Saturday, December 2, 2017

Setengah mati?

Aku lihat pengantar penguburan kali ini sangat banyak. Rerata usia mereka duapuluh sekian, mungkin para mahasiswa karena sebagian dari mereka ada yang berblazer dengan warna dan bentuk yang sama. Aku penasaran, siapa yang dikebumikan sepagi ini. Padahal angin ribut  Desember seolah menghalau agar jangan ada jasad yang diurai bakteri dan kembali menjadi tanah. Semua yang hadir, khusyu, berdo'a.

Sebentar, siapa itu yang berlinang air mata, meraung, meradang, melarang jangan tinggalkan dia sendirian, jangan kubur kekasihku. Dia memegang usungan mayat, menghalangi siapapun menurunkan mayat ke dalam liang lahat. Kenapa dia begitu kesetanan menghiba dalam puisi kacau dadakan bahwa dia cinta kekasihnya. Mungkin begitulah cara mahasiswa melepas kekasih ke peraduan terakhirnya, pikirku.

Masih segar dalam ingatanku ketika  Doni menanyakan bagaimana insomniaku. Akhir-akhir ini insomnia merusak malam-malamku. Malam terasa bagaikan jalan panjang tiada akhir.  Setiap detiknya memanjang, membuat malam seolah tiada ujung. Aku kelelahan dikawal insomnia setiap malam.

Malam-malam sebelum insomnia berkunjung, aku memiliki malam yang penuh dengan impian masa selepas kuliahku. Terlihat diriku memakai Toga dan memegang gulungan ijazah. Tak lama, diriku menjelma menjadi seorang ahli tata kota yang membuat kota kecilku menjadi syurga bagi para pejalan kaki. Di kota itu aku berjalan bersama kekasihku, Doni, seorang ahli racik obat. Kami berdua tertawa, melangkah bersama.

Malam yang membawa insomnia bermula ketika Doni menyuruhku memakan pil dengan kandungan hormon estrogen dan progestin, yang menghambat indung telur berovulasi atau melepaskan sel telur di rahimku. Pil itu tidak semujarab iklan, ada evolusi akibat ovulasi dalam diriku. Sejak saat itulah, aku insomnia.

Doni yang sangat mencintaiku selalu menanyakan bagaimana malam-malamku. Dia memberiku pil lainnya, katanya pil yang dapat mengalahkan insomnia, Nitrazepam.
Doni, penolongku, pil itu selalu mengantarku tidur, dalam 10 -15 menit aku sudah tidur. Dalam tidur, aku melihat diriku dan Doni kebingungan dengan evolusi di rahimku.
Dalam dunia nyataku Doni melarang aborsi,  katanya itu pembunuhan. Dalam tidurku, aku merasa takut.

Aku mengeluhkan bahwa aku bermimpi buruk. Aku melihat orangtuaku terisak menangisi diriku yang terbujur kaku dengan darah segar keluar dari hidung, mata, telinga, dan semua pori-poriku. Darah merahnya menembus kain kafan.
Kata Doni, kamu berhalusinasi, itu efek samping obat tidur.  Kamu tidak bisa membedakan apakah kamu tidur atau kamu bangun. Delusi. Kamu terkena tipu daya zat-zat kimia pada Nitrazepam. Kamu harus bangun, katamu sambil memberiku 8 pil Nitrazepam sekalgus agar aku lepas dari halusinasi dan tidur.

Aku tidur, tidak ada mimpi. Doni, kekasihku, kamu penolongku. Kamu hentikan mimpi-mimpi ngeriku. Kini aku merasa ringan, aku bisa melanjutkan hari-hariku dan mengurus bayi jadi tujuan utamaku sekarang.

Aku terbangun ketika dingin angin Desember menusukku. Gelap. Mungkin masih pagi pikirku. Aku raba perutku, oh bayi tiga bulanku syukurlah, kamu masih bersamaku. Betapa segarnya bangunku kali ini. Dunia hingar bingar tidak terdengar. Sunyi. Tapi... jauuuh, perlahan, lamat-lamat aku mendengar suara ibuku mengaji. Seolah dia ada ada diatasku.

Doni, dimana kamu? Bantu aku, aku ini sedang tidur atau bangun. Aku memanggil Doni. Dia mungkin sedang kuliah.

Aku lihat Doni tersenyum, dia sedang merapikan tempat tidurku.  Oh betapa hebatnya ayah anakku.

Aku dekati dia dan kupeluk. Doni menatapku dam berkata, "Kamu, kenapa di sini? Bukankah aku sudah menguburmu tadi pagi?"