada saat lbu memilih berbagi hidup dengan lelaki lain, ibunya pun tidak meminta persetujuannya. Kata adil sangat jauh dalam hidup ini, begitu gumamnya.

Tiba-tiba guru yang jadi walikelasnya pun ikut campur. Dia mengsms menanyakan apa kabar, sedang ada dimana, apakah besok sekolah atau tidak, mau ditengok atau tidak.  Tentu saja dia tidak menjawab sms wali kelasnya. Apa urusannya? Wali kelas adalah orang luar, bayaran pemerintah yang tetiba saja menambah kerepotan baginya.

Dia masih menjelaskan sisi lain dari ketidakpuasannya terhadap hidup. Ketidakpuasan yang diakibatkan orangtuanya. Semuanya, salah orang tuanya.
Sementara wali kelas, yang berani mengaku sebagai orangtua kedua di sekolah, masih menyimak penjelasannya, masih mengumpulkan informasi yang masih mengalir dari berbagai sumber.

Pendidikan, masih menjadi tumpuan harapan

Kring suara telepon berdering. Saya lihat nomornya tidak dikenal. Saya kadang enggan menerima telepon dari orang yang tidak dikenal mengingat tidak sedikit orang dil luar sana mencari teman ngobrol tanpa jelas arahnya mau apa dan kemana.

Suara telepon berhenti. Kemudian berbunyi lagi. Serius, pikirku, makanya dia menelepon ulang.  Kemudian teleponnya kuangkat. Ternyata telepon dari salah satu kakak siswa yang saya walikelasi.

"Maaf lbu, perkenalkan saya kakaknya Roby. Mau menanyakan bagaimana Roby di sekolah."

Pikiran saya mencari wajah yang sesuai dengan nama yang disebutkan tadi. Setelah beberapa detik, nama dan wajah klik. Saya menjawab, " Roby tidak ada masalah dengan kehadiran, selalu datang tepat waktu, saya mengetahuinya ketika ada Literasi kelas, pada pukul 6.30 dia sudah  di kelas."

Terdengar nafas lega dari headset. Kemudian si kakak berbicara lagi.
"Roby ingin melanjutkan ke Geologi UGM. Dia sepertinya sudah bulat tekadnya. Ditawari ke STPDN, katanya tidak ada hati untuk ke sana. Bagaimana ya Bu? Harus kemana dan pada siapa saya menanyakan masalah ini?"

Saya jawab bahwa untuk masalah minat melanjutkan ke perguruan tinggi dapat menghubungi guru BK.

Roby, Nanda, Hanif, Rahayu, atau siapapun nama anak yang dititipkan pada pendidikan formal pada dasarnya sama. Mereka disekolahkan karena para orangtua percaya bahwa melalui pendidikan formal mereka bisa menjadi seseorang, bisa meraih cita-citanya, bisa membahagiakan dirinya sendiri juga orang tua, bisa bekerja.

Para orangtua dengan segenap kesungguhan membiayai dan mengawasi bagaimana keberlangsungan pendidikan bagi anaknya. Harapan di masa datang, setelah anaknya mendapatkan pendidikan, mereka kembali pada orang tua dengan segudang kesuksesan dan dapat membahagiakan orang tua pada masa rua mereka.

Melalui pendidikan, para orang tua menitipkan harapan dan mimpi. Kepercayaan pada pendidikan begitu tinggi. Anak yang berpendidikan tinggi, diharapkan pula memilki  kesempatan dan peluang yang lebih besar di kemudian hari. Anak yang berhasil, tetap menjadi harapan. Anak yang berhasil paling tidak mereka dapat menghidupi  dirinya sendiri dan berhenti merepotkan orang tua.

Saturday, October 21, 2017

Teu tulus dikubur

Geus teu bireuk, urang lembur Cikarét mah nyebut manéhna Dadang Ilham. Ngaran asalna Dadang wungkul, ngan ti saprak manéhna ngimpi kadatangan jelema dedeg hadé rumpa sampe maké jubah héjo, cénah manéhna jadi bisa nyaréatan. Nyaréatan hartina bisa ngubaran ku du'a anu ditiupkeun kana cai. Ceuk jalma nu maké jubah héjo nu tepung dina impianna, nyebutkeun yen Dadang bakal bisa loba méré  kahadéan ka jalma réa.
Tah ti harita, béja-pabéja  béja  yen di lembur Cikarét aya jalma nu bisa dijug-jug lamun urang  boga kasusah, lamun perlu pananyaan, perlu bongbolongan. 

Ngaran manéhna ditambahan ku llham ngarah teu patukeur jeung Dadang nu lianna. Pan aya Dadang Jamhur tukang nguseup, Dadang Sabrang tukang dagang sayuran. Sebutan llham pikeun ngababarikeun sémah baé.  Sabab lain sakali dua kali, sémah salah alamat. Maksudna Dadang llham, karah jadi ka Dadang Sabrang anu kabeneran imahna pagigir-gigir.

Dadang llham katingalna biasa-biasa baé ngaranna diembohan ku llham.  Keur manéhna kecap llham nguatkeun posisina yén manéhna bisa narékahan nasib jalma nu lian. Ilham hartina datang tina pikiran, nya kitu deui kamampuhan manéhna ngubaran oge datangna tina pikiran nyatana tina impian.

Keur narima semah ngarah teu kaliliwatan, Dadang llham nyieun kamar leutik. Kamar anu khusus pikeun sémahna 'konsultasi' jeung manehna, biasana ubarna mangrupa cai. Sakapeung mah manéhna osok oge ménta sémahna mandi, kumaha ceuk ilham baé.  Kumaha énténg  beuratna masalah. Siga sababaraha bulan katukang aya sémah  anu ménta  disaréatan hayang usahana kios pakéann jadi rongkah, manéhna ménta sangkan mawa taneuh kios reujeung lawon bodas. Taneuh jeung lawon bodas disimpen di kios, sedengkeun jalmana dimandian ngarah sagala panejana dikabul.

Sémahna aya nu balik deui aya ogé nu ngan datang ngan sakali. Sigana kumaha karasana baé. Kaasup sémah awewe nu karak boga anak hiji, ti RW 15, kaitung sadesa jeung Dadang llham mah, beda RW hungkul. Sémah nu ieu geus datang anu kaduakalina.

"Kumaha  Ceu Rita ayeuna karaosna?" Dadang llham muka carita.

"Eu...abdi peryogi  bantosan, kumaha supados pun biang rido masihan widi kange abdi uihan deui ka Bapana budak. Atuh Bapana budak oge sing lééh hatena, kersa nikah deui ka abdi, teras mirak istrina nu ayeuna." Rita nerangkeun.

"Oh, insyallah aya jalan. Landongna kedah ibak supados kapalidkeun sagala gangguan anu jol ti mana baé sumberna mah."

Rita pisah jeung salakina lantaran kolotna, utamana indungna teu satuju kana kalakuan salakina. Gawé sahayuna salaku tukang ngojeg, leuwih loba di imah batan gawé. Atuh Rita kudu indit subuh balik asar, sagawé-gawe di bumi  di Pa Haji pikeun mantuan mayar kontrakan. Ngandelkeun hasil ngojeg mah pan jauh teuing ka mahi.

Ti saprak Rita hamil, indungna ngagugubrag kudu ménta  pisah. Atuh basa brol orokan, indungna méré ultimatum naha rék milih salaki atawa kolot.  Ka kolot sieun,  ka salaki bogoh kacida, tapi Rita lah-lahan nurutkeun heula kahayang kolotna. Prung bae rumah tanggana pegat. Rita balik ka indungna bari mawa bulenan orok beureum. Salakina siga teu walakaya, disedek mitoha téh, éléh kalawan teu ngalawan. Pajar téh keun we ayeuna pisah heula, engké bisa balik deui, nu penting kolot teu rungsing.

Sabulan, dua bulan ti harita, Rita meunang gawé di koperasi. Tugasna jaga warung, nyatet naon nu dijual, jeung nyatet barang nu kurang. Kaitung gawé teu beurat. Orok bisa kasusuan da koperasina teu jauh ti imahna, bisa nyelang balik.  Ari Jamal, popotonganna, mimitina sok datang ngalongok orok. Ninina orok tara eureun sok sindir sampir mun Jamal datang. Jamal katingali siga kagok mun nganjang. Tuntungna les baé tara datang. Tapi teu nanaon tara datang gé,  imah kolotna Jamal teu jauh ti mah Rita, mun aya itu ieu bisa nanyakeun. Jeung panan masih kénéh bisa smsan.

Tilu bulan ti harita kadéngé Jamal kawin deui. Rita ngarasa diteungteuinganan. Manéhna masih ngarepkeun Jamal balik deui. Manéhna embung ngabapatérékeun anakna. Pan loba béjana, bapa téré ngagadabah anak téréna.

Rita ngasms Jamal nganahakeun bet cidra kawin ka batur. Jamal ngajawab yén kawinna téh lain kahayangna, tapi kahayang bapana. Ngarah teu nguluwut jeung kuuleun cenah. Ti dinya, Jamal teu bisa disms deui.

Rita ngarasa yén manéhna kudu berjuang ngarah rumahtanggana bérés roés sakumaha asalna. Nu matak waktu ngadéngé aya ahli tutulung,  buru-buru didatangan.

'Siap ibak? Ieu caina tos dijiad.' Rita kagareuwahkeun.

"Eu..mangga," manéhna ngajawab bari bingung, maksudna ibak téh  mandi sorangan atau mandi disaksian ku Dadang llham.
Rita ngiclik nuturkeun ka tukang ka kamar mandi.  Di jero geus nyampak cai nu dicampur kembang. Dadang llham ngucurkeun cai jiad tina botol aqua anu dihijikeun kana ember.

"Buka acukna, urang piceun hahalangna" Dadang llham ngomando. Rita rada kalékéd, porosot bajuna hiji-hiji dilaan.
Dadang llham siga teu nolih. Manehna nyiuk cai make gayung, terus dibanjurkeun kana embun-embunan pasénna. Karasa cai nyecep, karasa oge aya leungeun anu nuturkeun muragna cai. Rita peureum. Manehna pasrah kanu ngubaran.

Ti harita, saban Juma'ah  Rita dimandian.
----

"Mana si Dadang?" Kadéngé sora ngagorowok. Puguh ge aya tilu Dadang,  nu aya didinya malik nanya.
"Dadang cabul, ngaku we ahli tutulung, tutulung pedut, adi aing reuneuh!' Nu tadi ngagorowok nerangkeun. Babaturan nu ngagorowok ngacung-ngacungkeun bedog, awi, aya oge nu nyekel batu. Teu lila,  teuing ti mana jolna, jul jol jelema. Imah Dadang llham pinuh.

Prak, batu meupeuskeun kaca imah Dadang llham. Burusut jelema asup, paséréd-séréd dina panto. Gurudug Dadang llham digusur kaluar bari teu eureun panyiksa. Dadang llham teu kaburu nyoara. Nyawana geus ilang bareng jeung ngabayabahna getih dina tehel di hareupeun panto imahna sorangan.

Nu nyiksa baralik ningalkeun kasedih. Teu lila pulisi datang. Urusan ngabuntut bangkong, teu bisa nungtut sabab anu nyiksa Dadang llham jelemana loba pisan.
Tungtungna pulisi balik. Karunya ka mayit, buru-buru bae dipulasara rek langsung dikubur di pemakanan Sirnalaya.

Waktu geus ampir isya basa gotongan mayit ngabring ka Sirnalaya. Nu nganteur teu loba, ukur Pa RT, wakil ti DKM jeung tatangga deukeut   aya kana 5an.

Liang makam geus siap. Lampu listrik rada nulungan nyaangan nu rek ngubur. Mayit geus dikaluarkeun tina pasaran. Kadenge aya nu susumbar, nitah ulah waka dikurebkeun. Nu susumbar diiring ku puluhan jalma lianna, mawa bedog, awi, badis we jeung kaayan tadi beurang.

Nu susumbar ngomong, " teu sudi tanah lembur ieu narima si Dadang llham, hayoh kaditu,  bawa balik deui."  Sieun ku amarah nu mawa bedog jeung awi, mayit diasupkeun deui kana pasaran.

Anu manggul pasaran  kacida bingungna, kudu kamana maranehna  mawa mayit. Kabingung nu sarua oge karandapan ku nu tadi pating jorowok bari mawa bedog. Kasampak dina tangkal nangka, awak Rita ngagulantung nyangreud kana dahan ku tambang plastik.

Friday, October 20, 2017

Butuh revolusi membaca

Baru-baru ini hasil riset Bank Dunia untuk pendidikan dirilis. Hasilnya sangat menyedihkan saya, yang perkerjaannya sebagai guru. Bank Dunia melaporkan bahwa 'Indonesia dianggap butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dalam hal membaca.'
Yang perlu kita garisbawahi dari laporan Bank Dunia tersebut adalah ketertinggalan dalam hal membaca.

Bagi beberapa orang yang statusnya guru ingin sekali menyangkal hal ini. Mereka akan membela diri dengan mengatakan bahwa para siswa sudah dibimbing, dibina, dan diajarkan membaca. Buktinya? Tidak ada anak-anak Indonesia yang buta huruf, semua bisa membaca.

Bagi sebagian guru yang mengajar di SMA akan mengatakan, urusan membaca mah urusan guru SD. Merekalah yang bertanggung jawab mengajarkan membaca dan memastikan setiap anak bisa membaca. Guru SMA mendapatkan siswa yang sudah begitu rupa dan kemampuannya ketika mereka masuk SMA. Sudah bukan tanggung jawab  guru SMA untuk ngutak ngatik urusan membaca.

Laporan Bank Dunia menyoal ketertinggalan membaca bukan untuk membuat kita saling menyalahkan, saling tuduh siapa yang harus bertanggung jawab, atau mencari kambing hitam diantara kambing putih. Kita, sebagai bagian dari bangsa ini harus ikut memikirkan bagaimana agar waktu yang dibutuhkan menjadi lebih pendek sehingga ketertinggalannya tidak terlalu jauh dan merugikan bangsa ini.

Kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa sebagian dari kita dan anak-anak didik kita belum bisa membaca dalam arti tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa  dan menggunakannya untuk mengerti teks (misalnya bacaan) , mendengarkan perkataan, memahami percakapan, mengungkapkannya  dalam bentuk tulisan dan lisan atau berbicara.

Keadaan kita sekarang berada pada posisi melek huruf. Kita dan anak-anak dapat membedakan huruf dan angka. Dapat pula mengeja setiap huruf yang dirangkai menjadi kata. Namun, tidak memahami apa makna dibalik huruf atau angka yang sedang diejanya.
Sebagai contoh nyata, seorang anak berusia 6 tahun belajar mengenal dan membaca huruf Arab. Setelah sekian waktu, dia bisa membaca huruf, bahkan bisa membaca AlQuran dengan lancar.
Kondisi ini belum dapat dikatakan bisa membaca, namun melek huruf.

Mampu membaca, arti sederhananya adalah mampu memahami isi dan makna (tersirat dan tersurat) yang terkandung pada tulisan tersebut.  Ketika saya tidak mengalami hambatan membaca  teks berbahasa Perancis karena menggunakan huruf-huruf Latin yang memang sudah sangat saya kenal, saya tidak dapat dikatakan bisa membaca dalam bahasa Perancis. Saya hanya melek huruf yang digunakan pada teks berbahasa Perancis namun sama sekali tidak tahu isi bacaan tersebut apa.

Contoh lain, saya membaca artikel pada  Koran Tempo tentang Ekonomi  yang didalamnya berisi tabel, grafik juga huruf-huruf Latin dan menggunakan  bahasa Indonesia. Saya bisa menghubungkan setiap huruf yang dipakai pada artikel tersebut.  Namun jika ditanya apa isi artikel tersebut,  saya tidak paham. Kondisi inilah yang dimaksud dengan tidak bisa membaca.
Saya tidak tersinggung ketika disebut tidak bisa membaca. Saya harus mengakui bahwa banyak teks yang hanya bisa saja kenali huruf-hurufnya namun tidak tahu isinya.

Kondisi siswa kita, yang termasuk tidak bisa membaca, adalah siswa yang kurang lebih sama dengan kondisi saya ketika membaca teks berbahasa Perancis dan berbahasa Indonesia dengan tema ekonomi yang saya jelaskan di atas.

Tidak sedikit dari siswa kita yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku (pelajaran), namun selesai membaca, mereka seperti tidak mendapatkan apapun. Tidak sedikit pula siswa kita yang memilih tidak membaca, karena walaupun mereka membaca, mereka tidak memperoleh informasi baru.
Inilah kondisi yang menyebabkan negara kita tertinggal dari negara lain dalam hal penguasaan keterampilan membaca.

Jika Bank Dunia menduga perlu waktu 45 tahun bagi negara kita bisa sejajar dengan negara lain dalam hal membaca, itu pun mungkin belum  tentu benar. Ketika kita dan siswa kita masih bergaya membaca seperti saat ini dan tidak mengubahnya, kita perlu waktu lebih dari 45 tahun sepertinya. Namun, jika kita mulai bergerak,  mulai mengajarkan membaca dalam arti mampu memahami isi bacaan, mungkin tidak harus menunggu 45 tahun untuk setara dengan bangsa lain.

Membaca adalah  keterampilan. Perlu latihan yang terus menerus dan berkelanjutan agar dapat menguasainya. Kita sering mendengar seseorang ikut kursus berbicara. Mungkin awalnya terdengar aneh. Masa sih ikut kursus berbicara. Kita semua kan bisa bicara. 

Bagi yang ingin bisa berbicara di depan publik, mereka berlatih  bicara untuk memenuhi kebutuhan ini. Presiden Sukarno pun, berlatih  berbicara di kamarnya sebelum menjadi orator ulung. Keterampilan  berbicara, diperoleh berkat latihan.

Sekarang membaca, hanya sedikit orang yang diberkahi Tuhan dengan kemampuan membaca. Sebagian besar lainnya harus berlatih dan harus belajar. Sangat sedih jika saya menemukan seseorang yang mengaku dirinya pandai membaca tanpa harus berlatih. Jangan-jangan dia hanya melek huruf; dia belum terampil membaca dan tidak memiliki kecakapan literat.

Tuesday, October 17, 2017

Pendidikan di Indonesia

●Nara sumber: Prof. Udin●

Sistem pendidikan nasional Indonesia dibangun atas empat filosofi: Esensialisme (terkait iman takwa, ahlak mulia), Perenialisme (iman takwa cakap, watak), Reconstruksionisme (cakap, kreatit, demokraris, bertanggung jawab), dan Progresivisme (kemampuan, cakap, kreatif, mandiri, iman, takwa)

Dari keempat filosofi tadi dituangkan pada Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yang menyebutkan fungsi: Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan tujuan: untuk berkembangnya potend peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,  sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan nasional tadi diterjemahkan kedalam kompetensi agar pendidikan menghasilkan pribadi yang utuh. Ditandai dengan menguasai kompetensi inti 1 dan 2 (sikap), kompetensi inti 3 (pengetahuan) dan kompetensi 4 (keterampilan).

Muatan tujuan pendidikan nasional dikemas dalam disain Kurikulum 2013 dengan entitas pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan. Tujuan pendidikan nasional dicapai melalui pembelajaran yang dinilai keberhasilannya. Untuk mendukung pembelajaran terjadi diperlukan budaya, kepemimpinan, dan menagement pendidikan.

Kerangka Akademik pedagogik
Belajar diartikan sebagai proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman (Kolb: 1986)
Pengetahuan harus dibangun melalui pengalaman. Guru TK sangat piawai membangun pengetahuan, misalnya pada saat menggambar, para siswa menggambar dengan bebas tanpa plot dan semuanya disebut bagus.

Dyers dkk  (2011) menyebutkan bahwa
○ 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidika, 1/3 sisanya berasal dari genetik.
○ Kebalikannya berlaku untuk kemampuan intelligent yaitu 1/3 dari pendidikan, 2/3 dari genetik.
○ Kemampuan kreativitas diperoleh melalui: mengamati, menanya, menalar, dan  mencoba.

Pembelajaran hari ini adalah pembelajaran abad 21. Kita sedang ada di tahun ke 17 dari abad 21.  Jadi pembelajaran abad 21 bukan pembelajaran dalam mimpi, kita sedang melakukannya.
Untuk pembelajaran abad 21 harus membantu siswa memiliki tiga hal: 1) life and career skills, 2) digital literacy,  dan 3) learning and innovative skills.

Pembelajaran efektif dimulai dengan sikap dan persepsi yang positif tentang belajar (Marzano: 1985). Tugas guru membangkitkan sikap dan persepsi positif siswa. Kedua, siswa dibawa untuk mampu menggunakan pengetahuan dengan bermakna. Selanjutnya,  siswa dilatih untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan. Di akhir para siswa secara otomatis menggunakan productive habit of mind.

Biggs dkk (2004) mengingatkan bahwa  ' .. untuk mencapai tujuan pendidikan maka harus dibangun hubungan antara pembelajaran, proses belajar, dan penilaian'
Tujuan pendidikan tercapai jika siswa mengalami  pembelajaran otentik, proses pembelajaran otentik,  dan penilaian otentik.











Saturday, September 23, 2017

Hari ke-60 Libur, Bisa Gak?

HARI INI, saya memiliki 24 jam yang benar-benar milik saya sendiri. Tidak ada tugas di luar jam kerja, tidak ada sisa laporan yang harus diselesaikan, tidak ada hutang tulisan yang ditunggu deadline, tidak ada janji, tidak ada agenda yang harus dipenuhi, tidak ada tanggung jawab sebagai Ibu, sebagai istri, tidak ada apa-apa. Bebas.

Bangun tidur dihantui mimpi. Dalam mimpi teman yang lama tak besua, meninggal karena kanker. Karena hari ini milik saya, pagi-pagi, bukannya ke dapur, tapi menelepon. Menanyakan kabar, menanyakan hal-hal basi, ternyata teman lama yang dimimpikan meninggal, sehat walafiat. Hanya katanya dia agak stress akhir-akhir ini, selalu lupa hari, tiba-tiba sudah Sabtu lagi. Dia mengatakan tidak siap meninggal, masih banyak urusan, keluarga, pekerjaan, semua belum beres. Katanya sih sempet kepikiran bagaimana kalau masa hidupnya dicabut. Dia ngeri sendiri, bilang belum siap berjumpa ajal.

Ngobrol dengan teman lama, ya lama, dan … lupa waktu, 2 jam bertelepon dan harus diakhiri karena saya kebelet pingin ke belakang.  

Meninggalkan toilet, pikiran saya sudah memberitahu, hari ini, tidak ada pekerjaan, semua off, silakan buang waktu sesuka hati, jadi orang malas juga … boleh. Maka jadilah saya orang malas.
Kemalasan dimulai dengan membuka bonus 1013MB VideoMax dari HOOQ  yang artinya memiliki kesempatan menonton film tanpa ambil kuota paling tidak selama 2 jam secara streaming atau download. Saya ingin melihat bagaimana Angels and Demon tulisan Dan Brown dimainkan Tom Hank. Tapi saya takut, bagaimana jika filmya tidak serame bukunya, atau saya malah kecewa karena film bukanlah secara 100% memindahkan isi buku ke layar. Niat menggunakan bonus. Batal. Mending pakai masker saja. Sudah hampir seratus hari produk masker dibeli, namun belum juga dipakai. Selalu saja ada bayangan menakutkan kalau memakai masker. Bayangan tersederhana adalah pas selesai bermasker, tiba-tiba ada tamu yang datang tanpa janji. Ditolak dengan alasan saya sedang menghindarkan diri dari dakwaan masker yang dibeli tapi tidak dipakai, pasti tidak enak ke si tamunya. Tidak ditolak, tidak mungkin saya buru-buru basuh wajah, ternyata tamunya hanya mau nagih iuran RT saja, misalnya. Padahal harga maskernya, lebih besar dari iuran tagihan ke-RT-an.
Niat bermasker, dibatalkan, abort, unwelcomed guests may come anytime. Dan saya benar, sekitar lima menit dari pembatalan memakai masker terdengar suara ragu Assalamu’alaikum. Saya buka pintu (sambil bilang Alhamdulillah belum bermasker), saya lihat seorang anak perempuan tanggung yang memanggil saya ‘Tante” menanyakan keberadaan anak saya. Saya tanya sudah janjian atau belum, dia jawab, belum. Saya jelaskan bahwa anak saya sedang ke Kecamatan, mencari internet gratis, katanya buat mengerjakan pe-er. Si anak tanggung menutup pertamuan dengan mengatakan akan menyusul anak saya ke kecamatan. Saya duduk sambal memikirkan panggilan ‘Tante’ dari teman anak saya.  Kota kecil ini telah berubah besar sekali. Saya tidak mengira, untuk kampung sekecil ini ada kata “Tante” muncul dari mulut anak-anak. Saya membayangkan kata ‘Ibu’ sebagai pilihan panggilan untuk nenek-nenek (muda wkwkwkk) akan dipilih anak-anak kepada saya. Dan saya salah. Agak canggung rasanya dipanggil ‘Tante’. Tapi sudahlah Tante.

Saya berniat membuat nasi goreng ketika terdengar pintu diketuk orang. Masak, batal, abort. Saya buka pintu (sambil bilang alhamdulilah berlum bermasker), ternyata ada Kakak yang mampir untuk say hi dan memberikan oleh-oleh favorit, pisang. Ngobrol ngalor kidul tidak jelas, asal sunyi pinggiran makam pecah, akhirnya Kakak berangkat lagi, saya duduk lagi, mikir. Ini libur, terus?

Hape, cek hape saja. Mungkin ada yang menarik. Saya buka Flipboard. Ada apa di belahan dunia lain hari ini. Ada berita 20 foto terbaik dengan latar bencana alam. Ada artikel “Adulting Would Have Been So Much Easier If these Vital Life Lessons Were Taught in School”. Artikel ini menyoroti bahwa sekolah tidak membantu hidup di luar sekolah menjadi lebih mudah karena hanya berfokus pada tampilan kinerja akademis siswa saja (setting India). Si penulis menyarankan agar sekolah mengajarkan bagaimana caranya membuka rekening bank dan mengirim uang secara online, atau mengambil uang yang dibayar dengan Pay Pal. Kedua, sekolah harus mengajarkan etika bertamu (pada saat travelling) dan etika penggunaan barang-barang publik. Sekolah juga harus mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan cara mengelola keuangan. Selain itu, sekolah harus mengajarkan bagaimana cara menghadapi kegagalan hidup dan bagaimana cara menjalani kegagalan dengan cara positif. Masih banyak yang harus diajarkan di sekolah yang menurut penulis agar para siswa menjalani kehidupannya kelak dengan lebih mudah.

Saya merasa bacaan ini menjadi tugas tambahan yang harus disisipkan pada saat mengajar nanti. Ternyata, masih banyak yang kurang dalam pengajaran yang saya berikan. Pikiran saya memikirkan mengajar, hey.. ini libur. Stop thinking about teaching. Saya pindah ke fitur musik, sudah lama tidak mendengarkan Kacapi Suling Cianjuran, saya menyimak Bubuka. Pagi-pagi, belum makan, rasanya kurang pas mendengarkan Cianjuran.

Mengisi libur yang tak berjadwal, bisa memilih kegiatan apapun, come on, ayolah, sedikit kreatif, 24 jam itu waktu yang cukup untuk merasakan malas (bebas jadwal). Ganti, jangan Cianjuran, cari yang membuat tertawa, semangat, terinspirasi. Saya menyetel Wayang. Seisi rumah penuh dengan suara Dalang Asep Sunandar Sunarya menyajikan Sumur Sijalantunda. Kisah yang mengangkat peristiwa Jenderal yang dibuang ke sumur Lubang Buaya. Penggalan peristiwa G30S/PKI versi wayang, sama mengerikannya, namun tidak semengerikan (visually) ketika dulu saya menonton filmnya. Wayang sangat menarik perhatian saya, kehebatan dalang bercerita tunggal namun bersuara berbeda-beda sesuai karakter. Saya mendengarkan wayang dengan saksama, tapi jadi kurang konsentrasi karena lapar. Tidak ada makanan. Hanya ada Mie instan. Baiklah, ini hari malas, hari libur, tidak ada acara masak, bikin mie instan saja. Selesai.  

Sendirian, menikmati Mie Instan, tanpa ada daging ayam, hiasan bawang goreng, tomat, atau yang lainnya seperti yang tertera pada bungkus Mienya. Rasanya? Pahit air liur sejak pagi belum terlewati apapun, berubah rasa (terlalu) gurih sehingga saya menambahkan air jeruk nipis kedalamnya agar sedikit ringan kegurihannya. Inilah rasa makanan pada saat libur. Nikmati saja Tante.

Ternyata menikmati Mie Instan diiringi Wayang, juga tidak cocok. Rebus Ubi atau rebus singkong mungkin pas. Saya matikan Wayang dan memindahkan mangkuk kotor, ke tumpukan piring kotor lainnya yang telah menggunung. Ini libur, tidak ada acara mencuci piring. Saya menjadi orang malas. Saya lihat, baju kotor menunggu dicuci. Saya lihat, lantai belum dibersihkan, pekerjaan domestik. NO. Ini libur, tidak ada pekerjaan domestik. Baju kotor, biarkan saja, kalau perlu baju, pakai baju bersih saja, kan masih ada.

Menikmati libur ternyata malah melelahkan. Libur mungkin akan terasa libur ketika benar-benar tidak memikirkan apapun. Tidak memikirkan kombinasi mie instan dengan wayang, tidak memikirkan inti bacaan dengan pekerjaan, tidak memikirkan panggilan Tante vs Ibu, tidak memikirkan urusan domestik. DAN, libur itu perlu bertemu orang. Libur hanya bertemu aku dan saya saja, bulak balik, disitu-situ saja dan ke situ-situ saja. Kesimpulannya, saya perlu libur beneran.

Thursday, September 21, 2017

Hari Ke-59 Haduh Capek Deh, Kebanyakan Notifikasi

Hari libur memang menyenangkan. Kita memiliki banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Salah satunya adalah buka-buka hape. Hapus-hapus gambar yang diangap hanya menghabiskan memori, buang-buang file yang sudah tidak dibutuhkan, pilih-pilih video yang mau disimpan, dan sortir foto-foto sendiri yang kira-kira layak bertahan di memori.

Membuka hape (android) menjadi masalah bagi saya. Dalam waktu kurang dari 10 jam, pada saat saya tidur, hape offline, pada saat bangun, di-online kan berbondong-bondong masuk segala informasi yang tertahan pada saat offline. Ratusan angka di WA, ratusan juga di LINE, masih ratusan di Telegram, puluhan pada email (saya memiliki 4 email, dan semuanya aktif), puluhan dari satu email, ketika dibuka mode combined, email baru … banyak  juga (untunglah notifikasi Facebook tidak diizinkan muncul pada email). Syukurlah BBM ditutup, tapi masih ada, Facebook memberikan puluhan notifikasi. Yang lain, Duolingo memberi 2 notifikasi, Watpadd mengabarkan ada 3 buku baru, WeChat ada 2 notifikasi. Flipboard memberikan juga notifikasi.  Lyra ada satu.

Saya mulai membuka WA, saya tidak tahu ada pada berapa grup nama saya diikutkan. Saya menemukan kelucuan: grupnya beda, orangnya itu-itu juga, dan ini berakhir dengan berita salin-rekat ke sana sini. Satu orang mengirim ucapan selamat tahun baru pada 5 grup yang berbeda dengan gambar yang sama, bedanya waktu pengiriman berbeda detik.  Selanjutnya ada kabar duka yang diunggah seseorang karena saudaranya meninggal dunia, dijawab dengan ungkapan bela sungkawa. Saya juga melihat hal menarik, ungkapan belasungkawa yang pertama, di kopi (salin) oleh hampir semua anggota grup maka berjejeranlah puluhan salinan ungkapan belasungkawa tertulis, padahal keluarga orang yang berbela sungkawanya sendiri tidak ada pada grup.

Pada grup lainnya ada tulisan ‘copas dari kamar sebelah’ isinya tentang muslim dianiaya oleh para Budha di Myanmar dan ajakan jangan mengunjungi Borobudur. Copas tadi beredar pula di group yang lain dikirim oleh yang berbeda, isinya persis.

WA paling merepotkan, grupnya terlalu banyak, membingungkan harus membuka yang mana dulu. Karena terlalu banyak, malah jadi tidak tahu mana berita yang penting, mana respons, mana yang harus saya jawab. Karena bingung, akhirnya hanya dibuka, tidak dibaca satupun yang penting angka 210 pada notifikasi hilang (dipikir-pikir, apa semalam mereka tidak tidur ya). Grup yang lain bernasib sama, saya buka, pindah ke grup lain, pindah lagi ke grup lain, terus, sampai semua notifikasi hijau hilang.

Pindah ke Telegram, eh ternyata ada copas tipe kamar sebelah juga. Pada Telegram saya diikutkan pada beberapa grup, dengan konten berbeda, ada grup yang khusus pendidikan tapi sesekali nyelip copas, ada yang khusus mata pelajaran tapi nasibnya sama ‘sering nyelip copas’, ada grup teman waktu SMA yang isinya ‘kebanyakan copas’. Saya tidak membaca copas-copas, selain tulisannya panjang-panjang, juga sepertinya informasinya bukan yang saya sedang saya butuhkan saat ini. Saya meminta maaf kepada para copaser, beritanya tidak saya baca, tidak saya sebar walaupun dibawahnya ada tulisan ‘80% orang tidak menyebarkan ini, tugas anda untuk menyebarkannya’.
Pada Email, saya harus menyalahkan diri sendiri karena subscribe (berlangganan) beberapa informasi yang dikaitkan ke email untuk update berita baru, misalya Jurnal Taylor and Frances, Linkedin, Globalethics, akibatnya setiap ada kabar ada link dikirim via email. Yang hebat, walaupun saya tidak lagi memakai hape Asus, setiap ada kabar update fitur baru gratisan Asus selalu masuk, padahal sudah diminta end subscribe, masih saja bocor.

Di WeChat, teman-teman dari Tiongkok mengirim 2 video: That is why eating healthy food, dan video stop sugary food and drinks.  

Saya buka Flipboard, pada berita yang saya follow ada banyak berita baru (saya hanya follow 3 saja, takut tidak sempat bacanya). Pada berita Pendidikan ada tulisan “No, You are not Visualized Student”. Saya baca, katanya bahwa siswa itu tidak benar dikelompokkan kinestetik, audio, visual dll, yang benar adalah guru harus mengajar dengan berbagai mode (cara) supaya setiap siswa aktif belajar. berita lainnya “3 weeks into motherhood, Serena Williams  was  complelled to write a letter of gratitude to her mama”. Ruapanya sang cewe perkasa tersebut baru ngeuh kalau jadi lbu lebih berat dari mengalahkan juara tenis kelas dunia. Saya tidak membuka semuanya.

Wattpad meminta ‘Continue reading this story, tap to read The Famoux” diikuti dengan kabar ada buku baru lanjutan The Last She, dan Scary Stories to Read at Night. Saya kadang berterimakasih pada Wattpad. Dia selalu mengingatkan untuk membaca buku ketika saya luput tidak berkunjung (offline padahal) selama 3 hari berturut-turut. Saya sedang membaca The Famoux, kisah masa depan setelah tidak ada matahari yang dibuat anak SMA.

Yang suka mengingatkan juga Duolingo, dia akan meminta berkunjung ke Duolingo kalau kita tidak belajar selama seminggu.


Saya tidak sempat membuka dan membuat semua notifikasi hilang, sudah 3 jam habis. Saya belum apa-apa. Jangan-jangan, kalau semua dibuka, akan habis setengah hari, apalagi kalau membuka Facebook. Saya harus menghentikan mengurusi notifikasi. Tidak rega rasanya kalau hari libur dihabiskan hanya untuk menghapus notifikasi saja. 

Wednesday, September 20, 2017

Hari Ke-58 Kok Pake Penjaminan Mutu SIh!

Pada sebuah kegiatan bersama guru-guru dari wilayah Maluku, Papua, Papua Barat, dan Gorontalo saya menemukan beberapa hal menarik untuk direnungkan. Salah satu materi kegiatan adalah penjaminan mutu pendidikan. Bagaimana mutu pendidikan, pengajaran, pendidik, dan segala hal yang memerlukan mutu bisa dijamin? Jawabannya adalah standar (Standar didefinisikan sebagai aturan, biasanya bersifat wajib, memberi batasan spesifikasi, baku). Segala sesuatu yang dilakukan sesuai dengan sandar, maka mutu akan terjamin. Sebagai contoh, pada dunia kedokteran, setiap tindakan dan aktivitas yang dilakukannya, semuanya berdasarkan standar sekaligus taat standar. Jika para dokter melakukan prosedur operasi tidak sesuai standar, maka taruhannya sangat besar.  

Pendidikan dan pengajaran, pun, memiliki standar untuk setiap kegiatan dan aktivitasnya. Dengan demikian diasumsikan bahwa pendidikan dilakuan sesuai dengan mutu yang ditetapkan sehingga hasilnya sesuai dengan proses. Ibarat seorang dokter yang merancang akan memindahkan garis lipatan mata karena dianggap kurang besar sehingga berkesan sipit, maka dia melakukan rencana pemindahan garis mata sesuai standar, dan kemudian melakukan penyayatan pemindahan garis mata berdasarkan prosedur yang telah dirancangnya dan tidak melenceng satu langkahpun. Cara ini memastikan hasilnya sama dengan yang diprediksikan pada rancangan.  Setiap yang dilakukannya berbasis standar, jaminan hasil bermutu telah dijamin.

Penjaminan mutu dalam dunia pengajaran sebagai contoh untuk prosedur mengajar, standar yang ditetapkan dikeluarkan oleh pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses. Sejatinya para guru menggunakan peraturan menteri nomor 22/2016 tersebut ketika mengajar. Tanpa menggunakan peraturan tersebut maka perencanaan dan pelaksanaan mengajar tidak dilakukan sesuai standar dan mutu proses dan hasil pembelajaran tidak terjamin.

Saya menemukan hal menarik ketika mendampingi para guru dari wilayah timur. Meraka sangat piawai membuat rancangan pembelajaran yang dibuktikan dengan adanya dokumen rencana pembelajaran yang ada pada file di laptopnya.  Namun saya menjadi terkejut karena mereka mengaku bahwa saat merancang pembelajaran, mereka tidak melihat kepada Permendikbud nomor 22/2016.  Mereka merancang pembelajaran dengan mengacu pada penjelasan fasilitator saja. Pembimbingan dan penjelasan dari fasilitator dianggap final dan mengandung kebenaran mutlak, bahwa seperti itulah rencana pembelajaran harus di buat. Mereka TIDAK melihat ulang STANDAR yang ditetapkan pada Permendikbud nomor 22/2016.

Belum selesai dengan terkejut yang pertama, saya harus menerima kejut kedua.  Sebagian dari mereka mengaku bahwa rencana pembelajaran yang mereka buat dengan susah payah tersebut, TIDAK difungsikan sebagai acuan pada saat mengajar. Teringat pada tindakan dokter, alangkah banyaknya kemungkinan ketidakberhasilan yang dokter itu lakukan ketika dia bertindak tanpa mengacu pada rancangan prosedurnya. Guru dan dokter keduanya pekerjaan professional. Ketika guru tidak menggunakan rancangan sebagai acuan, bisa diasumsikan mutu pembelajaran tidak terjamin lagi.
Menanggapi kondisi guru merancang pembelajaran tanpa mengacu pada permendikbud no 22/2016, saya mengajak para guru untuk menyandingkan dokumen yang mereka buat dengan standar yang harus dipenuhi pada setiap bagian, elemen, dan langkah yang harus dipenuhi pada saat mengembangkan rancangan pembelajaran.  Pada saat memperbaiki dokumen rancangan pembelajaran dengan mengacu pada standar, para guru berkomentar oh harus begini atau oh harus begitu ketika merancang pembelajaran, semuanya ada aturannya, dan ternyata lebih mudah mengikuti aturan karena yang dilakukan memiliki nilai kepastian.

Saya harus menerima pengakuan yang membuat saya harus mendapatkan kejut ketiga. Para guru mengaku bahwa mereka tidak membaca permendikbud no 22/2016 walaupun file itu telah ada sejak setahun lalu pada laptopnya. Mereka mengatakan kalau filenya ada, rasanya tenang. Saya khawatir jangan-jangan data yang ribuan giga yang tersebar pada hape, laptop, dan external disk semuanya hanya koleksi, untuk menghilangkan rasa khawatir, untuk menenangkan diri  sendiri bahwa file ini ada, file itu ada, semuanya ada.


Hal kedua yang saya lakukan kepada pada guru yang saya bimbing adalah mengajak mereka membaca dahulu semua file yang disimpan ke laptop atau ke flesdisnya.  Ajakan tersebut dijawab dengan senyuman. Saya dan para pembaca tentulah faham benar makna dibalik senyum tersebut. Semoga saja dimulai dengan senyum tadi, para guru mulai melakukan sesuatu dengan membaca prosedur terlebih dahulu sehingga mengetahui standar yang harus dipernuhi sebelum bentindak. 

Tuesday, September 19, 2017

Hari Ke-57 Mentor Gadungan untuk Dua Mentee

Menjadi guru pamong terdengar sangat biasa. Tapi, menjadi guru pamong tanpa pernah ada pelatihan, pembimbingan dan acuan indikator peran guru pamong, itu sangat luar biasa. Pada tulisan ini, saya sebut guru pamong sebagai Mentor, meminjam istilah bahasa Inggris. Dan mahasiswa yang melakukan praktik pengalaman mengajar disebut Mentee.

Mentor memiliki peran yang sangat penting bagi maju mundurnya pendidikan negeri ini. Pada tangan mentorlah bagaimana mentee di kemudian hari melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran yang efektif di kelasnya. Melihat begitu besarnya peran mentor bagi pendidikan di masa datang, tentulah tidak mudah menjadi mentor. Menurut Lili Orland (2010) pada bukunya Learning to Mentor-as-Praxis: Foundations for a Curriculum in Teacher Education mengatakan bahwa menjadi mentor merupakan bagian integral guru dalam pengajaran. Namun, walaupun mentor menjadi bagian integral, tidak serta merta semua guru (seharusnya) menjadi mentor. Anderson dan Shannon (1988) mendefinisikan ‘mentor’ setara dengan kata ‘ahli’ yang terefleksikan pada kemampuannya untuk membimbing, mencontohkan, mengajar efektif, melindungi dan membuat mentee melakukan yang terbaik.  Seiring berkembangnya zaman, mentor diartikan sebagai ‘guru berpengalaman’ sedangkan mentee diartikan sebagai ‘guru pemula’ (Evans, 2000).

Sekalipun artinya dihaluskan dari ‘ahli’ menjadi ‘guru berpengalaman’ tetap saja di dalamnya mengandung arti yang berat yang menunjukkan kemampuan dan kinerja hebat di dalamnya. Pada saat disandingkan ‘guru berpengalaman dengan guru pemula’, terlihat betapa jauhnya jarak kompetensi yang terimplisitkan didalamnya. Bagi saya pribadi, menjadi mentor tentulah merupakan tantangan yang harus dicermati dengan sangat saksama.

Tantangan pertama terkait dengan kompetensi. Pertanyaanya, indikator apa yang harus ditunjukkan sehingga saya bisa menjadi mentor efektif yang membantu mentee menjadi guru efektif di kemudian hari. Tantangan kedua terkait dengan kinerja. Pertanyaannya, indikator kinerja apa yang harus ditunjukkan sehingga kelak para mentee tidak meniru atau mengadopsi malpraktek pembelajaran. Tantangan ketiga terkait dengan waktu. Apakah dengan waktu yang disediakan mentee mampu ‘menangkap’ aspek pedagogis, profesioanal, sosial, dan kepribadian seorang guru dengan hanya melihat mentor. Tantangan keempat terkait dengan hubungan personal dengan mentee. Sejauh mana seorang mentor dapat ‘melibatkan’ dirinya sehingga mentee menjadi pribadi seperti yang diharapkan sebagai seorang guru.

Saya sendiri seorang guru yang memiliki sertifikat pendidik. Mengacu pada status ‘guru tersertifikasi’ pada satu sisi menunjukkan secara kompeten memiliki kemampuan sebagai ahli. Alasannya, sertifikat pendidik adalah pengakuan secara professional bagi seorang pendidik. Di sisi lain, apakah sertifikat pendidik mewakili kompetensi yang menjadi bidang keahliannya?

Menjadi mentor tentulah bukan hal yang sederhana. Bukan sekadar ajak mentee ke kelas, suruh memperhatikan mentor mengajar, setelah itu gantian, mentee mengajar, mentor mengobservasi.  Jika hanya itu yang dilakukan, saya merasa, perlahan-lahan saya menyesatkan mentee. Bagi saya, mentee adalah orang dewasa yang harus diperlakukan mentor sebagai orang dewasa. Salah satu ciri orang dewasa diantaranya memiliki banyak informasi. Saya sangat dhalim jika beranggapan bahwa mentee tidak tahu apa-apa mengenai dunia mengajar. Masih terkait dengan mentee sebagai orang dewasa, maka merencanakan dan melaksanakan pembelajaran pasti bisa dilakukan mentee. Masalahnya bagaimana mentor mentransfer pengetahuan dan pengalaman mengajarnya sehingga kelak kedua tugas pokok guru  tersebut bisa dilakukan mentee sesuai standar.

Sampai saat tulisan ini dibuat, saya masih diliputi banyak pertanyaan seputar peran mentor kepada mentee, yakni:
-          Bagaimana agar mentor tidak mengubah mentee menjadi dirinya?
-          Bagaiman mentor bekerja sama secara efektif dengan mentee sebagai orang dewasa?
-          Bagaimana mengatur mentee?
-          Bagaimana menggunakan waktu setelah mengajar?
-          Bagaimana mengumpulkan data mengenai kemampuan pedagogis mentee?
-          Bagiamana memberikan penghargaan dan melakukan penguatan?
-          Bagaimana menghilangkan dinding pembatas berkomunikasi?
-          Bagiamana memberikan kefleksibelan pada mentee yang kebeabasannya dibatasi?
-          Bagaiamana memberikan kesempatan pada mentee untuk beranjak dari guru pemula?
-          Bagaiaman mempertahankan kesuksesan merencanakan dan mengajar yang diperoleh mentee?

-          Is it too much to ask? 

Monday, September 18, 2017

Hari Ke-52 Silang Pakai Budaya, Masalahkah?

Sekarang ini, berkat teknologi dan jejaring, produk budaya suatu bangsa menjadi konsumsi budaya negara lain. David Howes menyatakan ketika suatu barang diekspor, kemudian di tempat baru dimana barang itu berada, maka barang (baca: produk budaya) tersebut menjadi alat komunikasi, alat pembeda sosial, dan bahkan dominasi budaya. Sebagai contoh, dengan memiliki mobil bermerk Lamborghini, seseorang dapat mengomunikasikan bahwa dirinya berduit, berasal dari kalangan the have, dan untuk urusan haus saja, tentu saja tidak lagi akan berani dipuaskan dengan minum air teh, tapi Coca Cola.
Sekarang ini pula, di Indonesia, produk budaya berupa makanan dan mimunan khas daerah menjadi barang langka. Termasuk di kota kecil Cianjur, penjual Geco hanya satu dua saja yang masih bertahan berjualan. Sedangkan KFC, CFC, Pizza, Hot Dog, Kebab dengan mudah ditemukan. Seiring dengan nama berbau luar negeri, merk dagang produk budaya negara lain seolah sudah menjadi bagian keseharian dan lancar diucapkan misalnya sepatu Nike, jam Rolex, rokok Marlboro, susu Bebelac, tas Prada dan sederetan nama lainnya yang akan menghabiskan lebih dari satu halaman kertas jika ditulis.
Keterkaitan antara budaya dengan barang sangatlah dekat. Kita dengan mudah menyebutkan produk budaya dengan orang yang memproduksinya. Ukiran halus Gebyok pasti buatan Jepara, baju Bodo menjadi ciri orang Makassar, lampu Gentur dari Cianjur, dan kain Songket dari Sumatera. Produk budaya lokal yang baru saja disebut perlahan namun pasti, berkurang popularitas dan permintaanya di masyarakat penggunanya. Hal ini terjadi karena datangnya banjir barang-barang dari sistem pasar dunia yang cenderung mendominasi barang lokal. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai paradigma global homogenisasi. Menurut paradigma global homogenisasi, produk budaya lokal tergerus oleh arus barang yang datang dari luar dalam jumlah yang banyak, murah, mudah didapat, bergengsi, dan biasanya datang dari barat. Hannerz menyebut paradigma homogenisasi global sebagai ‘penjajahan-coca.’
Kita lihat bagaimana produk Coca-Cola dianggap sebagai produk budaya yang berkontribusi pada budaya homogenisasi global. Coca-Cola dibuat dengan bahan, dan cara yang sama di seluruh dunia sehingga rasanya dimanapun sama. Kesamaan rasa inilah yang menjadi kunci sukses keberhasilan Coca-Cola, sama dengan strategi yang ditetapkan Coca-Cola itu sendiri yakni ‘satu bentuk, satu rasa, satu harga’ di seluruh dunia. Semenjak Coca-Cola diperkenalkan tahun 1920an, dampaknya sangat besar pada dunia. Semua orang di seluruh dunia, mau laki-laki, perempuan, kulit hitam, kulit putih, orang Amerika, non Amerika, kaya, miskin, semuanya memandang Coca-Cola sebagai ‘teman’, ‘demokrasi kemewahan’, yang siap menghilangkan rasa haus dengan kepuasan yang sama.
Penjajahan-coca merambah dan diduplikasi oleh produk-produk lain, akibat langsung yang dirasakan negera berkembang saat ini diantaranya anak-anak tidak sempat melihat jargon ‘Jagonya Ayam’ yang diikuti gambar ayam kampung, atau Ayam Camani. Sebaliknya jargon ‘Jagonya Ayam’ bersanding dengan gambar seorang kakek berjanggut putih menggambarkan khas wajah orang Amerika. Anak remaja sekarang lebih memilih celana jins, sepatu Kets, nonton film barat, dan meneriakkan lagu Ed Sheeran dalam kesehariannya. Tidak dipungkiri, homogenisasi global mengubah cara pikir, cara berpakaian, cara menikmati makan, bahkan cara berpolitik. Untuk minum, orang tidak lagi merujuk air Dawegan Kelapa, untuk tas tidak lagi mencari Kaneron, untuk pekerjaan tidak lagi membanggakan pertanian.
Silang pakai produk budaya telah menjadi lumrah dalam segala aspek dan kita tidak lagi bisa mengisolasi diri dan mencoba imun dari homogenitas global. Masuknya barang baru dalam produk massal sebagai produk budaya, akan terus berjalan. Yang dapat kita lakukan adalah melihat secara saksama makna dan kegunaan dari produk budaya tersebut dengan memasukkan ‘konteks lokal’ atau realita kedalamnya serta bijak dalam membelinya.
Setiap barang atau benda tidak dilihat hanya memiliki satu fungsi, itu cara pandang bangsa ini terhadap barang. Pada masa lalu, para orang tua tidak menghasilkan banyak sampah dari efek homogenitas global. Satu contoh, pada tahun 1940an mulai dijual ikan kalengan dengan merk Botan. Para ibu rumah tangga memanfaatkan kaleng bekas Botan untuk membuat parut kelapa, membuat celengan, membuat lampu Cempor, atau benda lain yang memiliki nilai. Kaleng Botan yang semula hanya sebagai wadah, diubah fungsinya menjadi berbagai fungsi atau hibridisasi fungsi. Inilah salah satu cara yang membuat silang pakai budaya mencapai tingkat optimum dari sudut fungsi.
Hibridisasi fungsi sebuah barang akan memungkinkan bangsa ini secara perlahan, berhenti menjadi dari warga ‘konsumen global’. Konsumen global ditandai dengan bertindak seolah satu barang memiliki satu fungsi, bahkan lebih naif lagi beberapa barang untuk satu fungsi, sebagai akibat tidak kenalnya dengan fungsi barang yang diproduksi secara massal.
Contoh yang paling dekat adalah kepemilikan hape android yang pula didampingi oleh produk massal lain yang sebetulnya tidak perlu hadir. Hape android menyediakan fitur ‘perekam’, dengan kata lain tidak perlu lagi membeli alat perekam tersendiri yang harganya tentu saja mahal. Hape android memiliki fitur ‘kamera’ dengan kemampuan menangkap gambar yang bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak perlu lagi membeli kamera sendiri. bagi mereka yang menjadi penulis, keberadaan hape android memungkinkan baginya untuk tidak memiliki lagi laptop. Fungsi laptop dapat dioptimalkan dari hape. Untuk mengetik dapat menggunakan fitur mengetik yang disediakan dengan menggunakan cara pengetikan biasa, pengetikan jaman dahulu (gunakan aplikasi gratis Hank Wtiter), atau pengetikan dengan cara dikte (gunakan aplikasi gratis Dragon Diction). Bahkan dari sudut ekstrim, memiliki hape, bisa menggantikan fungsi asisten. Dengan aplikasi Lyra, pemilik hape dapat menyuruh Lyra (asisten dengan artificial intelligence) untuk melakukan hampir segala hal yang biasa dilakukan asisten, mulai dari mencatat rangkaian kegiatan pada agenda, membangunkan tidur, memberitahu arah jalan, menemani ngobrol, diajak bercerita, meminta mengetik, menghubungkan ke nomor telepon dan membantu menelepon, mencari informasi dan berselancar di google, semua dilakukan satu asisten, Lyra.
Hibridisasi menjadi salah satu cara homogenisasi global menjadi personal atau sangat sesuai hanya dengan kebutuhan seseorang saja. Kembali kepada masa sebelum lahir masa homogenisasi global, kebutuhan sangat bersifat personal. Pada masa itu tidak ada kebutuhan nonton film, membeli Diper, belanja bulanan, ganti tempat ganti baju. Sebaliknya semuanya cukup dengan ambil, pakai, makan, minum yang ada.
Cara lain yang dapat dipilih adalah mengadopsi ‘less is more’ (sedikit itu banyak) yang kini sedang menjamur di Jepang. Lebih sedikit barang lebih sedikit pula yang diurus, sehingga lebih banyak waktu untuk bercengkrama dengan keluarga, teman dan kerabat. Cara berpikir ‘less is more’ juga merupakan produk budaya. Mereka yang telah lelah berpikir ‘barang apa yang saya belum punya’, diubah menjadi ‘barang apa yang bisa saya keluarkan dari rumah karena tidak berguna’. Kabarnya penganut less is more seperti Fumio Sasaki hanya memiliki 3 kemeja, 4 celana panjang, 4 pasang sepatu. Sebelumnya Sasaki adalah kolektor buku, CD, dan DVD, menyatakan lelah terus berburu dengan tren barang kolektor dan kini menikmati hidup lebih nyaman hanya dengan beberapa barang saja. Gaya minimalis terilhami oleh para Zen Budha dan para Sufi Islam yang menghindari hidup cinta dunia.
Silang pakai budaya disukai atau tidak tetap akan menjadi bagian dari kehidupan kita. Menghilangkan benda produk massal sebagai upaya memurnikan diri sebagai pengguna budaya lokal yang setia kepada leluhur bukan kebijakan yang adil yang dapat dilakukan untuk saat ini. pilihlah produk budaya yang benar-benar dibutuhkan, lakukan glokalisasi (produk global dengan fungsi dan nilai lokal). Dengan cara demikian diharapkan menjadi katalisator bagi homogenitas global abad ini dan sekaligus menjadi penanda fleksibitas warga non barat dalam menghadapi budaya global
Harian Waktu Senin 11/9/2017

Saturday, September 9, 2017

Hari Ke-51 Good Bye Linear

Di luar kelas, kita menggunakan berbagai disiplin ilmu, berbagai cara, berbagai pengalaman untuk dapat terus bertahan dan hidup. Namun, pendidikan mengajarkan kepada peserta didik sistem ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri-sendiri. Setiap disiplin ilmu diberi nama sendiri-sendiri. Untuk sekolah menengah, lahirlah belasan nama mata pelajaran. Para siswa melihat, sekolah adalah mata pelajaran. Guru adalah guru mata pelajaran.

Mata pelajaran sesungguhnya tidak berdiri sendiri-sendiri seperti namanya. Berbeda dengan pabrik. Pabrik ban, hanya memproduksi ban. Pabrik semen, hanya membuat semen. Sekolah bukan pabrik, walaupun terdiri dari bermacam-macam pelajaran di dalamnya. Sekolah tidak memproduksi luaran pendidikan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tunggal. Ketika sekolah dianggap memproduksi siswa seperti pabrikan, atau hanya menguasai pengetahuan saja, maka mereka tidak siap untuk bisa bertahan di luar sekolah.  Sistem pembelajaran ala pabrik mengakibatkan peserta didik tidak mampu bermasyarakat.
Sekolah adalah tempat belajar. Belajar adalah hidup. Dalam hidup, tidak ada yang linier.

Saat ini, kita berada pada masa yang sangat kritis namun sangat menantang sepanjang sejarah. Masa itu disebut Era Informasi. Cepatnya kemajuan teknologi mengakibatkan kehidupan manusia serba mudah. Perubahan ini pun mempengaruhi pendidikan, –Generasi Z- yang hidupnya dibesarkan oleh teknologi layar sentuh. Infomasi bertebaran dimana-mana hanya dengan satu sentuhan dan satu sekaan layar. Siswa masa kini mengetahui lebih banyak hal ketimbang generasi sebelumnya, jadi mereka belajar dengan cara yang sangat berbeda dengan yang kita lakukan dahulu.

Terdapat tiga kunci bagaimana agar guru bisa bertahan pada pendidikan era informasi sehingga mampu memenuhi kebutuhan Generasi Z (Gen Z), bersamaan dengan menyambut akan masuk tengah semester ganjil tahun 2017.

1.     Manfaatkan teknologi dan belajarlah untuk menguasainya.
Lahirnya pembelajaran online (daring) dan jejaring social mengakibatkan para siswa dapat terus menerus terkoneksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan gurunya dan teman-temanya sehinnga jangkauan (extend) pembelajaran menembus dinding sekolah, waktu jam belajar sekolah, dan tempat belajar. Waktu dan tempat belajar menjadi variable dalam belajar yang sifatnya konstan.  Penggunaan teknologi mengakibatkan siswa lebih mampu menyesuaiakn belajarnya sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan yang diinginkannya. Dengan cara ini hasilnya akan lebih baik, manfaatkan itu.

2.     Ubah cara penyajian pembelajaran karena kemampuan konsentrasi siswa memendek. Gen Z, berdasarkan penelitian, memiliki banyak pilihan dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya, ketika membuka gawai, dalam lima menit mereka dapat berpindah dari media sosial, ke game, ke situs, ke surat elektronik, atau ke tempat selancar virtual lainnya.  Pun, Gen Z bersentuhan dengan gambar dan pesan digital dalam jumlah ratusan per hari, untuk membuat belajar nyambung dengan mereka, menggabungkan multimedia ke dalam pembelajaran dan memberdayakan siswa untuk mengintegrasikan multimedia untuk menunjukkan hasil belajar. Jika kita mengadopsi penggunaan teknologi ke dalam pembelajaran, maka hasilnya alami bagi Gen Z.

3.     Fokuskan pada keterampilan global melalui materi yang kita ajarkan.
Kabarnya, Gen Z, berganti karir 10-14 kali sebelum sampai ke masa pensiunnya. Jika ini benar, maka akan sulit bagi guru untuk mengajarkan semua hal agar mereka siap mengarungi kehidupan. Kita harus memperhitungkan bagaimana agar siswa menguasai empat keterampilan global, yakni komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan berpikir kritis melalui pelajaran.  Kita pun harus mengitegrasikan teknologi agar siswa kita mampu menyelesaikan masalah local, regional, nasional dan global. Cara ini membantu peserta didik untuk siap bersaing dan berkerja.

Mata pelajaran yang tersaji di kelas setiap hari diharapkan memberikan bekal yang lengkap dan paripurna untuk siswa bisa menjadi anggota masyarakat internasional yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Ketiga kunci di atas mengarahkan kepada lahirnya luaran sekolah yang literat, yakni individu yang mampu mencapai tujuannya dengan menggunakan kemammpuan dan potensinya. Hal ini dapat terjadi karena selama pembelajaran mereka dibimbing untuk menguasai kecakapan mengidentifikasi, menghitung, memahami, menginterpretasi, mengkreasi dan mengkomunikasikan. Ketika mereka tidak lagi di bawah bimbingan guru, mereka dapat berbaur, berpartisipasi dengan masyarakat sosial dan berkontribusi sesuai kemampuannya.


Kita berjuang untuk mengejar ketertinggalan karena perubahan yang terjadi di dunia industry di luar kelas, kita harus memperhitungkan pembelajaran irregular dan nonlinier untuk memberdayakan siswa kita.