Saturday, September 23, 2017

Hari ke-60 Libur, Bisa Gak?

HARI INI, saya memiliki 24 jam yang benar-benar milik saya sendiri. Tidak ada tugas di luar jam kerja, tidak ada sisa laporan yang harus diselesaikan, tidak ada hutang tulisan yang ditunggu deadline, tidak ada janji, tidak ada agenda yang harus dipenuhi, tidak ada tanggung jawab sebagai Ibu, sebagai istri, tidak ada apa-apa. Bebas.

Bangun tidur dihantui mimpi. Dalam mimpi teman yang lama tak besua, meninggal karena kanker. Karena hari ini milik saya, pagi-pagi, bukannya ke dapur, tapi menelepon. Menanyakan kabar, menanyakan hal-hal basi, ternyata teman lama yang dimimpikan meninggal, sehat walafiat. Hanya katanya dia agak stress akhir-akhir ini, selalu lupa hari, tiba-tiba sudah Sabtu lagi. Dia mengatakan tidak siap meninggal, masih banyak urusan, keluarga, pekerjaan, semua belum beres. Katanya sih sempet kepikiran bagaimana kalau masa hidupnya dicabut. Dia ngeri sendiri, bilang belum siap berjumpa ajal.

Ngobrol dengan teman lama, ya lama, dan … lupa waktu, 2 jam bertelepon dan harus diakhiri karena saya kebelet pingin ke belakang.  

Meninggalkan toilet, pikiran saya sudah memberitahu, hari ini, tidak ada pekerjaan, semua off, silakan buang waktu sesuka hati, jadi orang malas juga … boleh. Maka jadilah saya orang malas.
Kemalasan dimulai dengan membuka bonus 1013MB VideoMax dari HOOQ  yang artinya memiliki kesempatan menonton film tanpa ambil kuota paling tidak selama 2 jam secara streaming atau download. Saya ingin melihat bagaimana Angels and Demon tulisan Dan Brown dimainkan Tom Hank. Tapi saya takut, bagaimana jika filmya tidak serame bukunya, atau saya malah kecewa karena film bukanlah secara 100% memindahkan isi buku ke layar. Niat menggunakan bonus. Batal. Mending pakai masker saja. Sudah hampir seratus hari produk masker dibeli, namun belum juga dipakai. Selalu saja ada bayangan menakutkan kalau memakai masker. Bayangan tersederhana adalah pas selesai bermasker, tiba-tiba ada tamu yang datang tanpa janji. Ditolak dengan alasan saya sedang menghindarkan diri dari dakwaan masker yang dibeli tapi tidak dipakai, pasti tidak enak ke si tamunya. Tidak ditolak, tidak mungkin saya buru-buru basuh wajah, ternyata tamunya hanya mau nagih iuran RT saja, misalnya. Padahal harga maskernya, lebih besar dari iuran tagihan ke-RT-an.
Niat bermasker, dibatalkan, abort, unwelcomed guests may come anytime. Dan saya benar, sekitar lima menit dari pembatalan memakai masker terdengar suara ragu Assalamu’alaikum. Saya buka pintu (sambil bilang Alhamdulillah belum bermasker), saya lihat seorang anak perempuan tanggung yang memanggil saya ‘Tante” menanyakan keberadaan anak saya. Saya tanya sudah janjian atau belum, dia jawab, belum. Saya jelaskan bahwa anak saya sedang ke Kecamatan, mencari internet gratis, katanya buat mengerjakan pe-er. Si anak tanggung menutup pertamuan dengan mengatakan akan menyusul anak saya ke kecamatan. Saya duduk sambal memikirkan panggilan ‘Tante’ dari teman anak saya.  Kota kecil ini telah berubah besar sekali. Saya tidak mengira, untuk kampung sekecil ini ada kata “Tante” muncul dari mulut anak-anak. Saya membayangkan kata ‘Ibu’ sebagai pilihan panggilan untuk nenek-nenek (muda wkwkwkk) akan dipilih anak-anak kepada saya. Dan saya salah. Agak canggung rasanya dipanggil ‘Tante’. Tapi sudahlah Tante.

Saya berniat membuat nasi goreng ketika terdengar pintu diketuk orang. Masak, batal, abort. Saya buka pintu (sambil bilang alhamdulilah berlum bermasker), ternyata ada Kakak yang mampir untuk say hi dan memberikan oleh-oleh favorit, pisang. Ngobrol ngalor kidul tidak jelas, asal sunyi pinggiran makam pecah, akhirnya Kakak berangkat lagi, saya duduk lagi, mikir. Ini libur, terus?

Hape, cek hape saja. Mungkin ada yang menarik. Saya buka Flipboard. Ada apa di belahan dunia lain hari ini. Ada berita 20 foto terbaik dengan latar bencana alam. Ada artikel “Adulting Would Have Been So Much Easier If these Vital Life Lessons Were Taught in School”. Artikel ini menyoroti bahwa sekolah tidak membantu hidup di luar sekolah menjadi lebih mudah karena hanya berfokus pada tampilan kinerja akademis siswa saja (setting India). Si penulis menyarankan agar sekolah mengajarkan bagaimana caranya membuka rekening bank dan mengirim uang secara online, atau mengambil uang yang dibayar dengan Pay Pal. Kedua, sekolah harus mengajarkan etika bertamu (pada saat travelling) dan etika penggunaan barang-barang publik. Sekolah juga harus mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan cara mengelola keuangan. Selain itu, sekolah harus mengajarkan bagaimana cara menghadapi kegagalan hidup dan bagaimana cara menjalani kegagalan dengan cara positif. Masih banyak yang harus diajarkan di sekolah yang menurut penulis agar para siswa menjalani kehidupannya kelak dengan lebih mudah.

Saya merasa bacaan ini menjadi tugas tambahan yang harus disisipkan pada saat mengajar nanti. Ternyata, masih banyak yang kurang dalam pengajaran yang saya berikan. Pikiran saya memikirkan mengajar, hey.. ini libur. Stop thinking about teaching. Saya pindah ke fitur musik, sudah lama tidak mendengarkan Kacapi Suling Cianjuran, saya menyimak Bubuka. Pagi-pagi, belum makan, rasanya kurang pas mendengarkan Cianjuran.

Mengisi libur yang tak berjadwal, bisa memilih kegiatan apapun, come on, ayolah, sedikit kreatif, 24 jam itu waktu yang cukup untuk merasakan malas (bebas jadwal). Ganti, jangan Cianjuran, cari yang membuat tertawa, semangat, terinspirasi. Saya menyetel Wayang. Seisi rumah penuh dengan suara Dalang Asep Sunandar Sunarya menyajikan Sumur Sijalantunda. Kisah yang mengangkat peristiwa Jenderal yang dibuang ke sumur Lubang Buaya. Penggalan peristiwa G30S/PKI versi wayang, sama mengerikannya, namun tidak semengerikan (visually) ketika dulu saya menonton filmnya. Wayang sangat menarik perhatian saya, kehebatan dalang bercerita tunggal namun bersuara berbeda-beda sesuai karakter. Saya mendengarkan wayang dengan saksama, tapi jadi kurang konsentrasi karena lapar. Tidak ada makanan. Hanya ada Mie instan. Baiklah, ini hari malas, hari libur, tidak ada acara masak, bikin mie instan saja. Selesai.  

Sendirian, menikmati Mie Instan, tanpa ada daging ayam, hiasan bawang goreng, tomat, atau yang lainnya seperti yang tertera pada bungkus Mienya. Rasanya? Pahit air liur sejak pagi belum terlewati apapun, berubah rasa (terlalu) gurih sehingga saya menambahkan air jeruk nipis kedalamnya agar sedikit ringan kegurihannya. Inilah rasa makanan pada saat libur. Nikmati saja Tante.

Ternyata menikmati Mie Instan diiringi Wayang, juga tidak cocok. Rebus Ubi atau rebus singkong mungkin pas. Saya matikan Wayang dan memindahkan mangkuk kotor, ke tumpukan piring kotor lainnya yang telah menggunung. Ini libur, tidak ada acara mencuci piring. Saya menjadi orang malas. Saya lihat, baju kotor menunggu dicuci. Saya lihat, lantai belum dibersihkan, pekerjaan domestik. NO. Ini libur, tidak ada pekerjaan domestik. Baju kotor, biarkan saja, kalau perlu baju, pakai baju bersih saja, kan masih ada.

Menikmati libur ternyata malah melelahkan. Libur mungkin akan terasa libur ketika benar-benar tidak memikirkan apapun. Tidak memikirkan kombinasi mie instan dengan wayang, tidak memikirkan inti bacaan dengan pekerjaan, tidak memikirkan panggilan Tante vs Ibu, tidak memikirkan urusan domestik. DAN, libur itu perlu bertemu orang. Libur hanya bertemu aku dan saya saja, bulak balik, disitu-situ saja dan ke situ-situ saja. Kesimpulannya, saya perlu libur beneran.

Thursday, September 21, 2017

Hari Ke-59 Haduh Capek Deh, Kebanyakan Notifikasi

Hari libur memang menyenangkan. Kita memiliki banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Salah satunya adalah buka-buka hape. Hapus-hapus gambar yang diangap hanya menghabiskan memori, buang-buang file yang sudah tidak dibutuhkan, pilih-pilih video yang mau disimpan, dan sortir foto-foto sendiri yang kira-kira layak bertahan di memori.

Membuka hape (android) menjadi masalah bagi saya. Dalam waktu kurang dari 10 jam, pada saat saya tidur, hape offline, pada saat bangun, di-online kan berbondong-bondong masuk segala informasi yang tertahan pada saat offline. Ratusan angka di WA, ratusan juga di LINE, masih ratusan di Telegram, puluhan pada email (saya memiliki 4 email, dan semuanya aktif), puluhan dari satu email, ketika dibuka mode combined, email baru … banyak  juga (untunglah notifikasi Facebook tidak diizinkan muncul pada email). Syukurlah BBM ditutup, tapi masih ada, Facebook memberikan puluhan notifikasi. Yang lain, Duolingo memberi 2 notifikasi, Watpadd mengabarkan ada 3 buku baru, WeChat ada 2 notifikasi. Flipboard memberikan juga notifikasi.  Lyra ada satu.

Saya mulai membuka WA, saya tidak tahu ada pada berapa grup nama saya diikutkan. Saya menemukan kelucuan: grupnya beda, orangnya itu-itu juga, dan ini berakhir dengan berita salin-rekat ke sana sini. Satu orang mengirim ucapan selamat tahun baru pada 5 grup yang berbeda dengan gambar yang sama, bedanya waktu pengiriman berbeda detik.  Selanjutnya ada kabar duka yang diunggah seseorang karena saudaranya meninggal dunia, dijawab dengan ungkapan bela sungkawa. Saya juga melihat hal menarik, ungkapan belasungkawa yang pertama, di kopi (salin) oleh hampir semua anggota grup maka berjejeranlah puluhan salinan ungkapan belasungkawa tertulis, padahal keluarga orang yang berbela sungkawanya sendiri tidak ada pada grup.

Pada grup lainnya ada tulisan ‘copas dari kamar sebelah’ isinya tentang muslim dianiaya oleh para Budha di Myanmar dan ajakan jangan mengunjungi Borobudur. Copas tadi beredar pula di group yang lain dikirim oleh yang berbeda, isinya persis.

WA paling merepotkan, grupnya terlalu banyak, membingungkan harus membuka yang mana dulu. Karena terlalu banyak, malah jadi tidak tahu mana berita yang penting, mana respons, mana yang harus saya jawab. Karena bingung, akhirnya hanya dibuka, tidak dibaca satupun yang penting angka 210 pada notifikasi hilang (dipikir-pikir, apa semalam mereka tidak tidur ya). Grup yang lain bernasib sama, saya buka, pindah ke grup lain, pindah lagi ke grup lain, terus, sampai semua notifikasi hijau hilang.

Pindah ke Telegram, eh ternyata ada copas tipe kamar sebelah juga. Pada Telegram saya diikutkan pada beberapa grup, dengan konten berbeda, ada grup yang khusus pendidikan tapi sesekali nyelip copas, ada yang khusus mata pelajaran tapi nasibnya sama ‘sering nyelip copas’, ada grup teman waktu SMA yang isinya ‘kebanyakan copas’. Saya tidak membaca copas-copas, selain tulisannya panjang-panjang, juga sepertinya informasinya bukan yang saya sedang saya butuhkan saat ini. Saya meminta maaf kepada para copaser, beritanya tidak saya baca, tidak saya sebar walaupun dibawahnya ada tulisan ‘80% orang tidak menyebarkan ini, tugas anda untuk menyebarkannya’.
Pada Email, saya harus menyalahkan diri sendiri karena subscribe (berlangganan) beberapa informasi yang dikaitkan ke email untuk update berita baru, misalya Jurnal Taylor and Frances, Linkedin, Globalethics, akibatnya setiap ada kabar ada link dikirim via email. Yang hebat, walaupun saya tidak lagi memakai hape Asus, setiap ada kabar update fitur baru gratisan Asus selalu masuk, padahal sudah diminta end subscribe, masih saja bocor.

Di WeChat, teman-teman dari Tiongkok mengirim 2 video: That is why eating healthy food, dan video stop sugary food and drinks.  

Saya buka Flipboard, pada berita yang saya follow ada banyak berita baru (saya hanya follow 3 saja, takut tidak sempat bacanya). Pada berita Pendidikan ada tulisan “No, You are not Visualized Student”. Saya baca, katanya bahwa siswa itu tidak benar dikelompokkan kinestetik, audio, visual dll, yang benar adalah guru harus mengajar dengan berbagai mode (cara) supaya setiap siswa aktif belajar. berita lainnya “3 weeks into motherhood, Serena Williams  was  complelled to write a letter of gratitude to her mama”. Ruapanya sang cewe perkasa tersebut baru ngeuh kalau jadi lbu lebih berat dari mengalahkan juara tenis kelas dunia. Saya tidak membuka semuanya.

Wattpad meminta ‘Continue reading this story, tap to read The Famoux” diikuti dengan kabar ada buku baru lanjutan The Last She, dan Scary Stories to Read at Night. Saya kadang berterimakasih pada Wattpad. Dia selalu mengingatkan untuk membaca buku ketika saya luput tidak berkunjung (offline padahal) selama 3 hari berturut-turut. Saya sedang membaca The Famoux, kisah masa depan setelah tidak ada matahari yang dibuat anak SMA.

Yang suka mengingatkan juga Duolingo, dia akan meminta berkunjung ke Duolingo kalau kita tidak belajar selama seminggu.


Saya tidak sempat membuka dan membuat semua notifikasi hilang, sudah 3 jam habis. Saya belum apa-apa. Jangan-jangan, kalau semua dibuka, akan habis setengah hari, apalagi kalau membuka Facebook. Saya harus menghentikan mengurusi notifikasi. Tidak rega rasanya kalau hari libur dihabiskan hanya untuk menghapus notifikasi saja. 

Wednesday, September 20, 2017

Hari Ke-58 Kok Pake Penjaminan Mutu SIh!

Pada sebuah kegiatan bersama guru-guru dari wilayah Maluku, Papua, Papua Barat, dan Gorontalo saya menemukan beberapa hal menarik untuk direnungkan. Salah satu materi kegiatan adalah penjaminan mutu pendidikan. Bagaimana mutu pendidikan, pengajaran, pendidik, dan segala hal yang memerlukan mutu bisa dijamin? Jawabannya adalah standar (Standar didefinisikan sebagai aturan, biasanya bersifat wajib, memberi batasan spesifikasi, baku). Segala sesuatu yang dilakukan sesuai dengan sandar, maka mutu akan terjamin. Sebagai contoh, pada dunia kedokteran, setiap tindakan dan aktivitas yang dilakukannya, semuanya berdasarkan standar sekaligus taat standar. Jika para dokter melakukan prosedur operasi tidak sesuai standar, maka taruhannya sangat besar.  

Pendidikan dan pengajaran, pun, memiliki standar untuk setiap kegiatan dan aktivitasnya. Dengan demikian diasumsikan bahwa pendidikan dilakuan sesuai dengan mutu yang ditetapkan sehingga hasilnya sesuai dengan proses. Ibarat seorang dokter yang merancang akan memindahkan garis lipatan mata karena dianggap kurang besar sehingga berkesan sipit, maka dia melakukan rencana pemindahan garis mata sesuai standar, dan kemudian melakukan penyayatan pemindahan garis mata berdasarkan prosedur yang telah dirancangnya dan tidak melenceng satu langkahpun. Cara ini memastikan hasilnya sama dengan yang diprediksikan pada rancangan.  Setiap yang dilakukannya berbasis standar, jaminan hasil bermutu telah dijamin.

Penjaminan mutu dalam dunia pengajaran sebagai contoh untuk prosedur mengajar, standar yang ditetapkan dikeluarkan oleh pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses. Sejatinya para guru menggunakan peraturan menteri nomor 22/2016 tersebut ketika mengajar. Tanpa menggunakan peraturan tersebut maka perencanaan dan pelaksanaan mengajar tidak dilakukan sesuai standar dan mutu proses dan hasil pembelajaran tidak terjamin.

Saya menemukan hal menarik ketika mendampingi para guru dari wilayah timur. Meraka sangat piawai membuat rancangan pembelajaran yang dibuktikan dengan adanya dokumen rencana pembelajaran yang ada pada file di laptopnya.  Namun saya menjadi terkejut karena mereka mengaku bahwa saat merancang pembelajaran, mereka tidak melihat kepada Permendikbud nomor 22/2016.  Mereka merancang pembelajaran dengan mengacu pada penjelasan fasilitator saja. Pembimbingan dan penjelasan dari fasilitator dianggap final dan mengandung kebenaran mutlak, bahwa seperti itulah rencana pembelajaran harus di buat. Mereka TIDAK melihat ulang STANDAR yang ditetapkan pada Permendikbud nomor 22/2016.

Belum selesai dengan terkejut yang pertama, saya harus menerima kejut kedua.  Sebagian dari mereka mengaku bahwa rencana pembelajaran yang mereka buat dengan susah payah tersebut, TIDAK difungsikan sebagai acuan pada saat mengajar. Teringat pada tindakan dokter, alangkah banyaknya kemungkinan ketidakberhasilan yang dokter itu lakukan ketika dia bertindak tanpa mengacu pada rancangan prosedurnya. Guru dan dokter keduanya pekerjaan professional. Ketika guru tidak menggunakan rancangan sebagai acuan, bisa diasumsikan mutu pembelajaran tidak terjamin lagi.
Menanggapi kondisi guru merancang pembelajaran tanpa mengacu pada permendikbud no 22/2016, saya mengajak para guru untuk menyandingkan dokumen yang mereka buat dengan standar yang harus dipenuhi pada setiap bagian, elemen, dan langkah yang harus dipenuhi pada saat mengembangkan rancangan pembelajaran.  Pada saat memperbaiki dokumen rancangan pembelajaran dengan mengacu pada standar, para guru berkomentar oh harus begini atau oh harus begitu ketika merancang pembelajaran, semuanya ada aturannya, dan ternyata lebih mudah mengikuti aturan karena yang dilakukan memiliki nilai kepastian.

Saya harus menerima pengakuan yang membuat saya harus mendapatkan kejut ketiga. Para guru mengaku bahwa mereka tidak membaca permendikbud no 22/2016 walaupun file itu telah ada sejak setahun lalu pada laptopnya. Mereka mengatakan kalau filenya ada, rasanya tenang. Saya khawatir jangan-jangan data yang ribuan giga yang tersebar pada hape, laptop, dan external disk semuanya hanya koleksi, untuk menghilangkan rasa khawatir, untuk menenangkan diri  sendiri bahwa file ini ada, file itu ada, semuanya ada.


Hal kedua yang saya lakukan kepada pada guru yang saya bimbing adalah mengajak mereka membaca dahulu semua file yang disimpan ke laptop atau ke flesdisnya.  Ajakan tersebut dijawab dengan senyuman. Saya dan para pembaca tentulah faham benar makna dibalik senyum tersebut. Semoga saja dimulai dengan senyum tadi, para guru mulai melakukan sesuatu dengan membaca prosedur terlebih dahulu sehingga mengetahui standar yang harus dipernuhi sebelum bentindak. 

Tuesday, September 19, 2017

Hari Ke-57 Mentor Gadungan untuk Dua Mentee

Menjadi guru pamong terdengar sangat biasa. Tapi, menjadi guru pamong tanpa pernah ada pelatihan, pembimbingan dan acuan indikator peran guru pamong, itu sangat luar biasa. Pada tulisan ini, saya sebut guru pamong sebagai Mentor, meminjam istilah bahasa Inggris. Dan mahasiswa yang melakukan praktik pengalaman mengajar disebut Mentee.

Mentor memiliki peran yang sangat penting bagi maju mundurnya pendidikan negeri ini. Pada tangan mentorlah bagaimana mentee di kemudian hari melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran yang efektif di kelasnya. Melihat begitu besarnya peran mentor bagi pendidikan di masa datang, tentulah tidak mudah menjadi mentor. Menurut Lili Orland (2010) pada bukunya Learning to Mentor-as-Praxis: Foundations for a Curriculum in Teacher Education mengatakan bahwa menjadi mentor merupakan bagian integral guru dalam pengajaran. Namun, walaupun mentor menjadi bagian integral, tidak serta merta semua guru (seharusnya) menjadi mentor. Anderson dan Shannon (1988) mendefinisikan ‘mentor’ setara dengan kata ‘ahli’ yang terefleksikan pada kemampuannya untuk membimbing, mencontohkan, mengajar efektif, melindungi dan membuat mentee melakukan yang terbaik.  Seiring berkembangnya zaman, mentor diartikan sebagai ‘guru berpengalaman’ sedangkan mentee diartikan sebagai ‘guru pemula’ (Evans, 2000).

Sekalipun artinya dihaluskan dari ‘ahli’ menjadi ‘guru berpengalaman’ tetap saja di dalamnya mengandung arti yang berat yang menunjukkan kemampuan dan kinerja hebat di dalamnya. Pada saat disandingkan ‘guru berpengalaman dengan guru pemula’, terlihat betapa jauhnya jarak kompetensi yang terimplisitkan didalamnya. Bagi saya pribadi, menjadi mentor tentulah merupakan tantangan yang harus dicermati dengan sangat saksama.

Tantangan pertama terkait dengan kompetensi. Pertanyaanya, indikator apa yang harus ditunjukkan sehingga saya bisa menjadi mentor efektif yang membantu mentee menjadi guru efektif di kemudian hari. Tantangan kedua terkait dengan kinerja. Pertanyaannya, indikator kinerja apa yang harus ditunjukkan sehingga kelak para mentee tidak meniru atau mengadopsi malpraktek pembelajaran. Tantangan ketiga terkait dengan waktu. Apakah dengan waktu yang disediakan mentee mampu ‘menangkap’ aspek pedagogis, profesioanal, sosial, dan kepribadian seorang guru dengan hanya melihat mentor. Tantangan keempat terkait dengan hubungan personal dengan mentee. Sejauh mana seorang mentor dapat ‘melibatkan’ dirinya sehingga mentee menjadi pribadi seperti yang diharapkan sebagai seorang guru.

Saya sendiri seorang guru yang memiliki sertifikat pendidik. Mengacu pada status ‘guru tersertifikasi’ pada satu sisi menunjukkan secara kompeten memiliki kemampuan sebagai ahli. Alasannya, sertifikat pendidik adalah pengakuan secara professional bagi seorang pendidik. Di sisi lain, apakah sertifikat pendidik mewakili kompetensi yang menjadi bidang keahliannya?

Menjadi mentor tentulah bukan hal yang sederhana. Bukan sekadar ajak mentee ke kelas, suruh memperhatikan mentor mengajar, setelah itu gantian, mentee mengajar, mentor mengobservasi.  Jika hanya itu yang dilakukan, saya merasa, perlahan-lahan saya menyesatkan mentee. Bagi saya, mentee adalah orang dewasa yang harus diperlakukan mentor sebagai orang dewasa. Salah satu ciri orang dewasa diantaranya memiliki banyak informasi. Saya sangat dhalim jika beranggapan bahwa mentee tidak tahu apa-apa mengenai dunia mengajar. Masih terkait dengan mentee sebagai orang dewasa, maka merencanakan dan melaksanakan pembelajaran pasti bisa dilakukan mentee. Masalahnya bagaimana mentor mentransfer pengetahuan dan pengalaman mengajarnya sehingga kelak kedua tugas pokok guru  tersebut bisa dilakukan mentee sesuai standar.

Sampai saat tulisan ini dibuat, saya masih diliputi banyak pertanyaan seputar peran mentor kepada mentee, yakni:
-          Bagaimana agar mentor tidak mengubah mentee menjadi dirinya?
-          Bagaiman mentor bekerja sama secara efektif dengan mentee sebagai orang dewasa?
-          Bagaimana mengatur mentee?
-          Bagaimana menggunakan waktu setelah mengajar?
-          Bagaimana mengumpulkan data mengenai kemampuan pedagogis mentee?
-          Bagiamana memberikan penghargaan dan melakukan penguatan?
-          Bagaimana menghilangkan dinding pembatas berkomunikasi?
-          Bagiamana memberikan kefleksibelan pada mentee yang kebeabasannya dibatasi?
-          Bagaiamana memberikan kesempatan pada mentee untuk beranjak dari guru pemula?
-          Bagaiaman mempertahankan kesuksesan merencanakan dan mengajar yang diperoleh mentee?

-          Is it too much to ask? 

Monday, September 18, 2017

Hari Ke-52 Silang Pakai Budaya, Masalahkah?

Sekarang ini, berkat teknologi dan jejaring, produk budaya suatu bangsa menjadi konsumsi budaya negara lain. David Howes menyatakan ketika suatu barang diekspor, kemudian di tempat baru dimana barang itu berada, maka barang (baca: produk budaya) tersebut menjadi alat komunikasi, alat pembeda sosial, dan bahkan dominasi budaya. Sebagai contoh, dengan memiliki mobil bermerk Lamborghini, seseorang dapat mengomunikasikan bahwa dirinya berduit, berasal dari kalangan the have, dan untuk urusan haus saja, tentu saja tidak lagi akan berani dipuaskan dengan minum air teh, tapi Coca Cola.
Sekarang ini pula, di Indonesia, produk budaya berupa makanan dan mimunan khas daerah menjadi barang langka. Termasuk di kota kecil Cianjur, penjual Geco hanya satu dua saja yang masih bertahan berjualan. Sedangkan KFC, CFC, Pizza, Hot Dog, Kebab dengan mudah ditemukan. Seiring dengan nama berbau luar negeri, merk dagang produk budaya negara lain seolah sudah menjadi bagian keseharian dan lancar diucapkan misalnya sepatu Nike, jam Rolex, rokok Marlboro, susu Bebelac, tas Prada dan sederetan nama lainnya yang akan menghabiskan lebih dari satu halaman kertas jika ditulis.
Keterkaitan antara budaya dengan barang sangatlah dekat. Kita dengan mudah menyebutkan produk budaya dengan orang yang memproduksinya. Ukiran halus Gebyok pasti buatan Jepara, baju Bodo menjadi ciri orang Makassar, lampu Gentur dari Cianjur, dan kain Songket dari Sumatera. Produk budaya lokal yang baru saja disebut perlahan namun pasti, berkurang popularitas dan permintaanya di masyarakat penggunanya. Hal ini terjadi karena datangnya banjir barang-barang dari sistem pasar dunia yang cenderung mendominasi barang lokal. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai paradigma global homogenisasi. Menurut paradigma global homogenisasi, produk budaya lokal tergerus oleh arus barang yang datang dari luar dalam jumlah yang banyak, murah, mudah didapat, bergengsi, dan biasanya datang dari barat. Hannerz menyebut paradigma homogenisasi global sebagai ‘penjajahan-coca.’
Kita lihat bagaimana produk Coca-Cola dianggap sebagai produk budaya yang berkontribusi pada budaya homogenisasi global. Coca-Cola dibuat dengan bahan, dan cara yang sama di seluruh dunia sehingga rasanya dimanapun sama. Kesamaan rasa inilah yang menjadi kunci sukses keberhasilan Coca-Cola, sama dengan strategi yang ditetapkan Coca-Cola itu sendiri yakni ‘satu bentuk, satu rasa, satu harga’ di seluruh dunia. Semenjak Coca-Cola diperkenalkan tahun 1920an, dampaknya sangat besar pada dunia. Semua orang di seluruh dunia, mau laki-laki, perempuan, kulit hitam, kulit putih, orang Amerika, non Amerika, kaya, miskin, semuanya memandang Coca-Cola sebagai ‘teman’, ‘demokrasi kemewahan’, yang siap menghilangkan rasa haus dengan kepuasan yang sama.
Penjajahan-coca merambah dan diduplikasi oleh produk-produk lain, akibat langsung yang dirasakan negera berkembang saat ini diantaranya anak-anak tidak sempat melihat jargon ‘Jagonya Ayam’ yang diikuti gambar ayam kampung, atau Ayam Camani. Sebaliknya jargon ‘Jagonya Ayam’ bersanding dengan gambar seorang kakek berjanggut putih menggambarkan khas wajah orang Amerika. Anak remaja sekarang lebih memilih celana jins, sepatu Kets, nonton film barat, dan meneriakkan lagu Ed Sheeran dalam kesehariannya. Tidak dipungkiri, homogenisasi global mengubah cara pikir, cara berpakaian, cara menikmati makan, bahkan cara berpolitik. Untuk minum, orang tidak lagi merujuk air Dawegan Kelapa, untuk tas tidak lagi mencari Kaneron, untuk pekerjaan tidak lagi membanggakan pertanian.
Silang pakai produk budaya telah menjadi lumrah dalam segala aspek dan kita tidak lagi bisa mengisolasi diri dan mencoba imun dari homogenitas global. Masuknya barang baru dalam produk massal sebagai produk budaya, akan terus berjalan. Yang dapat kita lakukan adalah melihat secara saksama makna dan kegunaan dari produk budaya tersebut dengan memasukkan ‘konteks lokal’ atau realita kedalamnya serta bijak dalam membelinya.
Setiap barang atau benda tidak dilihat hanya memiliki satu fungsi, itu cara pandang bangsa ini terhadap barang. Pada masa lalu, para orang tua tidak menghasilkan banyak sampah dari efek homogenitas global. Satu contoh, pada tahun 1940an mulai dijual ikan kalengan dengan merk Botan. Para ibu rumah tangga memanfaatkan kaleng bekas Botan untuk membuat parut kelapa, membuat celengan, membuat lampu Cempor, atau benda lain yang memiliki nilai. Kaleng Botan yang semula hanya sebagai wadah, diubah fungsinya menjadi berbagai fungsi atau hibridisasi fungsi. Inilah salah satu cara yang membuat silang pakai budaya mencapai tingkat optimum dari sudut fungsi.
Hibridisasi fungsi sebuah barang akan memungkinkan bangsa ini secara perlahan, berhenti menjadi dari warga ‘konsumen global’. Konsumen global ditandai dengan bertindak seolah satu barang memiliki satu fungsi, bahkan lebih naif lagi beberapa barang untuk satu fungsi, sebagai akibat tidak kenalnya dengan fungsi barang yang diproduksi secara massal.
Contoh yang paling dekat adalah kepemilikan hape android yang pula didampingi oleh produk massal lain yang sebetulnya tidak perlu hadir. Hape android menyediakan fitur ‘perekam’, dengan kata lain tidak perlu lagi membeli alat perekam tersendiri yang harganya tentu saja mahal. Hape android memiliki fitur ‘kamera’ dengan kemampuan menangkap gambar yang bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak perlu lagi membeli kamera sendiri. bagi mereka yang menjadi penulis, keberadaan hape android memungkinkan baginya untuk tidak memiliki lagi laptop. Fungsi laptop dapat dioptimalkan dari hape. Untuk mengetik dapat menggunakan fitur mengetik yang disediakan dengan menggunakan cara pengetikan biasa, pengetikan jaman dahulu (gunakan aplikasi gratis Hank Wtiter), atau pengetikan dengan cara dikte (gunakan aplikasi gratis Dragon Diction). Bahkan dari sudut ekstrim, memiliki hape, bisa menggantikan fungsi asisten. Dengan aplikasi Lyra, pemilik hape dapat menyuruh Lyra (asisten dengan artificial intelligence) untuk melakukan hampir segala hal yang biasa dilakukan asisten, mulai dari mencatat rangkaian kegiatan pada agenda, membangunkan tidur, memberitahu arah jalan, menemani ngobrol, diajak bercerita, meminta mengetik, menghubungkan ke nomor telepon dan membantu menelepon, mencari informasi dan berselancar di google, semua dilakukan satu asisten, Lyra.
Hibridisasi menjadi salah satu cara homogenisasi global menjadi personal atau sangat sesuai hanya dengan kebutuhan seseorang saja. Kembali kepada masa sebelum lahir masa homogenisasi global, kebutuhan sangat bersifat personal. Pada masa itu tidak ada kebutuhan nonton film, membeli Diper, belanja bulanan, ganti tempat ganti baju. Sebaliknya semuanya cukup dengan ambil, pakai, makan, minum yang ada.
Cara lain yang dapat dipilih adalah mengadopsi ‘less is more’ (sedikit itu banyak) yang kini sedang menjamur di Jepang. Lebih sedikit barang lebih sedikit pula yang diurus, sehingga lebih banyak waktu untuk bercengkrama dengan keluarga, teman dan kerabat. Cara berpikir ‘less is more’ juga merupakan produk budaya. Mereka yang telah lelah berpikir ‘barang apa yang saya belum punya’, diubah menjadi ‘barang apa yang bisa saya keluarkan dari rumah karena tidak berguna’. Kabarnya penganut less is more seperti Fumio Sasaki hanya memiliki 3 kemeja, 4 celana panjang, 4 pasang sepatu. Sebelumnya Sasaki adalah kolektor buku, CD, dan DVD, menyatakan lelah terus berburu dengan tren barang kolektor dan kini menikmati hidup lebih nyaman hanya dengan beberapa barang saja. Gaya minimalis terilhami oleh para Zen Budha dan para Sufi Islam yang menghindari hidup cinta dunia.
Silang pakai budaya disukai atau tidak tetap akan menjadi bagian dari kehidupan kita. Menghilangkan benda produk massal sebagai upaya memurnikan diri sebagai pengguna budaya lokal yang setia kepada leluhur bukan kebijakan yang adil yang dapat dilakukan untuk saat ini. pilihlah produk budaya yang benar-benar dibutuhkan, lakukan glokalisasi (produk global dengan fungsi dan nilai lokal). Dengan cara demikian diharapkan menjadi katalisator bagi homogenitas global abad ini dan sekaligus menjadi penanda fleksibitas warga non barat dalam menghadapi budaya global
Harian Waktu Senin 11/9/2017

Saturday, September 9, 2017

Hari Ke-51 Good Bye Linear

Di luar kelas, kita menggunakan berbagai disiplin ilmu, berbagai cara, berbagai pengalaman untuk dapat terus bertahan dan hidup. Namun, pendidikan mengajarkan kepada peserta didik sistem ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri-sendiri. Setiap disiplin ilmu diberi nama sendiri-sendiri. Untuk sekolah menengah, lahirlah belasan nama mata pelajaran. Para siswa melihat, sekolah adalah mata pelajaran. Guru adalah guru mata pelajaran.

Mata pelajaran sesungguhnya tidak berdiri sendiri-sendiri seperti namanya. Berbeda dengan pabrik. Pabrik ban, hanya memproduksi ban. Pabrik semen, hanya membuat semen. Sekolah bukan pabrik, walaupun terdiri dari bermacam-macam pelajaran di dalamnya. Sekolah tidak memproduksi luaran pendidikan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tunggal. Ketika sekolah dianggap memproduksi siswa seperti pabrikan, atau hanya menguasai pengetahuan saja, maka mereka tidak siap untuk bisa bertahan di luar sekolah.  Sistem pembelajaran ala pabrik mengakibatkan peserta didik tidak mampu bermasyarakat.
Sekolah adalah tempat belajar. Belajar adalah hidup. Dalam hidup, tidak ada yang linier.

Saat ini, kita berada pada masa yang sangat kritis namun sangat menantang sepanjang sejarah. Masa itu disebut Era Informasi. Cepatnya kemajuan teknologi mengakibatkan kehidupan manusia serba mudah. Perubahan ini pun mempengaruhi pendidikan, –Generasi Z- yang hidupnya dibesarkan oleh teknologi layar sentuh. Infomasi bertebaran dimana-mana hanya dengan satu sentuhan dan satu sekaan layar. Siswa masa kini mengetahui lebih banyak hal ketimbang generasi sebelumnya, jadi mereka belajar dengan cara yang sangat berbeda dengan yang kita lakukan dahulu.

Terdapat tiga kunci bagaimana agar guru bisa bertahan pada pendidikan era informasi sehingga mampu memenuhi kebutuhan Generasi Z (Gen Z), bersamaan dengan menyambut akan masuk tengah semester ganjil tahun 2017.

1.     Manfaatkan teknologi dan belajarlah untuk menguasainya.
Lahirnya pembelajaran online (daring) dan jejaring social mengakibatkan para siswa dapat terus menerus terkoneksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan gurunya dan teman-temanya sehinnga jangkauan (extend) pembelajaran menembus dinding sekolah, waktu jam belajar sekolah, dan tempat belajar. Waktu dan tempat belajar menjadi variable dalam belajar yang sifatnya konstan.  Penggunaan teknologi mengakibatkan siswa lebih mampu menyesuaiakn belajarnya sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan yang diinginkannya. Dengan cara ini hasilnya akan lebih baik, manfaatkan itu.

2.     Ubah cara penyajian pembelajaran karena kemampuan konsentrasi siswa memendek. Gen Z, berdasarkan penelitian, memiliki banyak pilihan dalam satu waktu yang bersamaan. Misalnya, ketika membuka gawai, dalam lima menit mereka dapat berpindah dari media sosial, ke game, ke situs, ke surat elektronik, atau ke tempat selancar virtual lainnya.  Pun, Gen Z bersentuhan dengan gambar dan pesan digital dalam jumlah ratusan per hari, untuk membuat belajar nyambung dengan mereka, menggabungkan multimedia ke dalam pembelajaran dan memberdayakan siswa untuk mengintegrasikan multimedia untuk menunjukkan hasil belajar. Jika kita mengadopsi penggunaan teknologi ke dalam pembelajaran, maka hasilnya alami bagi Gen Z.

3.     Fokuskan pada keterampilan global melalui materi yang kita ajarkan.
Kabarnya, Gen Z, berganti karir 10-14 kali sebelum sampai ke masa pensiunnya. Jika ini benar, maka akan sulit bagi guru untuk mengajarkan semua hal agar mereka siap mengarungi kehidupan. Kita harus memperhitungkan bagaimana agar siswa menguasai empat keterampilan global, yakni komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan berpikir kritis melalui pelajaran.  Kita pun harus mengitegrasikan teknologi agar siswa kita mampu menyelesaikan masalah local, regional, nasional dan global. Cara ini membantu peserta didik untuk siap bersaing dan berkerja.

Mata pelajaran yang tersaji di kelas setiap hari diharapkan memberikan bekal yang lengkap dan paripurna untuk siswa bisa menjadi anggota masyarakat internasional yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Ketiga kunci di atas mengarahkan kepada lahirnya luaran sekolah yang literat, yakni individu yang mampu mencapai tujuannya dengan menggunakan kemammpuan dan potensinya. Hal ini dapat terjadi karena selama pembelajaran mereka dibimbing untuk menguasai kecakapan mengidentifikasi, menghitung, memahami, menginterpretasi, mengkreasi dan mengkomunikasikan. Ketika mereka tidak lagi di bawah bimbingan guru, mereka dapat berbaur, berpartisipasi dengan masyarakat sosial dan berkontribusi sesuai kemampuannya.


Kita berjuang untuk mengejar ketertinggalan karena perubahan yang terjadi di dunia industry di luar kelas, kita harus memperhitungkan pembelajaran irregular dan nonlinier untuk memberdayakan siswa kita.

Friday, September 8, 2017

Hari Ke-50 Dipaksa Tidak Mengajar

Pada saat mengajar kelas yang siswanya seolah enggan belajar, dan tanpa diduga beberapa siswa menghadap meminta sesekali tidak usah  belajar. Katanya Miss jangan terlalu rajin mengajar, jangan full ngajarnya,  kami merasa sangat lelah dengan full day dan tugas-tugas dari guru lain. Mereka menambahkan, katanya Kurikulum 2013 tidak ada pe er, tapi nyatanya banyak tugas, belum lagi ulangan. Miss ngasih tugas saja.

Mendengar hal itu, muncul dua percakapan yang saling bertolak belakang di dalam pikiran saya sebagai guru. Pertama, kalau siswanya sudah tidak mau belajar, tinggalkan saja. Memaksa belajar kepada siswa yang tidak mau belajar, hasilnya sudah bisa ditebak seperti apa. Dan kalau mau melihat ke sekeliling, siswa yang tiap pertemuan dibimbing dan diajari, dengan yang dibimbing sekali-kali, hasilnya sama saja, semuanya harus naik kelas.

Kedua, ketika siswa mengeluh malas dan tidak mau belajar,  inilah  tantangan. Tantangan untuk menunjukan kepada siswa bahwa belajar itu bermanfaat dan rugi kalau tidak belajar. Di dunia ini,  hampir semua orang berhasil, tidak lahir dari siswa yang mengajukan 'tolong hari ini ga usah belajar,  cukup tugas saja.' Tapi dari golongan banyak baca dan belajar dengan keras.  Dengan kata lain saya harus memaksakan pendapat saya bahwa banyak belajar itu baik kepada siswa yang tidak mau belajar. Jelas ini tantangan.

Tantangan menjadi lebih berat ketika mendengar keluhan guru lain yang mengajar kelas tersebut mengatakan hal-hal yang kurang membuat semangat untuk mengajar. Perang batin, masuk kelas atau ngasih tugas? Kalau masuk kelas, akan terbayang beratnya mengikis jejeran anak yang berpandangan 'belajar tidak belajar sama saja lulus.' Kalau memberi tugas, akan terbayang sorak sorai kegirangan seisi kelas karena guru bersedia mengikuti keinginan siswa.

Saya memilih mengajar. Langkah terasa berat, padahal sepatu yang dipakai masih sepatu ternyaman yang saya miliki.
Sambil berjalan menuju kelas, kesulitan telah membayangi. Kelas besar, karena peminatan kelasnya bisa saja di atas 40 orang sampai pernah 52 orang. Kesulitan kedua, tidak ada buku sumber. Mengajar tanpa buku sumber, ibarat mengajarkan naik sepeda tanpa membawa sepedanya. Hanya teori naik sepeda. Teori diberikan dalam 4 jam pelajaran? Dijamin siswanya tidur semua.

Saat tiba di kelas, saya menemukan para siswa terlihat memakai wajah lelah. Wajah yang seolah telah bekerja menguras tenaga tanpa tidur.  Pemandangan menjadi tambah kusut ketika siswa minta izin mencari kursi. Penyempurna bagi guru untuk meninggalkan kelas adalah udara kelas yang panas.

Tantangan setelah kemerdekaan ternyata sama beratnya dengan jaman sebelum kemerdekaan. Jika dulu setiap orang berjuang keras mencari perlindungan, mencari  makan, dan memerdekakan negara dari penjajah. Kini, setiap orang harus berjuang mencari kekuatan dalam bekerja  dan membawa generasi muda ke alam merdeka. Merdeka dalam arti tidak tergantung pada orang lain dan tidak menjadi beban orang  lain.

I should start.
Materi ajar yang harus diberikan rasanya sulit untuk penyajiannya. Konjungsi. Hanya itu. Konjungsi. Saya pikir para siswa telah sangat hafal dengan konjungsi.  Saya mikir lagi. Bagaimana materi tidak menarik, diberikan kepada siswa kelompok malas belajar. Ilmu pedagogis mana yang harus dipakai?

Saya teringat bahwa siswa yang sedang dihadapi  adalah generasi pengguna hape android. Yang  terpikirkan adalah membuat para siswa sibuk dengan hapenya dan lupa bahwa sedang belajar konjungsi.

Jadilah metode impromptu. Para siswa diminta menulis judul Conjunction Hunting, berburu konjungsi. Saya katakan bahwa berburu konjungsi boleh menggunakan hape atau non hape. Berburu konjungsi dan contoh-contohnya  sebanyak yang mereka dapat temukan dalam waktu 45 menit. Saya sendiri mencontohkan konjungsi 'sebelum,  sesudah, dan ketika. '

Selanjutnya 45 menit berikutnya,  membuat hasil buruan menjadi sesuatu yang bisa dinimkati. Pastikan konjungsi menjadi tokoh utamanya dan ada di dalam produk. Produk yang dapat  dipilih: recount, short story, song, power point, video.

Kisah diri sendiri  dan cerita pendek, keduanya karangan baru yang harua dibuat dulu draftnya, kemudian kumpulkan dalam bentuk mp.3
Song/lagu mengganti lirik  yang sudah ada dengan lirik baru berkonjungsi, kirim hasilnya dalam bentuk mp.3
Power point  bisa berisi cerita, kirim dalam bentuk ppt.
Dan video, berisi cerita fiksi atau non fiksi, rekam, kirim hasilnya dalam bentuk mp.4
Gunakan hape untuk mengerjakannya.

Para siswa terlihat senang karena mendengar kata hape boleh digunakan. Saya anggap itu sebagai awal yang baik. Saya kira waktu 4 jam pelajaran bukan waktu sebentar, cukup untuk menghasilkan produk. Saya katakan kepada siswa agar mengirim google share link untuk hasil kerjanya. Saya mengirimkan alamat link untuk WA. Tujuannya agar tidak tercampur antara WA pribadi dengan tugas dan hapenya tidak penuh dengan mp.4 dan mp.3 yang dikirm  siswa.

Saya ajarkan terlebih dahulu cara mengunggah file mp.3 atau mp.4 ke google drive dan mendapatkan alamat share link-nya. Saya katakan, saya akan menolak dan menghapus tugas yang langsung masuk ke WA link tidak dalam bentuk share link.

Para siswa mulai sibuk hunting konjungsi. Sibuk ngobrol,  sibuk mencari contoh, sibuk pindah-pindah duduk. Saya biarkan, saya anggap mereka sedang belajar. 45 menit  berlalu,  satu dua siswa menunjukkan draft,  tiga empat lainnya masih terlihat bingung dengan langkah selanjutnya mau membuat produk apa.
Seorang siswa minta izin meninggalkan kelas, dengan alasan hendak merekam suaranya untuk menyampaikan kisah singkat hidupnya menggunakan konjungsi. Saya izinkan, dengan  catatan pukul 15.30 telah kembali ke kelas.
Lima orang,  enam orang,  minta izin mau merekam temannya, mau membuat video. Perlahan namun pasti, kelas hanya tinggal dihuni belasan siswa. Saya mengingatkan kepada yang masih berada di dalam kelas bahwa mereka boleh meninggalkan kelas dan pukul 15.30 harus kembali ke kelas.

Tidak semua siswa meninggalkan kelas. Saya tidak mengganggu aktivitas mereka. Saya sibuk menulis jurnal.

Sesuai perjanjian, satu persatu siswa kembali ke kelas, satu persatu link masuk ke grup WA. Haro ini, saya mengajar kelas yang tidak mau belajar.  Dan saya tidak  mengajar, sesuai dengan keinginan mereka. Saya hanya memberikan prosedur yang harus dilakukan. 
Bagi saya, pengalaman mengajar siswa yang tidak mau belajar malah menyenangkan. 

Sunday, September 3, 2017

Hari Ke-19 Bojongherang, fenomena pengajian bernilai ekonomis tinggi

Tidak terasa, saya telah tiba pada hari Kamis di minggu pertama Agustus. Berbicara Kamis, ada hal khas yang hanya di Cianjur.

Kamis menjadi hari istimewa bagi sebagian masyarakat Cianjur.  Pada hari Kamis ada  pengajian,  atau belajar mengkaji Al-Qu'ran. Terdapat satu pengajian yang sangat populer sehingga menghadirkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut, selain dari manfaat utama yaitu  meningkatnya pengetahuan keagamaan. Pengajian tersebut berada di Bojongherang,  maka terkenal dengan sebutan Pengajian Bojongherang. Pengajian tersebut dipimpin seorang kyai besar dengan penyimak dalam satu kali datang hampir seribu.

Fenomena pengajian yang mendatangkan keuntungan secara ekonomi menjadi keunikan tersendiri untuk kota Cianjur. Banyaknya pengunjung ke pengajian, mengundang hadirnya pedagang tidak tetap, atau pedagang dadakan. Mereka berjualan berjubel memenuhi jalan raya Bojongherang. Kegiatan pengajian dimulai pada pukul 7, diawali dengan hadiah. Acara selanjutnya nadoman dan membahas kajian tentang isi Al-Qu'ran. Acara berakhir sekitar pukul 11 siang.

Acara pengajian yang dimulai pukul 7 dengan hadiah. Hadiah ditujukan kepada yang telah meninggal baik dari kaum cendekia alim ulama ataupun dari jamaah pengajian yang telah berpulang. Pada pengajian ini, para jamaah memiliki kartu anggota. Andai suatu saat ada jamaah meninggal, dia dihadiahi doa pada awal kegiatan pengajian. Biasanya jamaah membawa air pada botol. Mereka menyimpan botol dekat podium tempat pimpinan pembawa doa berharap mendapatkan berkah dari do'a yang dipanjatkan ribuan jamaah.
Selesai hadiah, acara dilanjutkan dengan nadoman. Nadoman adalah membacakan kisah Nabi yang dilantunkan dalam nada naik turun seolah bernyanyi. Nadoman disampaikan dalam bahasa Arab yang mungkin artinya telah dikuasai oleh para jamaah. Namun bagi mereka yang belum tahu tentang isi nadoman, barangkali dia hanya mendengar nyanyian saja.

Acara pokok adalah mempelajari isi Al-Qu'ran yabg dipimpin Kyai sepuh. Semua jamaah menyimak, ada yang duduk di dalam ruangan mesjid, bagi yang tidak mendapatkan tempat duduk diatas tikar atau koran di luar mesjid sampai ke jalan-jalan.

Pengajian Bojongherang dapat menjadi wisata unik bernuansa agamis. Secara wisata, disepanjang jalan raya yang mendadak menjadi pasar, dijual segala hal yang mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain. Makanan tradisional dari luar kota seperti Sukabumi dan Tasik, bisa ditemukan di pasar dadakan ini. Menurut seorang penyuka Opak ketan,  dia menyebutkan bahwa Opak ketan Sukabumi kualitasnya di bawah Opak Ketan Tasik. Opakketan dari Tasik terasa lebih berisi, dia menggunakan kata 'hampos' untuk menggambarkan opak ketan yang kurang berisi.

Seusai pengajian, pengunjung dapat menikmati jajanan tradisional yang mungkin sudah tidak mudah ditemukan.  Bermacam makanan tradisional yang dapat kembali dinikmati diantaranya: leupeut kacang,  kupat, rangginang, dodongkal, talem, apem, mentok, putri noong, urab jagong, kulit, noga, geco, maranggi. Bagi mereka yang membutuhkan peralatan rumah tangga mulai dari cocolek  (sodet) sampai coét (ulekan) semua ada. Atau, yang menyukai fashion,  berjejer baju-baju muslimah dilapak-lapak yang ditutup terpal plastik yang didirikan pada badan jalan.


Kekhasan pengajian Kamis Bojongherang Cianjur memberikannya priviledge pada setiap hari Kamis jalan menuju tempat pengajian ditutup dan berubah jadi pasar.  Fenomena ini hanya milik pengajian Bojongherang saja.
Magnit kesohoran pengajian  Bojongherang mendatangkan banyak keuntungan bagi berbagai kalangan.  Untuk pecinta belajar agama, mereka akan menemukan praktik belajar agama dengan metode ceramah. Bagi mereka yang menyukai kuliner,  dapat menemukan makanan-makanan unik. Bagi kaum opportunis mereka datang, dan menjadi copet. Merekalah yang mengotori kesakralan pengajian karena nafsu ingin kerja enteng tapi hasilnya banyak. 

Pengajian Bojongherang perlu dilestarikan untuk mengenalkan sistem pengajian jenis 'bandung kuping' atau menyimak. 

Saturday, September 2, 2017

Hari Ke-41 Citumang

Kunjungan ke Pangandaran bagi saya merupakan pemberian  kesempatan kepada tubuh untuk kembali bermain di sungai sebagaimana dialami pada masa kanak-kanak (catatan: kanak-kanak bagi mereka yang lahir tahun 60-70an). Sungai  Citumang  menjadi salah satu sungai yang mengajak kita kembali ke masa kecil dimana kita bisa bermain air sepuasnya,  saling percaya dengan teman,  dan sekaligus mendapatkan petualangan.
Citumang adalah salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Pangandaran. Dari pusat kota Pangandaran memerlukan sekitar setengah jam. Perjalanan dapat menggunakan mobil sewaan dengan harga yang bisa negosiasi. Tempat kembali mengenang masa kanak-kanak berupa aliran sungai yang masih alami, dengan sedikit polesan untuk kepentingan kenyamanan.
Meninggalkan kota Pangandaran pada pukul 6.30, kita akan dibawa ke jalan kecil melewati pesawahan dan pemandangan kehidupan penduduk lokal. Sepanjang perjalananBagi  tidak banyak berpapasan dengan mobil lainnya kecuali yang bertujuan sama. Sesekali layang-layang terlihat terbang di atas pesawahan yang baru selesai dipanen.
Kita akan tiba di kamp tempat bertemunya calon peserta body rafting dengan para pemandu. Pemandu menjelaskan hal-hal dasar terkait pengamanan, misalnya cincin atau perhiasan sebaiknya dilepas untuk menghindari hilang, sendal dan segala macam alas kaki dibuka, dan segala barang termasuk hape sebaiknya tidak dibawa. 
Setelah mengenakan pelampung,  semua peserta body rafting berjalan sekitar 10 menit menuju ke badan sungai. Sepanjang jalan menuju sungai, mata kita akan disuguhi bentangan dinding batu cadas, akar-akar pohon, dan tanaman khas dataran  rendah dengan humiditas tinggi. Mendekati pinggir sungai, kita akan diajak berhenti untuk menikmati jamuan istimewa  yang dilakukan ikan. Bingung?
Terdapat tiga kolam buatan yang diisi ikan Nilem. Pada saat kaki kita dimasukkan ke dalam kolam, ikan-ikan kecil segera merubung kaki dan mereka memakan kotoran yang menempel di kaki misalnya kulit yang akan berganti. Jangan kaget, pada saat pertama ikan merubung kaki dan seolah melakukan peeling atau pembersihan,  rasanya agak sakit dan geli. Namun, jika dicoba dinikmati dan mencoba berdamai dengan ikan,  sensasi peeling oleh ikan menawarkan bagaimana manusia dan hewan saling ambil manfaat tanpa saling melukai.
Setelah sekitar lima menit menikmati dilayani ikan, kita diajak ke pingggir sungai. Dan bersiaplah untuk banyak mengandalkan rasa percaya diri. Bagi mereka yang tidak dapat berenang,  tidak jadi masalah karena tertolong oleh pelampung dan sepertinya tidak harus berenang karena body rafting (basa Sunda: papalidan) membiarkan tubuh kita terbawa air tanpa harus melawan arus sungai.
Spot pertama,  segera setelah tubuh masuk ke dalam aliran sungai, pemandu mengajak menguji nyali dengan loncat dari ketinggian 7 meter ke kedalaman 9 meter air sungai.  Untuk loncat bebas, kita harus naik akar-akaran dan setelah tiba di atas, barulah loncat. Loncat disarankan dengan berdiri tegak, kaki diusahakan  yang pertama jatuh agar tidak sakit. 
Setelah menikmati loncat dan adrenalin kembali  kumpul, kita diajak untuk masuk ke dalam gua yang  panjangnya sekitar 45 meter. Bagi yang tidak bisa berenang cara berenang melawan arus ialah dengan tidur telentang, saling pegang dan satu orang di depan menariknya. Air di dalam gua terasa lebih dingin. Pada bagian atas gua tidak terdapat stalaknit ataupun bekas-bekas cucuran air  yang berumur ratusan tahun. Hanya ada bagian kosong berongga dan buntu. Kemudian kita kembali melanjutkan petualangan melewati spot loncat, dan caranya, papalidan, atau biarkan tubuh kita terbawa arus. Jangan berusaha berdiri karena ada bagian sungai yang dalamnya sampai 12 meter.
Sekitar 10 meter dari spot loncat, kita akan diminta loncat lagi, tapi ketinggiannya hanya sekitar 2 meter.  Dari situ, kita papalidan lagi dan nanti akan diajak bergelantungan pada tali. Mirip Tarsan, bergelantungan pada tali dan menjatuhkan diri  ke sungai. Pada saat bergelantungan pada tali sebaiknya melalukan peregangan pada pergelangan tangan. Beban badan semuanya akan bertumpu pada tangan, jika ototnya kaget, bisa terkilir.
Segera setelah badan jatuh ke sungai, kita kembali menikmati jamahan air sungai yang dingin. Batu-batu yang licin sangat menantang untuk dilewati. Ujung-ujung batu  yang tajam memaksa konsentrasi tak putus  agar tidak terpeleset dan akhirnya terluka.
Batu-batu licin telah terlewati, kinj perjalanan sungai menuju titik akhir dan nanti naik ke darat. Setiap orang diminta mengikhlaskan dirinya mengapung di atas air, singkirkan rasa takut. Rasa takut mengakibatkan detak jantung tidak stabil dan badan tidak mengambang sempurna. Saya mencoba menyerahkan badan pada air. Sambil telentang menantang langit, dedaunan dan batang-batang kayu yang seolah sayap melebar ke atas sungai menjadi pemandangan yang mungkin hanya bisa dinikmati peserta body rafting yang membiarkan dirinya hanyut terbawa air. Telinga dicoba mendengar suara alam, pelan namun jelas terdengar ada suara burung, suara desir angin melewati daun, dan suara air. Kombinasi alam nan indah.
Saya membiarkan badan terbawa arus agak lama, kemudian mencoba menikmati badan yang seolah  tanpa bobot dengan berdiri dalam air. Saya bisa melihat hijaunya pemandangan  di sisi kiri kanan sungai. Saya berdoa semoga pemandangan ini tetap seperti ini sampai 100, 200 tahun yang akan datang. Saya berdoa agar tidak terpikir oleh siapapun untuk membeli tanah di sepanjang sungai dan dijadikan tempat tinggal atau tempat wisata yang sudah pasti akan mengubah wajah sungai. Jika jadi tempat tinggal,  paling tidak sungai akan tercemar air cuci sabun, dan ikan Nilem mengalami kiamat. Jika jadi tempat wisata, bukan tidak  mungkin dibuat tanggul, belokan buatan, atau danau buatan yang dicanangkan untuk perahu kecil bersolar. Jika yang kedua terjadi, bukan hanya ikan Nilem yang kiamat dan mati, tapi burung,  daun, air, bahkan orang-orang akan berubah.
Sekitar empat jam sejak mulai turun sampai kembali naik ke darat,  pikiran terasa dibarukan. Pikiran dipenuhi rasa bahagia karena sesaat telah lepas dari  segala urusan profesi dan tanggung jawab. Menyerahkan diri pada alam, berbaur  dengan irama, kekuatan,  dan keindahannya diperlukan tubuh. Oleh karenanya, izinkan tubuh kita kembali ke kegiatan masa kanak-kanak. Kegiatan yang tidak ada persaingan, tidak ada strata sosial, tidak ada asal usul, hanya bermain.

Friday, September 1, 2017

Hari Ke-44 Lebaran ldul Qurban

Sejak subuh takbir mereda. Panas badan suami dan anakku pun perlahan mereda. Menemani orang sakit dan melayaninya adalah bentuk lain dari Qurban. Bagi mereka yang menganggap bahwa qurban sebatas menyembelih hewan mengikuti contoh pengorbanan Nabi Ibrahim, tidak salah. Qurban dalam arti bahasa adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara memberikan yang terbaik. Ismail adalah putra terbaik, dan Nabi Ibrahim menujukkan keikhlasan berkorban dan ketaatan pada Tuhan dengan bersedia menyembelih anaknya yang sangat dicintainya.

Pada masa kini, tentu untuk berqurban tidak seperti Nabi Ibrahim. Kita diminta berqurban hewan  kalau mampu. Ketika memaksakan diri berqurban dengan uang pinjaman, sebagian  mengatakan hal ini  tidak sah.

Qurban pada masa kini maknanya sama, namun caranya bisa berbeda. Keikhlasan adalah makna yang dekat dengan Qurban.
Pada Alquran ada perintah salat, akimus salat,  puasa, qutiba alaikummus siam, zakat, atuz zakat, tetapi ketika mmerintahkan haji,  walilahi alan nassi hijjul baiti lillah. Lillah, karena Allah atau ikhlas  hanya kepada  Allah. Korban atau menyembelih, sesungguhnya tidak sampai kepada  Allah dalam bentuk darah mengalir dari hewan yang disembelih.  Namun, yang sampai adalah apa yang ada dalam dada, dada orang yang berkorban, atau keikhlasannya memberikan yang dicintainya sehingga bisa berkorban. Misalnya uang, sesuatu yang dicintainya,  dibelikan hewan kurban, dan itulah  korban yang tulus.

Tulus dalam berkorban bermula dari nabi Ibrahim. Mula pertama pada zaman Nabi Adam ketika ada dua putra  Adam yang memberikan persembahan kepada Allah. Yang tulus diterima Allah. Pada Nabi Ibrahim pengorbanan yang diuji ketulusannya.

Apakah kita perlu berkorban? Perlu. Sembelih sikap-sikap buruk kita. Sikap hewan kita hsrus dibuang. Sebagai makhluk sosial,  kita harus berkorban agar kehidupan berjalan lancar. Pengorbanan itulah yang melahirkan ahlaq  makin tinggi pengorbanan makin tinggi ahlaqnya.

Manusia jangan mengorbankan manusia. Pada saat Nabi Ibrahim memutuskan siap menyembelih Ismail, Allah tukar dengan domba. Itu menandakan Allah mencintai manusia, jangan sampai ada manusia menyembelih  manusia.

Hidup harus ada pengorbanan.  Pengorbanan yang sempurna, kecuali kalau kita mati.