Setiap pagi, ibuku menyambutku dari sisi tungku batu (kami menyebutnya Hawu). Ibuku telah bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Biasanya ayahku tidak ada di samping lbuku pada pagi hari. Ayahku, petani, menanam padi dan teh, selalu berangkat ke sawah setelah shalat subuh dan kembali pada pukul 6 untuk menikmati sarapan rebus ubi dengan gula merah dilengkapi air teh hangat yang baru diangkat ibuku dari Hawu. Ibuku dengan khidmat duduk disamping ayahku tanpa bersuara. Mungkin lbuku sangat mengistimewakan waktu yang dapat dilalui bersama ayahku.
Pada siang hari ayahku tidak berada di rumah, aku anggap ayahku bekerja di ladang atau di sawah. Tanpa sepengetahuan otak kanak-kanakku ayahku makan siang bersama istrinya yang lain, bukan dengan lbuku yang selalu khidmat menemaninya minum teh.
Ibuku sangat setia pada mimpinya. Aku pernah bertanya, mengapa lbu bersedia jadi istri kesekian dari ayahku. Jawabnya dengan yakin karena mimpi. Ibu menjelaskan bahwa ketika beliau dijodohkan Bi Halimah kepada ayahku, beliau tidak langsung menerimanya. Beliau meminta waktu untuk mengkonsultasikan jodohnya pada Allahnya.
Pada khusu tahajudnya, lbu berdo'a memohon petunjuk. Ibu bermimpi. Dalam mimpinya beliau sedang berjalan di pematang sawah yang licin. Karena licin, lbu terpeleset dan hampir jatuh, namun ditangkap ayahku, akhirnya lbu selamat dan tidak jatuh ke lumpur sawah.
Itu alamat jodoh menurut versi lbuku. Ibuku bulat hati menerima ayahku dengan tiga anak tiri dan jadi istri kedua.
Cinta lbu kepada ayahku diatas kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Ibu mengabdikan seluruh hidupnya untuk membahagiakan lelaki yang menyelamatkan dirinya dalam mimpi. Ketika ayahku mengambil istri yang ketiga saat aku masih menyusu pada lbuku. Ibuku menerima itu sebagai bagian dari penyempurna pengabdian cintanya pada ayahku.
Aku selalu menyalahkan diriku sebagai penyebab ayahku mengambil istri ketiga. Alasan terbaiknya adalah, setelah aku lahir, belum genap dua tahun, ayahku lebih banyak menghabiskan hari-harinya tidak bersama lbuku. Setahun kemudian, ayahku menyambut haru anak pertama dari istri ketiganya. Perempuan, cantik, dinamai Zulaesih.
Alasan lainnya, ayahku kecewa karena aku tidak secantik Kakak Zulaiha, anak perempuan pertama ayahku dari istrinya yang pertama. Aku tidak juga secantik adik-adik perempuan dari istri ayahku yang ketiga. Adik pertama perempuanku, Zulaesih bermata bulat, rambutnya hitam, dan kulitnya kuning langsat. Adik kedua Zuansih, berbadan ramping, suaranya selembut gemericik Curug Siloar ketika butiran air terjunnya berdesir tertiup angin. Adik ketigaku, Zuhroyah, seorang periang, dan tingkah lakunya selalu terlihat lucu dan membuat semua orang gemas kepadanya.
Ibu pernah bercerita bahwa ketika beliau mengandungku, ayahku ikut berburu Begu (sejenis Babi liar) yang menyerang tanaman singkong. Ayahku menyambit Begu yang menyeruduk kearahnya. Sambitan parangnya mengenai telinga Begu sampai putus. Dan aku lahir tanpa daun telinga sebelah. Ayahku kurang gembira menerima hadirku. Beliau seolah enggan menyimak wejangan Ajengan Nu'man yang menyabarkan ayahku dengan berkata, 'Anakmu membawa ciri dari 'azali, membawa tanda dari bawaan, bukan karma atas perbuatan duniamu.' Ayahku selalu menghindar bersitatap denganku. Mungkin beliau menyamakanku dengan Begu yang akan membahayakan nyawanya.
Atau mungkin beliau merasa dikejar dosa telah menyakiti hewan dan perasaan bersalah itu seolah kembali diingatkan ketika melihatku. Entahlah.