Wednesday, November 29, 2017

Aku, aduh mati dong!!!

Terdengar bisik-bisik anak-anak di bawah tangga diantara semilir angin dingin akhir November. Mereka membahas trending topik yang benar-benar live dalam hidup mereka: besok hari ke-3 ujian apa. Saya kaget dengan topik yang diangkat tinggi melebihi hebohnya pedas Seblak Dudut atau sedapnya Mi Cius Teh Esih. Bukankah jadwal ada pada kartu ujian, kenapa pula nanya besok ujian apa. Rasanya tidak pernah terdengar kabar UAS berganti jadwal tanpa sebab. Ini kan UAS bukan ujian dadakan.

"Besok tuh Kimia, ada esay ga ya?" Terdengar suara penuh nada cemas. Mungkin kalau Kimia ada esayna setara dengan kiamat kecil. (Dianggap kecil kiamatnya karena kimia ngurus unsur dan elemen yang emang kecil-kecil).

"Rahasia atuh itu mah, kayanya soal PG 50. Itu yang sudah pasti," seseorang menjawab.

"50? Masa sih? Kok 50 sih, apa ga kebanyakan?" Suara lain menimpali seperti risih dengan angka 50.

Senyap, dingin angin makin kuat menggelitiki kulit-kulit yang hanya dibungkus seragam tipis. Gambar burung gagah pada baju batik mereka tak mampu mengurangi kejamnya angin dingin November. Angin membawa beban UAS pada mata pelajaran kedua: Bahasa Sunda.

"Ga apa-apa esay Kimia mah, coba kalau esay bahasa Sunda, help, :-( :-(  ," suara yang tadi cemas kini menjadi tremor, mirip goyangan Gunung Agung.

"Ih... itu ga seberapa kali, coba kalau esayna pake aksara Sunda, huruf-hurufnya saja sudah begitu susah diingat yang gini-gini kan?" Kulihat tangannya seolah menulis di awan, gerakannya rumit, badannya ikut doyong-doyong, mulutnya kompak ikut membuat bentuk kadang bulat, kadang manyun. Saya menikmati pemandangan akrobat huruf pantomim sambil ikut memikirkan kira-kira suku kata apa yang sedang diperagakannya (~_~)   《•..•》

"Belum lagi kalau huruf a, i, e, o, eu, pamaeh," siswa yang menyandar ke dinding menambah informasi yang membuat temannya makin bergidik ngeri membayangkan soal ujiannya seperti apa nanti. 

"Ini, benar-benar p@€h," kata teman-temannya serempak.

"Apa? P@€h ¿¿¿ " anak yang menyender ke dinding sepertinya tidak konek.

"M@t!!! Tau. Paeh = mati."

"Kok bisa mati sih, emang sesulit itu esay Bahasa Sunda. Kamu kan lahir di Sunda, ngomong Sunda, kentut juga Sunda, kenapa ujian aksara Sunda bisa mati?" Siswa nyender semakin ga nyambung.

Si penulis awan terlihat kesal dan berkata,
"Kamu mah ah lemot! Pamaeh artinya kan membuat mati. Mau tak mau kita harus mematikan huruf-huruf vokal di setiap kata kalau mau menulis sesuai kebutuhan. Matilah kita. Bukan pamaehnya yang bikin kita mati, tapi suku-suku katanya itu yang kita ga hafal, boro-boro pakai pamaeh, yang huruf hidupnya saja kita ga bisa."


Tuesday, November 28, 2017

Aku cinta kamu, Pengawas

Saya lihat Ayu pulang terburu-buru. Mungkin karena dia takut hujan yang sejak tadi pagi ngintip kapan pas buat mengguyur anak SMA yang lagi UAS hari kedua; mungkin karena dia baru sadar bahwa bekal dari rumah masih di bawah jok motornya; atau mungkin karena kemungkinan yang lain (what?).

Bagiku itu tidak biasa. Ayu biasanya kalem, penuh perhitungan (biasaaaa anak SMA mah semuanya atas nama jaim), gerak geriknya mantap. Kalau saja Ayu terlihat tergesa menyeret sepatu, berarti pertanda sesuatu. Daripada menyiksa diri dengan berbagai pertanyaan tak berkesudahan,  saya dekati Ayu dan mencoba membuka tabir gesa yang merundung harinya.

"Kayanya terburu-buru yah? What happened? Why?" Saya menghujani Ayu dengan pertanyaan (kasihan hujan yang asli  dia masih ngintip-ngintip peluang).

"Hari ini, bad day Ms," Ayu menjawab dingin, sedingin butiran hujan yang masih menggelayut di atas langit yang mulai kesal karena angin iseng menggeser posisinya.

"Hari naas? Ini mah hari Selasa Yu," saya mencoba melunturkan kesalnya dengan lelucon yang mungkin wasted bagi anak SMA.

"Ah Ms mah," Ayu mulai memperlihatkan pesona indah senyumnya dan dia mengeksplanasikan bad day-nya.
"Jam ke satu, Ayu jadi korban. Anak-anak kan udah tahu siapa pengawasnya. Ayu bertugas mulia: kalau pengawas itu ngajak ngobrol, Ayu harus siap menimpali obrolannya, kata temen-temen kalau mungkin, memperpanjang ngobrol, agar mereka ada waktu buat menikmati rumitnya soal Matematika tanpa diajak ngobrol sama pengawas itu. Dia mah suka caper ke anak cewe Ms, dan sialnya, selalu Ayu yang dipilihnya . Dia ngajak ngobrol, tahu maksudnya apa. Ayu kan pengen ngerjain dalam tenang juga Ms. Kalau Ayu jadi tumbal ngobrol demi anak lain, bagaimana nasib nilai UAS Ayu."

Saya bisa membayangkan gerahnya Ayu pada saat diajak ngobrol. Mendua pikiran, pastilah gerah. Pikiran kesatu: memikirkan jawaban. Pikiran kedua: bagaimana lepas dari cengkraman obrolan salah waktu. Belum lagi membayangkan gerahnya Ayu (yang memang Ayu, jadi walaupun gerah 100 derajat pun, pasti tetap Ayu, atau malah lebih Ayu (haduh), terdengar suara geram Ayu.

"Pas Ayu tanya, apa tuan Pengawas tahu jawaban soal nomor ini? Jawabnya aduh sudah lupa lagi, kan SMAnya sudah lama ditinggalkan. Tapi kalau mau tahu jawaban, tuh ada yang sudah selesai jawab semua. Terus dia menuju temen yang jawabannya sudah penuh, dan balik lagi ke Ayu. Terus nawarin jawaban. Kok?"

Saya melanjutkan membayangkan gerahnya Ayu menjadi gerah campur gatal-gatal. Tapi karena Ayu memang Ayu, garuk-garuknya pasti eksotik (Hus!).

"Pada jam kedua. Ayu tuh batuk. Batuknya sudah ditahan Ms. Maksudnya biar ga bikin kaget soal, atau ngagetin pengawas. Tapi, namanya juga batuk, alami saja, memecah sunyi UAS menjadi butiran-butiran ngikik dan ngakak temen-temen seruangan." Ayu melafalkan bad day sesi berikutnya.

"Pengawasnya emang marah?" Tanyaku.
"Dia bilang sstt, sstt, ini lagi ujian. Ayu jadi tersiksa, gelitik batuk sudah di tenggorokan, tapi sstt-sstt itu sok kuasa, bikin batuk serasa perbuatan dosa besar," Ayu terlihat mengerutkan alisnya. Mungkin dia menghubungkan batuk dengan dosa. Saya memperhatikan kerut alisnya, Ayu terlihat lebih cute (loh?).

"Barusan, jam terakhir," suara Ayu menyadarkan saya.

"Mana soalnya sulit banget, pengawasnya liat-liat jendela terus. Kan jadi parno, ada apa di balik jendela sana. Jadi mikirin kenapa tuan pengawas seolah ingin menemukan sesuatu di balik kaca. Setelah itu, dia ngobrol sama pengawas satunya lagi. Mana ngomongnya kenceng, aduh bikin konsen yang susah diperoleh tuh makin susah mampir. Hampir sejam ngobrol. Udah bosan mungkin, terus dia mondar mandir. Kadang Ayu dengar suara sepatunya berhenti di satu tempat,  terus terdengar mondar lagi ke mandir yang lain. Rasanya kaya ada malakal maut, bagaimana kalau tiba-tiba suara sepatunya berhenti deket Ayu," Ayu menuntaskan penjelasannya.

"Wah, benar-benar hari yang menarik," saya menyimpulkan ala guru bijaksana dengan memilih kata-kata yang semoga mengurangi kerut alis Ayu dan menutup percakapan dengan pertanyaan basi " Ayu mau pulang? Hati-hati ya."

"Ya Ms, tapi Ms boleh nanya ga?" Katanya ragu.
"Nanya apa?"
"Apa mungkin sesekali kita UAS tanpa pake pengawas biar Ayu ga bad day?"

Saya berdiri mematung,  memikirkan jawaban ala guru bijaksana sesi 2 yang bisa menenangkan Ayu.
(Haduh, gimana jawabnya ya? UAS kan selalu ada pengawasnya)

Kayanya kelamaan mikir, Ayu menjawab pertanyaanya sendiri ,"Ga  bisa ya Ms?"

Hari ini berbalik jadi bad day-nya Ayu pindah ke saya.

Monday, November 27, 2017

Aku duduk sama siapa?

Besok UAS, anak-anak sibuk cari bocoran posisi duduk, bocoran pengawas, dan bocoran-bocoran lainnya. Semua yang bocor-bocor dipandang menjadi sumber penguat jiwa ketika UAS dilaksanakan.

Apa benar bocoran posisi duduk penting?
"Ya pentinglah Ms. Ada di barisan berapa, deret berapa, menentukan prestasi," kilah lden.
"Kok bisa begitu?" Saya malah bingung. Setahuku ketika zaman SMA  dulu, duduk dimanapun pas UAS, tidak berpengaruh.

"Kan dengan tahu nomor posisi duduk, kita tahu dimana kita akan mencurahkan segala upaya selama seminggu. Misalnya nih,  yang nomor 40, enak karena posisinya ada di pojok kanan. Sementara yang nomor 35, ga banget.  Dia persis diujung hidung pengawas. Ms tahu bagaimana rasanya duduk depan pengawas? Keringetan Ms, susah gerak, dunia sempit." Iden mencoba memahamkan saya.

Saya tidak sependapat dengan lden, dan berdalih, "Enakan di dekat guru Den. Mata tajam dan ngilu dari pengawas bisanya mendarat di belakang. Yang depan malah aman."

"Depan, belakang, sama saja Ms. Sapuan tatap curiga pengawas tuh disebar merata, adil, bak sinar mentari menguapkan semua yang telah dihafal bikin kita bergidik, apalagi kalau dia ujug-ujug nyamperin. Suram dan kiamat kita," lden seperti menjelaskan apa yang pernah dialaminya sendiri. Saya mencoba membayangkan kengerian mencekam ala lden yang seumur ujian berlangsung belum pernah  saya alami.

"Tapi Ms," lden melanjutkan.
"Sebenarnya mah yang dicari teh, duduk sama siapa. Sekarang kan kelas 12. Kalau  sebangku dengan yang cantik dari kelas 10. Lumayan kan Ms, bisa menrintis pacaran singkat sambil nunggu UN," penjelasan lden membuat jantung saya darahnya menekan pompanya sesaat.

"Sudah ketahuan belum, sekarang lden duduk sama siapa? Tanyaku penasaran.

"Alhamdulilah,  sama cewe, kayanya mah level pualam, kinclong Ms, namanya Raza dari X MIA 4," lden semangat.

"Sip, selamat ujian Den. Sukses ya!" Saya mendoakan dengan seluruh keikhlasan yang ada. Dalam hati, saya cengengesan, ingin loncat dan teriak huh sambil ketawa yang panjang. Setahu saya, Raza X MIA 4 mah, laki-laki!

Sunday, November 26, 2017

Aam Amalia

Panalungtikan
Observasi

Untuk membuat cerita (pendek) diperlukan bekal.
Bekal yang dapat diceritakan diperoleh dari penelitian/kajian.
Kajian pertama, melalui bacaan. Misalnya penulis sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di SMA Wodvile Australia. Tapi dia ingin mengisahkan tokohnya pindah sekolah ke SMA wodvile karena orangtuanya menjadi diplomat. Maka, si penulis harus melakukan kajian melalui bacaan. Dia mengumpulkan informasi sebanyak2nya tentang SMA tersebut dan kemudian 'dimasukkan' ke dalam cerita.

Kajian kedua, melalui observasi. Misalnya penulis ingin menyindir sifat manusia yang terlihat lemah tapi sesungguhnya sangat jahat. Dia melakukan obsservasi Sero. Sero memakan semua ikan dikolam tanpa sisa.

Jangan memindahkan hasil kajian seperti aslinya karena akan memberikan kesan tidak koheren.  Caranya, pahami dulu bacaan atau observasi tadi,  kristalkan dalam pikiran dan baru keluarkan dalam tulisan.

Misalnya penulis membaca tentang anggrek. Pada buku tertulis definisi anggrek. Masukan ke karakter. Misalnya tokoh bertemu pedagang anggrek,  pedagang menjelaskan ciri dan cara hidup anggrek.
Penulis tidak memiliki bahan yang bisa diceritakan  jika tidak punya bahan. Untuk itu membaca dan observasi menjadi keharusan  bagi seorang penulis agar memiliki bahan untuk ditulis. 

26 nov 2017 AK TV

Saturday, November 25, 2017

Telepon

Menjelang magrib, senyap. Awan-awan emas -hasil permainan sinar mentari sore- yang selalu menghiasi senja kini terlihat pucat. Saya menghabiskan sisa hari libur ini dengan mancabuti rumput yang tumbuh tak terbendung seiring turunnya hujan. Halaman rumah menjadi hijau dipenuhi rumput segala ukuran tak beraturan, terlihat sadis berkontradiksi dengan tanah yang seharusnya bersih tanpa gulma.

Angin sore berhembus kencang, menggigilkan seng atap dapur yang lepas pakunya. Gigilannya  terdengar sebagai bunyi berisik yang mengganggu kesyahduan senja. Kesunyian pecah oleh suara adzan magrib yang menghentikan upaya pembersihan rumput. Matahari semakin jauh menyusup ke ufuk barat, mengingatkan waktu  ikhtiar siangku telah habis. Saya pun masuk rumah dan bersiap berjumpa Tuhan pada sajadahku. Saya pun tenggelam dalam khalwat vertikal dengan Sang Khalik.

Waktu menunjukkan pukul 21.00 ketika saya mendengar dering hape. Kulihat, nama suami muncul. Saya abaikan karena tahu dia sedang tidur di lantai atas. Saya pikir, hapenya tertindih dan menelepon tanpa sengaja. Saya kembali pada kegiatanku.

Kurang dari lima menit,  hape berdering lagi, kulihat, nomor yang sama, nama yang sama. Sedikit agak kesal tumbuh merambat kalbu.

"Kebiasaan! Tidur bawa hape, alesan mendengarkan wayang untuk pengantar tidur. Kalau dia tidur,  tak sadar hape kepencet, ketindih, jadi seolah menelepon. Mending yang kepencet nomor istrinya,  lha kalau yang kepencet orang lain,  bisa dianggap mempermainkan orang." Rambatan kesal berubah barisan kata-kata tak terucap.

Saya klik 'decline' warna merah pertanda telepon ditolak. Saya kembali duduk. Belum lagi duduk dengan sempurna, hape berdering lagi.
Saya biarkan. Saya kemudian minta Excel, anakku untuk mengecek apakah ayahnya benar-benar menelepon atau hanya main-main. Saya menganggap lelucon suami saya kali ini amat buruk.

Excel turun dan mengatakan bahwa ayahnya tidur. Kami berdua berkesimpulan, hapenya kepencet. Karena kesal, saya telepon balik. Tak ada sahutan. Akhirnya saya matikan sendiri.

Belum lagi kami berdua memastikan kesimpulan kami benar. Telepon berdering lagi. Saya merasa berhak marah. Saya naik ke lantai atas untuk memberitahukan bahwa sebagai istri saya berhak memiliki waktuku sendiri.

Setibanya di kamar, saya dapati suami saya sedang tidur.  Saya cari hapenya. Raba-raba dalam gelap, saya temukan hapenya ada di dekat kepalanya. Saya ambil, niatnya untuk menghentikan lelucon kering nan mengesalkan.
Belum lagi hapenya dipegang, tetiba hapeku berbunyi lagi.

Notifikasi muncul.
"Reminder, 25 December, Elea's birthday."

Hari ini 25 November.
Anak pertamaku berulang tahun 25 Desember.
Usianya kini 20 tahun.
Saya akui, tak pernah ulang tahunnya dirayakan dengan kue, lilin, ataupun balon. Hanya dengan  doa-doa yang dipanjatkan pada haribaan Tuhan. 

Kami tentu saja tak pernah akan melupakan ulang tahun Elea. Sekalipun kami tak bersua. Kami berkomunikasi dan kami menemuinya setiap saat pada barisan-barisan doa di setiap habis shalat. Komunukasimu malam ini, tentu saja menjadi kejut yang mengharukan. Doa kami masih sama, "Semoga kamu bahagia disisiNYA."

Refleksi hari guru

Hari ini, guru seIndonesia merayakan hari ulang tahun guru. Bermacam kegiatan diselenggarakan untuk mengapresiasi peran guru dalam mendukung terwujudnya tujuan nasional pendidikan.
Hari guru merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali bagaimana peran guru dalam transformasi masyarakat.

Pada saat saya kecil dulu (tahun 1970an),  satu-satunya pekerjaan yang dipandang stabil adalah guru. Stabil secara ekonomi karena gajinya mengalir penuh berkah. Stabil secara sosial karena masyarakat memandang guru adalah orang yang serba bisa, serba tahu. Urusan ngukur tanah yang ribet, hanya guru yang bisa melakukannya. Urusan naksir (memperkirakan) kebutuhan berapa kubik kayu untuk membuat rumah, hanya guru dan Bas (tukang membuat rumah dari kayu) yang bisa diandalkan. Urusan membagi air selokan, guru yang menentukan kilir (giliran) pengaliran air ke sawah. Yang tak kalah penting,  urusan rumah tangga, minta pendapat dan wejangan, pada guru.

Kini, saya berdiri pada barisan upacara peringatan hari guru, sebagai seorang guru. Sambil berdiri saya merenung. Betapa besar peran guru bagi penentuan pernasiban saya. Pada saat SD,  (sesekali) pukulan jidar (penggaris kayu) dan Tutunjuk (penunjuk dari bambu untuk membantu membaca pada papan tulis) mengantarkan saya pada melek huruf, bisa menulis nama sendiri,  berani menyebutkan cita-cita. Pada saat itu, dengan percaya diri saya setengah berteriak, "cita-citaku: jadi Duta Besar agar bisa tahu luar negeri dan bertemu George Bush." (--> Saya terpengaruh majalah Si Kuncung dan leaflet dari radio Amerika yang dibagikan gratis)

Usai SD, saya memilih melanjutkan sekolah ketimbang menikah. Pun setelah SMA saya memutuskan kuliah ketimbang membantu orang tua di sawah. Belasan tahun, saya dibentuk, dibina dibimbing puluhan guru. Guru yang mengajari saya, juga menjadi guru bagi teman-teman saya sekelas dan seangkatan. Guru saya (yang juga guru teman-teman saya) mengubah saya dari seorang anak kampung menjadi warga masyarakat terdidik yang diakui sebagai pendidik. 
Teman-teman saya, mereka (pun) menjadi  warga masyarakat terdidik dengan keahlian masing-masing. Saya dan teman-teman saya, saat ini,  menikmati hasil jerih payah guru waktu mereka meluruskan pikiran kami agar tetap pada relnya, menuai kebaikan guru yang meninggalkan keluarganya demi kami bisa paham ajarannya, mencicipi nyamannya hidup dari tekanan hidup, emosi, karir yang mereka jalani pada saat mendidik kami.

Nyata benar guru adalah pelaku transformasi sebuah masyarakat. Mereka mengubah wajah generasi bangsa. Mereka mengantarkan generasi kepada keberhasilan. Mereka menanam budi pada bangsa dan negeri ini tanpa pernah menagih jerih payahnya pada anak-anak yang dididiknya. Mereka diam-diam selalu mendoakan anak didiknya menjadi orang berhasil.
Terimakasih guru-guruku.

Tanpamu apa artinya aku.

Friday, November 24, 2017

Pulang sebentar di hari ke tujuh

Kang Markum adalah satu-satunya ojek di sekitaran pamakaman Sirnalaya. Siapapun dapat menggunakan jasanya. 24 jam.
Pada saat anak Kisrun mendadak demam, di tengah malam, perlu penanganan gawat darurat, maka  Markum mengojekkan Kisrun dan anaknya yang duduk diapit ditengah berangkat ke rumah sakit.  Namun kata Markum yang pulang duluan menjelaskan pada istri Kisrun bahwa si sakit harus menunggu sambil menggigil di IGD rumah sakit karena masuk IGD salah waktu.

Pula,  ketika istri Wa Pepeng mulas-mulas di saat magrib, Markum mengantarkan suami istri itu ke bidan Selakopi yang jadi langganannya. Wa Pepeng tidak memakai jasa becak, katanya kasihan istrinya, terlalu lama nanti di jalan, bisa-bisa melahirkan di perjalanan.

Banyak sekali jasa Kang Markum. Dia mengantarkan orang-orang pada tujuannya. Dia menggenapkan keinginan orang-orang dengan kemampuannya mempersingkat waktu dan memendekkan jarak. Selain itu, Kang Markum yang setiap pagi pasti nongkrong di warung gorengan Bi Sari, adalah sumber berita terhangat bagi warga Kebon Manggu.
Kang Markum sangat dermawan berbagi kabar setiap langganan dan konsumen yang diantarnya. Secara lengkap dan rinci dia akan menceritakan semuanya sebagai pokok obrolan pagi di warung.

Pagi ini,  Kang Markum telah ber-rompi khas ojekannya. Dia duduk sigap, di warung Bi Sari yang posisinya persis di mulut makam. Warung dadakan Bi Sari sangat strategis. Posisinya di pinggir jalan tempat lalu lalang satu-satunya jalan keluar dari makam bagi orang Kebon Manggu untuk menuju jalan raya. Warungnya buka pagi sampai ashar, menjual makanan titipan warga, dan menjadi buruan warga yang enggan membuat sarapan. Tidak heran jika warungnya selalu tidak cukup untuk menampung kerumunan orang-orang yang mencati ganjal perut juga mencari info bagaimana kabar tetangga.

Kang Markum memesan kopi Luwak kesukaannya. Sambil menunggu penumpang langganannya, dia membuka cerita bahwa dia sebetulnya sangat ngantuk, belum tidur.

"Emang semalaman ngojeknya? Khusyu amat cari duit," kata Mas Ojo menanggapi lontaran curhat Kang Markum.

"Ah saya mah mengatasnamakan tanggung jawab saja Mas. Ibarat tukang warung. Digedor tengah malam, harus bangun, padahal yang beli cuman gope hanya untuk bayar sebutir Bodrex," Kang Markum berdalih ala orang terpelajar.

"Terus, itu, gimana ceritanya sampai ga tidur Kang? Saya ikut nanya karena penasaran. Apa Kang Markum mengantar beli Bodrex juga, tanya saya dalam hati.

Kang Markum seolah enggan berbagi cerita. Matanya menerawang ke kuburan yang terpalnya sedang dibongkar, pertanda orang yang tiada henti membaca Al Qur'an selama seminggu di makam itu telah usai tugasnya.

"Subuh tadi, eh belum subuh, sekitar pukul 3 pagi, sepulang mengantar Bi Ati belanja ke pasar subuh.  Ada anak tanggung minta diantar ke Pasir Hayam. Dia berdiri di situ, " Kang Markum menunjuk dengan dagunya ke arah sekitar orang yang sedang merapikan terpal.

"Anak tadi, minta diantar ke rumahnya sekitar 200 meter sebelum belokan rel kereta,  rumahnya paling besar depan plang BTN Griya. Sesampainya di rumahnya, dia langsung masuk rumah, tidak bayar, saya nunggu. Agak lama,"
Kang Markum  berhenti berkisah dan menyesap kopi dengan khidmat.

"Setelah adzan subuh, baru ada yang membuka pintu. Rupanya lbu anak tadi. Dia terlihat kaget melihat saya nongkrong depan pintu rumahnya," Kang Markum seolah mengenang pertemuan dengan lbu konsumennya.

"Maaf, Bapak mau cari siapa?" tanya ibu si anak.

"Mau minta bayaran ongkos ojek anak ibu, tadi subuh pake ojek saya dari Sirnalaya.  Tadi dia langsung masuk tidak keluar lagi." Kang Markum mengulang jawabannya pada si ibu.

Ibunya si anak menjelaskan, "Pak, anak saya meninggal seminggu lalu, hari ini persis hari ketujuh. Dia meninggal karena kehabisan darah akibat lambat penanganan, dia tertabrak, dibawa ke IGD, tapi dia dibiarkan.  Pagi ini, saya hendak menjemput yang mengaji di makam. Kalau tadi subuh dia minta diantar ke sini, rupanya anak saya pulang dulu. Ini hari ketujuh. Kabarnya pada hari ke empat puluh dia benar-benar pergi."

Serentak, kami semua memandang ke Bapak-bapak bersorban yang sedang merapikan terpal. Pikiran kami seolah sepakat, bahwa disitulah si anak di kubur.

Saturday, November 11, 2017

Aku mau pakai cita-cita cadangan

Seorang siswa kelas 12 celingukan dan bingung mencari sebuah kata yang bisa dijadikan acuan mau jadi apa nanti setelah dirinya dewasa. Dia mengaku bahwa dulu dia punya cita-cita yang tinggi. Setinggi bintang begitulah cita-citanya dia gantungan, sesuai pesan guru SDnya. Dulu dia ingin jadi Dokter.  Kalau jadi Dokter bisa menolong banyak orang, banyak uang, mudah bekerja, bisa menghajikan orang tua, bisa menyumbang mesjid, dan memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Dokter, menurutnya, satu-satunya pekerjaan yang membuat seseorang menjadi naik derajatnya. Tidak ada dokter yang miskin, dokter mah kaya, punya mobil, jadi orang-orang pun segan padanya.

Kini, kelas 12 hanya  tersisa kurang dari 100 hari. Dia buntu harus menulis apa pada lembaran hidupnya agar kelak menjadi seseorang. Dia membeberkan bahwa  dia harus menurunkan cita-citanya, tidak lagi menggantung pada bintang yang tinggi. Cita-citanya harus diletakkan di muka bumi, pada tanah dimana dia berpijak.

Menggantungkan cita-cita di langit atau pada bintang, membuat cita-cita itu semakin sulit dijangkau, begitu katanya. Dulu, ketika SD, mengucapkan cita-cita sangat mudah. Tinggal dengarkan saja apa kata teman-teman, kalau mentok sebutkan saja yang biasa diteriakkan sebagai cita-cita yang mulia yakni insinyur,  dokter,  bisnismen, atau guru juga bisa.
Dia mengaku bahwa dia tidak tahu bahwa mewujudkan cita-cita sesulit meraih bintang di langit. Dia berbisik, ' meraih bintang di langit adalah hal mustahil, sama mustahilnya dengan menggantungkan cita-cita di langit dan kemudian mati-matian meraihnya.'

Impian menjadi dokter harus ditanggalkan. Tidak realistis, begitu katanya. Dulu,  dia melanjutkan penjelasannya,  mengira bahwa cita-cita itu asal ucap saja, dan semua orang senang. Guru senang karena siswanya bercita-cita, siswa senang karena telah menyebutkan sesuatu dan tatapan guru pindah dari dirinya. Kini, cita-cita menjadi himpitan.  Bercita-cita mengenyam pendidikan pada bangku universitas saja sudah seolah hal yang terlalu tinggi.

Dia mengaku masih punya cita-cita cadangan. Ibarat Plan B kalau dalam perang mah, begitu katanya. Seusai SMA, yang hanya tinggal 4 bulan lagi (November, Desember, Januari dan Februari,  Maret tidak dihitung karena penuh Ujian). Dia akan membantu mengurangi beban kerja lbunya yang sekarang ini bekerja seorang diri karena ayahnya telah wafat. Segera setelah lulus SMA, akan melamar ke Alfamart, Indomart atau mart-mart yang lainnya. Sambil bekerja akan kuliah di UT.

UT menjadi pilihan karena tersedia kuliah secara online. Jadi bisa bekerja tapi kuliah juga.
Hitungan sederhananya: bayaran kuliah UT bisa dibayar dari gaji bulanan, UT adalah universitas negeri, kuliahnya bisa dimana saja dan kapan saja. Biaya kuliah relatif murah karena tidak perlu dana untuk kos, beli  baju, sepatu,  tak perlu gaya-gayaan. Saat orang lain lulus, bergelar sarjana, dia pun sama. Mungkin lebih bangga karena kuliahnya dibayar sendiri.

"Cita-cita, untuk sementara tidak akan disebutkan dulu. Sekarang saya akan fokus pada upaya lulus SMA. Setelah jelas lulus, barulah saya akan menuliskan satu cita- cita realistis yang  bisa diraih dengan cara dicicil melalui kuliah di UT, " dia menutup penjelasannya. 

Monday, November 6, 2017

Anu kitu aya dina WA

Ibu-ibu raribut, teu genah cicing. Aya béja, pabéja-béja, patatalépa, geunjleung, matak teu genah pipikiran, matak bingung. Bingung kudu kumaha antisipasina jeung kumaha ngeureunkeun eta béja, utamana ulah nepi ka barudak, komo ka anak incu mah.

Ceuk béja, dina WA nu ayeuna mah, aya emotikon anu bentukna GIF, pilihanna loba pisan, kaasup anu kararitu, anu teu pantes sacara moral jadi alat komunikasi dina bentuk gambar hirup. 

Bi Janah ogé milu riweuh. Manéhna buru-buru bébéja ka Pa Guru ngeunaan GIF. Waktu manéhna bérés nerangkeun kahariwangna, Pa Guru imut bari saurna, 'Ari Bi Janah, tos ningali ku sorangan can naon ari GIF teh?'

Bi Janah geuwat ngawalon, 'Atos Pa, iiih eta mah Pa, pami dibuka, gambarna téh sing garitek, siga hirup. Abdi mah melang, kumaha pami murangkalih muka éta.'

Pa Guru katingal sedih, anjeunna nyarios, 'Urang kudu hariwang narima GIF anu keur bangsa urang mah kacida ciderana ceuk ukuran moral,  etika, oge budaya. Ngan urang kudu  leuwih-leuwih hariwang ka jalma anu teu eureun-eureun nerekabkeun, ngirim kaditu kadieu ieu béja. Asalna nu teu nyaho, jadi hayang nyaho, hayang nempo. Dina jero sapoé,  asalna nu nyaho ngan saurang, ayeuna mah, saIndonesia boa geus nyobaan muka GIF nu dipahing téa.'

Pa Guru katingal seunggah, anjeunna neraskeun cariosanna, 'Barudak ayeuna mah hirup dina zaman digital, ti borojol orok beureum maranehna geus apal naon wae anu aya dina hapéna. Maranéhna milih naon baé anu dipikaresepna. Pikiran barudak tangtuna teu sarua jeung pikiran urang anu geus kolot anu sok nyangka goréng bae ka barudak. Barudak mah teu loba maké WA, tapi make LINE, IG, Telegram.'

Sunday, November 5, 2017

Guru belajar dari guru

Para siswa memandang saya dengan sedikit alis berkerut.  Saya masuk kelas rekan sejawat yang harus diobservasi bagaimana proses pembelajarannya dilaksanakan.
Para siswa bertanya kenapa Ms B menilai guru lain. Mereka menyebutnya menilai, padahal sesungguhnya saya sama sekali tidak menilai rekan yang saya observasi tersebut. Para siswa tidak salah, mereka telah mendengar bahwa pada bulan Oktober para guru akan disupervisi. 

Bagi saya pribadi, ketika dimintai bantuan untuk mengobservasi bagaimana guru melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Semula permintaan ini terasa berat karena mengobservasi rekan sejawat, apalagi yang secara pengalaman belajar secara kuantitas waktu lebih lama, dikhawatirkan berdampak pada hubungan personal. Sudah diketahui bersama bahwa guru merasa tidak nyaman, tidak bebas, tidak leluasa ketika ada 'orang lain' di dalam kelas.

Belajar dari observasi
Guru mengobservasi guru merupakan hal yang sangat penting bagi peningkatan kompetensi mengajar guru. Karena percaya atas pentingnya manfaat observasi bagi guru oleh guru, pemerintah Jepang memasukkan Lesson Study sebagai aktivitas rutin dalam peningkatan kompetensi guru. Lesson study diadopsi didalam pendidikan Indonesia. Sayangnya belum berjalan karena sebagian guru merasa kagok, ribet, dan tidak percaya diri jika diobservasi. Observasi dalam pembelajaran tentulah tidak sama dengan penilaian yang dilakukan atasan atau supervisor.

Observasi dalam pembelajaran didefinisikan sebagai aktivitas yang melibatkan pengamatan dan pencatatan informasi mengenai apa yang terjadi selama proses pembelajaran. Melihat pada definisi ini, maka sama sekali guru tidak harus merasa ngeri. Observer melakukan pengamatan yang sangat saksama dan kemudian mencatat apa yang dilihat dan didengarnya. Observer tidak menuliskan 'apa yang seharusnya, apa yang sebaiknya, ini harusnya begini, itu harusnya begitu.'

Bagi saya yang berkesempatan mengobservasi guru, maka yang dilakukan sesuai dengan definisi di atas, yakni mengamati dan mencatat. Obserbasi selain melatih menjadi pengamat dan pencatat yang baik, observasi juga memberikan banyak manfaat kepada saya yang berperan sebagai observer.

Beberapa manfaat yang diperoleh diantaranya:
Pertama,  melatih kemampuan menyampaikan praktik pembelajaran secara tertulis.
Selama ini sulit sekali menuliskan langkah-langkah pembelajaran yang rinci yang dapat diimitasi orang lain berkat kerincian dan kejelasannya. Dengan menjadi observer, setiap aktivitas, tanpa terlewat dituliskan. Dengan cara ini, observer yang juga guru, terlatih menulis aktivitas pembelajaran yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya pada saat menuliskan langkah-langkah pembelajaran pada RPP.

Kedua, mendapatkan gambaran nyata bagaimana sebuah metode pembelajaran diimplementasikan.
Baginl guru, mengakses metode pembelajaran dengan mudah diperoleh melalui bacaan.  Bagaimana adaptasi, adaptasi,  atau bahkan modifikasi dari metode pembelajaran tersebut sehingga menjadi media penyampai teori pada tataran praktik tidak mudah dipahami jika hanya mengandalkan bacaan. Dengan melihat langsung, guru mendapatkan deskripsi yang nyata dari metode yang dimaksudkan pada buku tadi.

Ketiga, mendapatkan inspirasi bagaimana mengelola kelas.

Keempat, melihat respons siswa terhadap pembelajaran dari perspektif yang  berbeda.

Kelima, pengayaan dalam pengembangan profesi yang berkelanjutan.

Walaupun  kehadiran observer membuat guru yang diamati terasa canggung, namun sesungguhnya dengan mengizinkan kelasnya diobservasi, artinya dia telah menyumbangkan pengetahuan baru bagi kemajuan profesi mengajar dirinya juga guru lainnya.

Saturday, November 4, 2017

Aku begini karena salah orangtua

Seorang siswa dengan kesal menjelaskan bahwa ayah ibunya bercerai. Dia memilih tinggal dengan lbunya dengan anggapan seorang lbu penuh kasih, tidak pernah kurang sayang, dan selalu banyak nurut pada keinginannya. Dia  tidak melirik ayahnya karena telah menikah dengan perempuan lain yang dituduh sebagai perebut bahagianya.

Baru-baru ini, lbu yang dijadikan sumber bahagia dalam keluarga,  menikah lagi. Dia tidak setuju dengan keputusan lbunya, dan dia sangat marah karena lbunya memilih pria lain ketimbang dirinya. Dia merasa dikhianati lbu yang selama ini dianggap dewi pelindung.

Dia kecewa pada ayah, kecewa pula pada lbu. Dia memilih tinggal bersama nenek. Tinggal bersama nenek tentulah lebih menyenangkan ketimbang tinggal bersama penjahat yang memakan emosi seperti lbu atau ayah.

Nenek tidak seperti harapannya, nenek cerewet, nenek selalu bilang jangan begini jangan begitu, sebentar-sebentar laporin lbu. Semua tempat seolah tidak menerima dirinya. Dia harus  mencari tempat yang memberikan kesejukan, kasih, lupa pengkhiatan lbu, Ayah,  cerewet nenek. Tempat itu,  tentu bukan sekolah. Sekolah, untuk apa? Tidak ada yang peduli lagi.

Sekolah juga merepotkan. Banyak tugas, banyak ini itu. Belum lagi teman-teman yang kadang menyebalkan. Satu-satunya yang tidak menuntut adalah game. Game selalu siap meluruhkan semua kesal kapan saja. Game seolah memberikan kesenangan baru setiap harinya. Maka, dia menghabiskan siang, juga malam untuk main game.
Neneknya khawatir karena sang cucu tidak keluar kamar, tidak sekolah, lupa makan.
Nenek lapor pada lbu, lbu datang suaranya pada telepon. Nadanya sangat tinggi, menyalahkan kenapa merepotkan nenek, kenapa tidak sekolah,  kenapa buang-buang waktu masa remaja. Suara lbu, ribut, berisik, bikin pekak telinga.  Klik, suara lbu hilang.

Ibu lapor pada ayah. Ayah datang gambarnya pada video call. Memulai percakapan dengan senyum aneh yang memaksa agar diberi waktu bicara. Ayah bicara dan bicara, beruntai-untai nasihat, kata mutiara, semua terdengar kamuflase, penuh trik, palsu. Klik, gambar ayah hilang.

Dia hanya bersama dirinya.  Menentukan pilihan sendiri. Sama seperti Ayah, lbu, Nenek, mereka menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Diapun melakukan hal yang sama. Sayangnya, setiap keputusan yang diambilnya harus diketahui,  dan disetujui mereka. Kenapa pada saat ayah pergi dengan perempuan lain, ayah tidak meminta persetujuannya. Kenapa pada saat lbu memilih berbagi hidup dengan lelaki lain, ibunya pun tidak meminta persetujuannya. Kata adil sangat jauh dalam hidup ini, begitu gumamnya.

Tiba-tiba guru yang jadi walikelasnya pun ikut campur. Dia mengsms menanyakan apa kabar, sedang ada dimana, apakah besok sekolah atau tidak, mau ditengok atau tidak.  Tentu saja dia tidak menjawab sms wali kelasnya. Apa urusannya? Wali kelas adalah orang luar, bayaran pemerintah yang tetiba saja menambah kerepotan baginya.

Dia masih menjelaskan sisi lain dari ketidakpuasannya terhadap hidup. Ketidakpuasan yang diakibatkan orangtuanya. Semuanya, salah orang tuanya.
Sementara wali kelas, yang berani mengaku sebagai orangtua kedua di sekolah, masih menyimak penjelasannya, masih mengumpulkan informasi yang masih mengalir dari berbagai sumber.

Pendidikan, masih menjadi tumpuan harapan

Kring suara telepon berdering. Saya lihat nomornya tidak dikenal. Saya kadang enggan menerima telepon dari orang yang tidak dikenal mengingat tidak sedikit orang dil luar sana mencari teman ngobrol tanpa jelas arahnya mau apa dan kemana.

Suara telepon berhenti. Kemudian berbunyi lagi. Serius, pikirku, makanya dia menelepon ulang.  Kemudian teleponnya kuangkat. Ternyata telepon dari salah satu kakak siswa yang saya walikelasi.

"Maaf lbu, perkenalkan saya kakaknya Roby. Mau menanyakan bagaimana Roby di sekolah."

Pikiran saya mencari wajah yang sesuai dengan nama yang disebutkan tadi. Setelah beberapa detik, nama dan wajah klik. Saya menjawab, " Roby tidak ada masalah dengan kehadiran, selalu datang tepat waktu, saya mengetahuinya ketika ada Literasi kelas, pada pukul 6.30 dia sudah  di kelas."

Terdengar nafas lega dari headset. Kemudian si kakak berbicara lagi.
"Roby ingin melanjutkan ke Geologi UGM. Dia sepertinya sudah bulat tekadnya. Ditawari ke STPDN, katanya tidak ada hati untuk ke sana. Bagaimana ya Bu? Harus kemana dan pada siapa saya menanyakan masalah ini?"

Saya jawab bahwa untuk masalah minat melanjutkan ke perguruan tinggi dapat menghubungi guru BK.

Roby, Nanda, Hanif, Rahayu, atau siapapun nama anak yang dititipkan pada pendidikan formal pada dasarnya sama. Mereka disekolahkan karena para orangtua percaya bahwa melalui pendidikan formal mereka bisa menjadi seseorang, bisa meraih cita-citanya, bisa membahagiakan dirinya sendiri juga orang tua, bisa bekerja.

Para orangtua dengan segenap kesungguhan membiayai dan mengawasi bagaimana keberlangsungan pendidikan bagi anaknya. Harapan di masa datang, setelah anaknya mendapatkan pendidikan, mereka kembali pada orang tua dengan segudang kesuksesan dan dapat membahagiakan orang tua pada masa rua mereka.

Melalui pendidikan, para orang tua menitipkan harapan dan mimpi. Kepercayaan pada pendidikan begitu tinggi. Anak yang berpendidikan tinggi, diharapkan pula memilki  kesempatan dan peluang yang lebih besar di kemudian hari. Anak yang berhasil, tetap menjadi harapan. Anak yang berhasil paling tidak mereka dapat menghidupi  dirinya sendiri dan berhenti merepotkan orang tua.